Acara penuh khidmat itu selesai sampai jam sebelum dzuhur. Aila sudah berganti pakaian menjadi gamis biasa, dan mengenakan hijab instant dan cadar, para orang tua Rama juga sudah pulang karena ada keperluan mendesak, di antar oleh Fikron. Para saudara dan kerabat juga sudah pulang, hanya tinggal keluarga Abi Zidan yang tersisa.
Plak!
Irham mengaduh saat lengan atasnya di pukul oleh Aila. "Apasih pukul-pukul. Nggak sopan!" sungutnya.
Aila mengambil duduk di samping Irham yang duduk di atas sofa ruang tamu seraya memainkan ponsel. Ah, Rama suaminya itu sedang berada di gazebo belakang, bersama dengan Baba, dan juga Abi.
"Apa sih? Sampeyan ini kurang kerjaan apa, sampai gangguin aku terus."
Aila berdecih. "Jangan posting foto tentang acara hari ini ya?"
Irham menatap Aila, seraya mengerutkan keningnya. Merasa aneh, jika biasanya semua orang ingin mengabadikan, dan membagikan momen bahagianya kenapa Aila tidak mau?
"Kenapa? Aku lihat foto-fotonya di kamera Fikron bagus-bagus kok." ungkapnya serius.
Aila tidak menjawab, ia malah meraih remot televisi yang berada di atas meja, dan mulai mencari acak siarannya. Itu semua tidak luput dari pandangan Irham, ia tahu Aila sengaja mengalihkan pembicaraan.
Ia menarik kesimpulan, jika Aila tidak menginginkan pernikahan ini.
Tapi kenapa?
Apakah Aila tidak bangga bersuamikan seorang Ramadhan Althaf Bayu?
Ia melihat banyak sekali wajah kecewa yang di tunjukkan oleh para Mbak santri dan para ustadzah saat tahu Rama menikah dengan Aila.
Ayolah, apakah Rama kurang menarik bagi Aila?
Bagaimana bisa?
Ramadhan Althaf Bayu memiliki visual yang sangat tampan, mirip aktor korea ji chang wook yang di gemari banyak perempuan. Rama juga sama, ia tahu karena saat mereka berkumpul bertiga, Fikron akan menggoda Rama yang mendapatkan banuak surat cinta dari para Ustadzah di pondok Baba Ikmal.
Berkali-kali juga Rama harus menolak ajakan menikah dari anak relasi bisnis Baba Ikmal.
Lantas, bukankah saudaranya ini harus bersyukur mendapatkan Rama yang akhirnya memilihnya untuk menjadi pendamping hidup Rama.
"Heh, kenapa?" sentak Irham.
Aila mengembuskan napas kasar, lalu mematikan layar televisi. "Kepo!" serunya. Seraya berlari sebelum Irham memukulnya.
"AILA!!" teriak Irham.
Umi Ashilla, dan Amih Ayana hanya menggelengkan kepala. Beginilah jika keduanya bersatu, belum lagi kalau di tambah Fikron, mereka yakin ruman ini akan sangat gempar oleh ketiganya.
"Ndak ngerti, dari kecil sampai sekarang apa mereka ndak capek ya berantem terus?" ucap Umi Ashilla seraya menyesap teh buatan kakak iparnya dan sepiring biskuit yang berada di atas meja makan.
Amih Ayana terkekeh. "Justru kalau mereka akur, rasanya aneh Shill."
Umi Ashilla mengangguk membenarkan. Keduanya hanya menonton Aila dan Irham yang saling berlari dan sesekali berteriak, mereka seolah benar-benar lupa dengan usianya sekarang.
Benar-benar sangat aneh.
*****
"Mas."
Rama yang berdiri di balkon menoleh. Matanya terkejut memandang Aila yang cantik tanpa hijab dan cadar, wanita yang kini menjadi istrinya itu hanya mengenakan setelan baju tidur lengan pendek, dan celana panjang berbahan satin, dan berwarna hitam. Sementara rambutnya ia cepol asal, benar-benar terlihat sangat cantik dan memesona.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...