"Sampeyan sama Ning Aila bagaimana?" tanya Bagas, setelah tawa Rama terhenti.
Rama mengangkat bahu acuh, "Ndak tahu."
"Kenapa? Pernikahan kalian sudah dua bulan, kan?"
Rama mengangguk. Rama membuang napas dengan sedikit kasar, Bagas menepuk bahunya. Ia tahu Rama pasti sedang butuh saran, dan nasihatnya.
"Ndak tahu kenapa, Ning Aila tiba-tiba bilang ingin memperbaiki hubungan kami," jelasnya.
"Lho, bagus dong Ram." Bagas turut senang mendengar ini, namun sama sekali tidak melihat ada guratan senang pada wajah sahabatnya. Justru Rama terlihat sangat murung, dan sedikit frustrasi.
Rama menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar. "Sampeyan ndak ngerti Gas. Kalimat itu tidaklah sesimpel yang di katakan."
Bagas diam menyimak Rama yang terlihat sangat kacau.
"Kalimat itu berarti jika Aila harus siap melepaskan orang yang di cintainya. Membiarkan hatinya terluka untuk menerima pernikahan kami, dan saya tidak mau menyakitinya."
Rama benar-benar sangat frustrasi, ia memang mencintai Aila, menginginkan kehidupan pernikahan yang sempurna, tapu jika hanya menyakiti Aila, untuk apa?
Bagas menatap Rama dengan pikiran yang sama rumitnya. Rama benar-benar memiliki cinta yang sangat besar, bukan cinta yang menggiring obsesi untuk memiliki dan menggenggam erat orang yang di cintainya dengan cara apa pun.
Rama mencintai Aila dengan sangat tulus, sama sekali tidak ingin melukai cintanya dengan keegoisan.
"Saya tahu, sampeyan sangat mencintai Aila. Kenapa tidak mencoba mengikuti keinginan Aila untuk memperbaiki hubungan kalian? Siapa tahu, ini adalah awal mula kebahagiaan kalian,"
Rama menggeleng tegas, kedua matanya menyorot Bagas dengan tatapan yang sarat akan kepedihan. "Ndak semudah itu Gas. Kita berdua tahu, pekerjaan kita sangat beresiko, ini alasa saya tidak mau menikah!"
"Ram .... " Bagas mengerti kekhawatiran yang di rasakan Rama. Tapi, ia juga tidak ingin melihat Rama terus terluka karena rasa cintanya sendiri.
"Sampeyan ndak akan mengerti Gas. Mungkin Alexa akan baik-baik saja, karena pernah satu pekerjaan dengan kita. Tapi Aila belum tentu sanggup Gas. Bagaimana jika saya tidak selamat saat melakukan misi?"
Rama menangis di hadapan Bagas. Pria itu tampak sangat rapuh dan hancur, Bagas menepuk bahu sahabatnya itu. Ini pertama kalinya Bagas melihat Rama sehancur ini, ia paham kekhawatiran yang di rasakan Rama, karena semenjak Alexa hamil ia juga ikut merasakannya.
Dulu, mungkin ia merasa keren karena memiliki istri dengan profesi yang sama, tapi sekarang rasanya berbeda.
Apalagi Alexa tengah mengandung, ia juga takut jika tidak bisa kembali dengan selamat meninggalkan Alexa dan bayi dalam kandungannya. Ia takut tidak bisa mendampingi Alexa melahirkan, dan melihat tumbuh kembang bayi mereka nanti.
"Satu misi lagi Ram. Kita berdua sudah mengajukan resign dari lama. Beliau juga bilang, setelah misi itu selesai kita resmi berhenti,"
Rama mengangguk.
Bagas menghela napas, dan kembali menepuk pundak Rama. "Kita harus kuat Ram, sekarang ada yang menunggu kepulangan kita di rumah."
"Inggih Gas." jawabnya. "Ah, apa kamu sudah selesai mengurus semuanya?"
"Sudah Ram. Sebentar sek saya ambil dulu." Bagas pergi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rama yang perasaannya sudah sedikit membaik.
Tak lama, Bagas keluar dengan membawa dua buah map air mail, dan memberikannya kepada Rama. "Sampeyan yakin melakukan ini semua?"
Rama meraihnya, "Yakin Gas. Saya takut, jika tidak selamat nanti. Setidaknya, ada yang bisa saya tinggalkan untuk orang terkasih,"
"Jangan pesimis dulu Ram. Apa pun yang terjadi, kita berdua harus selamat." Bagas lagi-lagi mencoba menguatkan Rama.
"Inggih Gas. Thanks ya, sudah bantu saya mengurus ini. Sampaikan terima kasih saya juga kepada Alexa ya, kalian berdua sudah membantu saya."
Bagas mengangguk. "Iya nanti tak sampaikan. Sampeyan mau pulang sekarang tah?"
Rama mengangguk, seraya beranjak dari sofa yang semula di dudukinya. "Sekali lagi, terima kasih."
"Wes toh, jangan bilang makasih terus. Sampeyan hati-hati di jalan."
Rama lagi-lagi mengangguk, dan memasuki mobilnya, segera meninggalkan kediaman Bagas.
*****
Pagi ini, seperti sebelumnya saat Aila membuka kelopak mata, Rama sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak sarapan untuk mereka berdua.
Aila keluar dari kamar dengan tampilan yang sudah rapi, ia menghampiri Rama yang duduk di kursi bar dengan empat buah sandwich, dan segelas susu yang menjadi menu sarapan mereka pagi ini. Rama sendiri memilih membuat kopi untuk pendamping sarapannya, hal yang kata Aila sangat aneh.
"Mas?"
Rama yang semula duduk memunggungi Aila itu menoleh, memberikan senyum manisnya yang membuat jantung berdebar kencang.
"Sini sarapan dulu." ucapnya seraya menepuk kursi bar di sampingnya.
Aila menurut, semalam Rama sampai rumah sekitar pukul satu malam, kebetulan Aila bangun dan sedang melakukan shalat malam. Keduanya sempat terlibat beberapa percakapan, sebelum akhirnya tertidur, dan bangun pada adzan subuh.
Aila kembali tidur, karena tidak sanggup menahan rasa kantuknya, sednagkan Rama langsung melakukan berbagai pekerjaan Rumah sampai selesai.
"Maaf ya, hanya sarapan dengan sandwich. Mas lupa belum sempat belanja bahan makanan lain."
Aila mengangguk, menerima segelas susu yang di berikan oleh Rama, dan meminumnya. "Ndak apa-apa Mas. Ini saja sudah cukup kok. Maaf, ya aku ngerepotin Mas terus."
Rama tersedak kopi yang di minumnya, sampai terbatuk-batuk. Aila juga tampak panik, ia memberikan segelas air minum yang tersedia di atas meja kepada suaminya. "Mas ndak apa-apa?" tanya Aila khawatir.
Rama menggeleng, hatinya yang tidak kenapa-napa. Ia terkejut karena Aila menghilangkan kata 'saya' dan menggantinya dengan 'aku', tentu saja membuat nya sangat-sangat terkejut.
"Mas?" Aila kembali bertanya.
Rama berdeham. "Ndak apa-apa Ning. Ayo sarapan, kamu harus pergi bekerja kan?"
Aila mengangguk, "Mas beneran nggak apa-apa?"
Rama tersenyum manis, mengusap pipi putih Aila yang belum mengenakan cadarnya. "Iya Ning Ayu. Sarapan ya?"
Kedunya mulai menyantap sarapan pagi mereka dengan khidmat. Setelah selesai, Aila mencuci piring, dan alat makan yang sudah selesai mereka gunakan.
Rama bertugas mengelap meja, dan membersihkan semuanya tampak bersih sebelum mereka tinggalkan.
"Sudah selesai?" tanya Rama, saat melihat Aila berjalan ke arahnya.
Aila mengangguk, memberikan senyum manisnya kepada sang suami. "Sini!" Pinta Rama.
Aila mendekat, kedua pipinya sontak bersemu merah saat Rama mengambil cadar miliknya, dan memakaikannya pada wajahnya.
Bukan hanya itu, Rama bahkan mengambil tasnya dengan sebelah tangannya, dan tangan satunya lagi menggandeng lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...