"Perasaan saya ndak penting Mas."
Rama menatap wanita bercadar yang duduk di sampingnya, dengan meja bundar sebagai pemisah jarak keduanya. Tidak penting katanya? Justru itu sangat penting sekali!! Saya mencintai kamu, makanya saya tidak ingin kamu terluka dengan pernikahan yang sama sekali tidak kamu inginkan.
Ya, Rama mencintai Aila.
Siapa yang tidak memiliki ketertarikan kepada Ning dari pondok pesantren Darul Hikmah. Termasuk Rama, orang yang setiap hari melihat sosok Aila karena ia yang sebagai teman dekat Fikron, dan juga orang kepercayaan Kyai Ikmal.
Ia mencintai Aila, tapi ia sadar diri. Dirinya tidak pantas untuk sekedar meminta Aila menjadi miliknya kepada sang pencipta. Jika di tanya apakah ia senang dengan perjodohan yang di buat oleh Kyai Ikmal, tentu saja ia sangat senang.
Tapi, kembali lagi ke realita kehidupan, ia tidak pantas untuk Ning Aila.
"Saya akan tetap menerima perjodohan ini."
"Ning!" tanpa sadar ia membentak wanita yang tengah berbicara dengannya.
"Tidak ada jalan keluar lagi, kan? Selain menuruti apa kata Baba? Kita sama-sama menghormati Baba, apa Mas Rama tidak berpikir jika kita mementingkan ego masing-masing, Baba tidak akan terluka?" Lagi-lagi dengan nada putus asa, Ning Aila terpaksa harus memutuskan untuk menerima perjodohan ini.
Rama mengerang kesal. "Ning, bukan begitu .... "
Ning Aila memijat pelipisnya. Sudah terlanjur basah, ya sudah tercebur saja sekalian. Ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Meski pun nantinya ia akan menyakiti Mas Rama, karena hatinya yang masih tertaut pada oramg lain.
"Tidak Ning. Lebih baik saya melihat kamu menikah dengan orang lain, dari pada dengan saya."
"Mas! Tidak ada cara lain lagi."
Hati Rama benar-benar berdenyut perih, Ning Aila hanya akan menderita jika hidup bersamanya, dan ia tidak ingin itu terjadi.
Tidak ada jalan keluar, Rama mau tidak mau, harus menerima perjodohan yang di buat oleh Kyai Ikmal. Perjodohan yang mungkin akan membuat keduanya sama-sama tersakiti dalam ikatan pernikahan yang kelak mereka jalani.
Tidak ada yang tahu, bagaimana ke depannya nasib kedua orang yang sama-sama menjalani perjodohan ini dengan terpaksa, entah akan berakhir saling menyakiti, atau akan menjadi saling mencintai.
Semua adalah rahasia sang pencipta."Oke. Kita terima perjohan ini, selebihnya kita serahkan semuanya kepada gusti Allah Ning."
Ia tahu jika Ning Aila pasti mencintai orang lain, mengingat putri semata wayang kyai Ikmal telah menolak banyak lamaran dari para Gus.
Ning Aila mengangguk, keduanya lantas hanyut dalam pikiran masing-masing, sampai suara Fikron menginterupsi. "Bagaimana? Sudah bicaranya?"
Keduanya mengangguk, sama-sama bangkit mengekori langkah Fikron untuk kembali ke ruang tamu. "Bagaimana hasilnya? Kalian sudah memutuskan?" tanya Kyai Ikmal saat mereka semua sudah kembali.
Rama, dan Ning Aila mengangguk. "Kami setuju." jawab Aila.
"Inggih Yai. Kami memutuskan untuk menerimanya."
Kyai Ikmal, tentu sangat senang. Berbeda dengan sang istri yang melihat tatapan sendu yang terpancar pada kedua mata putrinya. Apakah keputusan yang di ambil suaminya ini benar?
"Baba senang mendengarnya."
Aila duduk di samping sang ibu yang menggenggam tangannya. "Kamu ndak apa-apa?" bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...