KALAU DI GENDONG, BOLEH?

13.4K 634 38
                                    

"Astagfirullah Hilda! Aku udah bilang buat jangan terlalu bar-bar, kamu lagi hamil lho!"

Azman, dan Rama tersenyum tipis kala suara teriakan Aila menggema, lantaram Hilda sahabatnya itu masuk ke dalam ruang rawatnya seraya berlari. Sedangkan yang di teriaki hanya mendelik sebal. "Berisik Ning!" serunya. Lalu ia melirik kepada Rama yang duduk di sofa bed bersama dengan Azman. "Mas, kok mau sih punya istri yang berisik kaya Ning Aila?"

Rama tergelak, Aila memukul lengan atas sang sahabat sedikit keras.

"Jahat banget. Aku lagi hamil, lho gak boleh kasarin aku!" sungut Hilda.

"Azman, kamu nggak ada niatan mau ganti istri?" tanya Aila yang mendapatkan pukulan dari Hilda.

"Sembarangan banget ngomongnya iiih!!" Hilda berseru sebal, sedang para suami hanya tertawa, Azman dan Rama juga langsung berkenalan, dan terlibat perbincangan dengan cukup akrab.

"Anak aku gimana kabarnya?" tanya Aila.

Hilfa mendengus, "Enak aja anak kamu. Anak aku ini sama Azman. Kamu kan udah punya suami, kenapa gak coba buat juga, hm?"

Wajah Aila merona malu, diam-diam melirik suaminya yang tengah berbincang dengan Azman. "Gampang banget ngomongnya, ibu satu ini! seru Aila seraya mencubit pipi Hilda, menyembunyikan rasa gugup yang mendera hatinya. Selama ini ia dan Rama bahkan belum sampai ke tahap itu, sentuhan paling intim mereka hanya sebatas ciuman di bibir saja.

Hilda memicingkan mata, saat Aila terdiam sedang wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. "Heh, sampeyan mikir apaan Ning? Wajahmu sampai merah begini?"

Mata Hilda seketika membulat, ia ingat jika Aila pernah bertanya soal apakah ia bahagia menikah dari hasil perjodohan?

"Ning, sampeyan punya hutang penjelasan soal pernikahan kalian yang menghebohkan seisi rumah sakit!"

Aila meringis, ia mengangguk lalu menceritakan semuanya dari alah hingga akhir kepada Hilda tentunya dengan sangat pelan, agar tidak di dengar oleh Rama dan Azman. Setelah Aila menyelesaikan ceritanya, Hilda menepuk punggung tangan Aila. "Jangan bilang, kalau selama ini sampeyan sama Mas Rama belum 'ehem-ehem' ?" tanyanya.

Aila yang cukup mengerti dengan istilah 'ehem-ehem' itu mengangguk, Hilda sampai memekik sungguh tidak menyangka, bagaimana bisa Aila ini mengabaikan suami setampan Rama?

"Jangan berisik Da," desis Aila.

"Kenapa Mi?" tanya Azman dengan khawatir. Semenjak Hilda hamil, ia dan istrinya itu sepakat mengubah panggilan menjadi 'Umi-Abi'.

Hilda menoleh ke arah suaminya seraya memasang cengiran lebarnya. "Hehehe, gak apa-apa kok Bi," jawabnya.

Rama juga melakukan hal yang sama, bedanya ia bertanya melalui tatapan kepada Aila, yang di balas dengan gelengan pelan.

"Serius Ning?" Hilda kembali berbisik.

"Iya," balas Aila.

Hilda menggelengkan kepala seraya berdecak pelan. "Sampeyan apa nggak takut kalau Mas Rama jajan di luar?" Hilda sengaja memanas-manasi Aila.

Kedua mata Aila membulat. "Nggak mungkin. Mas Rama nggak mungkin kayak gitu Da, kamu jangan aneh-aneh deh!" serunya tidak terima. Ia tahu Rama, suaminya itu adalah ornag yang sangat paham agama, dan juga baik. Mana mungkin suaminya melakukan hal seperti itu?

"Astaga, kamu ini nggak bakal ngerti. Mas Rama emang nggak akan jajan di luar, tapi kalau diam-diam nikah siri dan punya istri muda gimana?"

Aila menggigit bagian dalam bibirnya yang tertutup cadar. Jujur, ia mulai khawatir tentang itu, dan pikirannya cukup terpengaruh.

Hilda tersenyum di dalam hati, senang karena tampaknya berhasil memengaruhi sahabatnya. Ia ingin melihat Ning Aila ini menjadi sangat bucin kepada Rama, mengingat jika Rama adalah laki-laki pertama yang singgah di hatinya. Hilda terus memanasi Aila dengan mengatakan tidak ada laki-laki yang akan tahan jika berduaan dengan perempuan, apalagi perempuan itu sah baginya, dan halal untuk di sentuh.

Hilda juga mengatakan jika Rama orang yang sangat tampan, pasti banyak sekali kaum hawa yang terpikat padanya.

Pikiran Aila benar-benar terpengaruh oleh ucapan Hilda, apalagi selama ini hubungan mereka sangat buruk. Bagaimana jika semua yang di katakan Hilda itu benar?

"Da, aku kok takut ya? Aku harus bagaimana? Aku nggak mau kehilangan Mas Rama .... "

Hilda berdeham, rasanya tidak tahan untuk tertawa. Ah, ia ingin terus mengompori Ning Aila ini, kalau bisa sampai bucin maksimal sekalian pada Rama.

"Ya cara satu-satunya cuma itu Ning,"

Aila memijat pelipisnya, "Masa begitu?"

Astaga, Hilda benar-benar ingin tertawa sepolos ini ternyata Ning Aila, pikirnya. "Ning, kamu tahu nggak istri yang meminta duluan ke suami itu pahalanya besar sekali,"

Aila mengangguk, ia tentu tahu itu. Karena beberapa kali ia menghadiri kajian yang membahas tentang pernikahan, juga sangat paham dari kitab yang ia pelajari selama di pondok.

"Nah, itu. Kenapa nggak kamu gunakan saja cara itu?"

Aila terdiam, Hilda berdecak pelan. "Nanti deh aku ajarin bagai--"

"Iih Hilda," Aila mendesis pelan.

Hilda terkikik pelan. Aila sendiri memalingkan wajahnya, ia berpikir jika sahabatnya ini benar-benar gila, masak iya mau mengajarinya hal seperti itu?

"Mi, mau pulang sekarang? Kita janji mau ke tempatnya Ayah, Ibu lho."

Aila menghela napas, sangat berterima kasih kepada Azman yang datang di saat yang tepat. Hilda terlihat sedikit kecewa, namun ia juga tidak bisa marah kepada suaminya yang mengingatkan jika mereka memiliki janji.

"Gus, Ning, saya dan istri pamit ya. Semoga Ning Aila lekas sembuh," ucap Azman seraya menggandeng tangan istrinya yang baru berdiri dari posisi duduknya.

Rama yang juga sudah berada di samping Aila mengangguk. "Makasih ya, sudah jenguk. Hati-hati ya,"

"Assalamualaikum," ucap Azman, Hilda sendiri berjalan mengikuti langkan Azman seraya berkata tanpa suara kepada Aila. "Aku nanti telepon kamu ya!"

Aila menggeleng saja seraya membalas ucapan salam Azman dengan sedikit keras membuat Hilda mendengus, tak lama setelah itu pasangan suami istri tersebut menghilang di balik pintu kamar rawatnya.

"Mas?"

Rama menatap Aila lekat, "Kenapa sayang?"

Blush!

Kedua pipi Aila yang tertutup cadar itu memanas setiap kali Rama memanggilnya dengan kata 'sayang'. Aila berdeham, bukan saatnya untuk terpesona kepada suaminya. "Aku belum boleh pulang ya?"

Rama mendekat, pria itu bahkan sudah duduk di atas ranjang Aila, dan mengusap kepalanya. "Kenapa hm? Ning Ayu bosan?"

Aila dengan cepat mengangguk.

"Mau jalan-jalan ke taman?" tawar Rama.

"Mau!" serunya Antusias, Rama tertawa geli. Istrinya ini benar-benar sudah sangat bosan ternyata.

"Ok, Ning Ayu masih lemas ndak? Kalau masih lemas, Mas mintain kursi roda ya?"

Aila menggeleng, "Nggak mau pakai kursi roda,"

Kening Rama mengerut, "Lha terus? Ning Ayu mau jalan kaki saja? Apa sudah kuat?"

"Kalau aku minta di gendong saja, boleh?" tanyanya yang membuat Rama kemudian tertawa.

Istrinya ini benar-benar menggemaskan. "Sure, as you wish darl," jawabnya seraya mengecup pucuk kepala istrinya.

Jangan tanyakan bagaimana perasaan Aila mendengar kata-kata lembut, nan romantis dari suaminya itu, yang sudah pasti membuat perasaannya meleleh.

****

Huhuhu maafin baru bisa update 😭 kalian kangen engga? Maaf ya bestie, Rama sama Aila mungkin gak bisa sering-sering up kaya biasanya.

Jangan lupa mampir ke cerita "Takdir Cinta Raya," yang aku ikut sertakan ke event menulis candupena.

Sampai bertemu di chapter selanjutnya ❤️

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang