Tiga hari kemudian, Kyai Ikmal menempati janjinya untuk memberikan kompensasi kepada para korban pemerasan dari kepala desa yang saat ini sedang proses persidangan menentukan hukuman yang akan di dapatkannya dari perilaku jahat, dan bejatnya.
Lagi-lagi, di bantu oleh Gus Fariz dan Ning Siti Alfiah, korban pel*c*han s*ks*al berhasil di bawa ke sebuah rumah sakit untuk memperbaiki mental mereka. Kyai Ikmal, Rama, dan Fikron tidak berhenti mengucapkan terima kasih dan bersyukur atas bantuan yang mereka dapatkan dari Gus Fariz yang tentunya juga ada camput tangan dari sang maha kuasa.
Sedangkan untuk renovasi, akan berjalan esok hari. Para warga yang sempat terhasut juga akhirnya meminta maaf, dan turut ikut membantu dalam pembangunan renovasi besok.
Untuk alat, dan bahan yang juga rusak semua itu akan datang setelah satu minggu kemudian, karena barang yang mereka pesan cukup banyak.
Situasi sudah mulai kondusif, dan agak membaik. Tapi mereka masih perlu mencari dalang dari penyebab semua kekacauan ini.
"Mas, aku sempat lihat beritanya kemarin di internet. Tapi malam harinya semua berita itu menghilang, seolah ada orang yang menutup semua beritanya untuk tidak beredar. Mas, dan yang lain pasti sangat sibuk ya? Jangan lupa makan ya Mas, aku sayang Mas Rama. Hehe."
Rama terkekeh mendengarkan voice note yang di kirimkan oleh istrinya setengah jam lalu, yang baru sempat ia buka pesannya.
"Mas, kalau aku gak bisa di hubungi. Itu artinya aku lagi sibuk operasi hehe. Mas Rama jangan terlalu lelah ya, sekarang kan disana sendirian nggak sama ibu dokter yang cantik ini, jadi kalau sakit nggak ada yang rawat hehe."
Rama menggelengkan kepalanya, istrinya ini benar-benar menggemaskan. Ia menghela napas, setelah mengetikkan beberapa kata berupa balasan untuk istrinya yang saat ini mungkin masih bekerja, karena pesan yang di kirimnya hanya bertanda centang satu.
Rasanya ia ingin segera pulang, tapi ia dan yang lain harus memastikan perkembangan renovasi dan yang lainnya.
"Siapa ya Mas kira-kira dalangnya?" Sosok Fikron muncul tiba-tiba di sampingnya yang tengah berdiri di bawah pohon rindang di depan pabrik.
Adik iparnya itu menyodorkan segelas kopi susu buatannya. "Kalau bukan karena Gus Fariz dan mertuanya yang menutup portal berita itu, saat ini Fikron yakin akan banyak wartawan yang berdatangan. Gila ya, pengaruh mertuanya Gus Fariz sebesar itu."
Keduanya duduk di atas kursi kayu berbentuk panjang tepat di bawah pohon rindang itu. Rama dan Fikron itu menikmati kopinya dengan di temani semilir angin yang bertiup.
"Mas juga masih penasaran siapa yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Pikiran Mas buntu, tidak ada satu nama pun yang mampir ke otak Mas untuk menjadi tersangka."
Fikron mengangguk. "Bener. Tapi Fikron curiga kalau orang itu juga punya pengaruh Mas, walau nggak sebesar Pak Hambali. Tapi orang itu bisa sampai menghasut para warga, dan membuat para investor menarik saham mereka, bisa jadi orang itu juga orang asli sini. Iya nggak sih Mas?"
Rama mengerutkan kening, ucapan Fikron juga ada benarnya. Karena mana mungkin jika orang luar sampai menghasut warga seperti kemarin?
"Ah, enggak tau ah. Nggak boleh suudzan Fikron!" decak Fikron seraya mengusap wajahnya kasar.
Rama tidak menanggapi, mendengar semua yang di ucapkan Fikron entah kenapa tiba-tiba ada satu nama yang muncul di kepalanya. Fikron benar, seharusnya mereka tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain.
Tapi orang lain ini entah kenapa justru membuatnya yakin, jika itu semua adalah ulahnya.
'Astagfirullah Ram.' Rama membatin dalam hati. Kenapa ia malah menjadi berburuk sangka seperti ini?
*****
"Mas Rama!! Iihh ngapain kamu ikut muncul di layar!!"
Fikron berdecak, melihat kedua bola mata kakaknya itu melotot kepadanya yang memang sengaja ingin menganggu kemesraan suami istri itu dengan cara ikut muncul di kamera ponsel kakak iparnya.
Saat ini Aila terlihat sedang berada di mobil tentunya bersama dengan Irham yang merangkap menjadi sopir pribadi sepupunya itu.
"Mas, kamu jangan terlalu dekat-dekat sama Fikron. Nanti ketularan jelek kaya Fikron!"
Fikron mendengkus. "Sembarangan banget mulutnya! Kalau pun Mas Rama berubah jadi jelek, itu karena selama ini tertekan punya istri kaya kakak!"
Rama terkekeh, kakak-beradik itu memang selalu berdebat.
"Fikron, awas iih jauh-jauh dari kamera Mas Rama!!"
"Dih dasar bucin! Nyebelin!" serunya seraya menjauhkan wajahnya dari kamera ponsel Rama, dan membiarkan pasutri itu saling melepas rindu.
"Mas masih lama ya pulangnya?"
"Iya sayang. Kamu baru pulang?"
Kemudian mereka berbincang banyak hal, sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya, mengubah raut wajah Rama. "Mas, kenapa?" tanya Aila yang melihat perubahan pada raut wajah suaminya.
Rama menatap Aila seraya tersenyum, mencoba memberitahu jika dirinya baik-baik saja. "Sayang, sudah dulu ya Mas ada urusan sebentar. Kamu sama Irham hati-hati ya sayang."
Aila mengangguk, "Iya Mas. Mas juga jangan lupaa makan ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam." Balas Rama, dan begitulah panggilan video itu berakhir.
Rama masih menatap sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Sebuah pesan yang membuatnya sangat geram, namun ada urusan yang lebih penting dari membalas pesan tersebut.
"Fik! Ayo berangkat!" serunya.
Fikron menatap sang kakak ipar yang sudah berdiri itu dengan heran. "Berangkat kemana? Aneh banget. Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba ngajak berangkat aja!"
Rama berdecak. "Mas lagi pengen makan rujak sekarang. Seger banget kayaknya, lumayan lah itung-itung sebagai obat sakit kepala karena semua kejadian ini."
Fikron berdecak. "Mas. Ini masih jam sepuluh pagi lho! Yang bener aja, Mas selama disini setiap hari minta beli rujak terus lho, nggak kasihan memangnya sama lambungnya Mas?"
Rama mendelik. "Kamu mau ikut nggak?"
Fikron mendengus. "Iya deh iya. Nggak istri, nggak suami kayaknya seneng banget bikin aku repot." gerutunya seraya berjalan mengekori Rama yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya.
From : 08XXXXXXX
Saya tahu, kamu sudah menduga, kan siapa dalang atas semua kekacauan yang terjadi?
Saya pikir, kamu juga tahu siapa orang yang harus kamu temui.
Rama mengabaikan pesan itu, dan mematikan ponselnya. "Ayo Fikron!! Kamu kalau lama Mas tinggal ya!!"
Fikron kembali mendengus, ia berlari menghampiri kakak iparnya yang dudah berdiri di samping mobilnya itu. Entag kenapa kakak iparnya itu akhir-akhir ini sama menyebalkannya dengan kakaknya.
"Menurut kamu, rujak strawberry enak engga Fik?"
Fikrln melotot. "Nggak usah aneh-aneh deh Mas!" serunya seraya mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan kawasan pabrik milik Babanya.
"Ya nggak tahu. Mas tiba-tiba kepikiran begitu."
Fikron tidak lagi menanggapi ucapan kakak iparnya yang aneh itu. Astaga, mau sampai ke ujung dunia pun mereka berdua tidak akan pernah menemukan yang namanya rujak strawberry tersebut.
"Kayaknya seger deh Fik, kalau ada."
"Nggak ada! Mas mau cari ke ujung dunia pun, gak akan ketemu. Udah deh, kita beli rujak di tempat biasa aja, nggak usah aneh-aneh, atau Fikron turunin Mas Rama di tengah jalan!"
Rama berdeham. Ia memilih diam, sebelum adik iparnya itu menurunkannya di tengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...