KERAGUAN HATI

12.6K 605 32
                                    

Kepala Aila mendadak pening, kabar ini benar-benar mengejutkannya. Tatapan matanya melihat ada keterkejutan pada wajah Rama. Jelas sekali jika pria itu juga tidak tahu mengenai ini semua.

Fikron, dan sang Umi juga terkejut. Namun setelahnya mereka tersenyum, karena mereka tahu betul jika Rama adalah pria yang baik, sopan, dan juga lembut. Pria yang cukup pantas mendampingi seorang Myiesha Aila Rizqiyana.

Fikron, dan uminya jelas setuju. Aila yang sedikit keras dan manja memang harus di dampingi oleh orang yang lembut, seperti Rama.

Rama mengusap tengkuknya yang tidak gatal, kemudian berdeham. "Ngapunten Abah Yai. Saya ndak bisa menerima perjodohan ini." tukasnya.

Kyai Ikmal mengerutkan keningnya, sedangkan yang lain memilih menyimak. Aila juga jelas ingin menyuarakan pendapatnya, namun tidak saat ini. Ia ingin melihat tanggapan dari Mas Rama, orang yang sudah seperti perangko dengan Babanya, dan juga Fikron itu.

"Kenapa Ram? Sampeyan bilang Ning Aila ini cantik. Lalu kenapa kamu ndak mau menerima perjodohan ini?"

Rama meringis. Kenapa Kyai Ikmal mengatakan hal itu sekarang? Ia sangat malu, apalagi ia menangkap Fikron yang tengah tertawa, begitu pun dengan ibunya.

Sedangkan Aila terkejut, benarkah Mas Rama bilang begitu?

"Wah. Janga bilang, kalau Mas Rama inu sebenarnya pengagum rahasia Kak Aila Nih." guyonnya, di susul dengan suara tawanya yang sedikit keras.

Rama kembali meringis. "Bukan seperti itu Gus."

"Kalau iya juga ndak apa-apa kok Mas. Iya kan Baba?"

Kyai Ikmal hanya tertawa. Anak laki-lakinya ini memang suka sekali iseng.

"Bukan seperti itu Gus. Semua orang, bahkan anak kecil pun akan mengatakan hal yang serupa jika di tanya seperti apa paras Ning Aila." Rama menghela napas, "Justru itu masalahnya Gus, Abah Yai. Saya merasa ndak pantas bersanding dengan Ning Aila."

Ibu Nyai Ashilla mengerutkan kening, "Lho kenapa Nak Rama? Kita semua sama di hadapan Gusti Allah."

"Apa pun alasannya, saya tidak menerima penolakan." putus Kyai Ikmal, yang lagi-lagi membuat perasaan Rama semakin rumit.

Aila dan uminya menatap kepada Kyai Ikmal yang tampak serius, benar-benar tidak ingin menerima penolakan. Kepututusannya sudah final.

Aila menatap Uminya dengan tatapan memelas, meminta pertolongan kepadanya.

"Ba. Jangan memutuskan dulu. Kita belum dengar pendapat Aila lho Ba." ucapnya seraya mengelus bahu sang suami. Kini tatapan matanya menatap kepada Aila, "Bagaimana kak? Apa kakak mau menerima perjohan ini?"

Semua mata kini mengarah kepada perempuan bercadar yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan mereka. Aila benar-benar bingung, di satu sisi ia mencintai orang lain, namun ia juga tidak bisa menentang Babanya sendiri, yang jika sudah berbicara A, maka harus A. Tidak bisa di bantah!

Bola matanya melirik kepada Rama yang terlihat sangat frustrasi, pria itu juga sama pasti sangat keberatan dengan keputusan Babanya. Mereka sama-sama tidak berdaya untuk menolak keputusan ini.

Aila yang berat karena harus birul walidain, yang berarti berkewajiban untuk menuruti keinginan orang tuanya selama masih dalam ranah baik dan tidak menyimpang.

Juga Rama yang harus sami'na wa atho'na, kepada gurunya.

Keputusan ini benar-benar memberatkan keduanya.

Tatapan Kyai Ikmal mulai melunak, usapan tangan sang istri pada bahunya benar-benar ampuh menurunkan sedikit emosi, dan sifat kerasnya barusan. "Bagaimana Aila?"

Aila menghela napas, setelah cukup banyak berpikir, ia mulai berbicara. "Ba, Aila boleh minta bicara dulu dengan Mas Rama?" tanyanya, dengan penuh harap cemas. Takut Babanya tidak memberikan kesempatan untuk berbicara dengan Rama soal ini, dan juga soal keputusan yang harus keduanya ambil dalam waktu singkat ini.

Kedua orang tuanya saling menatap satu sama lain, kemudian mengangguk. "Boleh sayang. Ajak Fikron juga ya."

Aila mengangguk, setelah tutur lembut sang ibu mengalun. "Iya Umi. Fik, Mas Rama, kita bicara di teras ya?"

Fikron mengangguk. "Iya kak."

Rama menyugar rambutnya, kemudian mengusap kasar wajahnya seraya mengucapkan kalimat istighfar di dalam hati. "Ning--"

"Ikutlah dengan mereka Ram. Kamu, dan Aila memang perlu berbicara."

Rama benar-benar berada di posisi paling sulit. Dirinya benar-benar merasa terhimpit di tengah-tengah tembok yang mengungkung di kedua sisinya. Sama sekali tidak ada jalan keluar.

"Ram?" tegur Kyai Ikmal yang melihat keterdiaman Rama.

Rama akhirnya mengangguk, dan mengekori langkah Ning Aila dan Gus Fikron, setelah berpamitan kepada gurunya.

*****

Kini, sampailah mereka bertiga di teras depan ndalem, duduk di kursi yang berseberangan, dengan Fikron yang mengawasi mereka berdua dengan jarak yang agak jauh.

Rama mengerang, pikirannya benar-benar berantakan. "Ning .... "

Aila menghela napas, Rama tidak bisa membaca raut wajahnya karena tertutup cadar. Apakah Ning Aila sedang marah, dan juga gelisah sepertinya?

"Mas Rama jangan bicara dulu ya. Biar saya yang berbicara duluan."

Rama mengangguk, meski hatinya tengah meronta-ronta untuk mengeluarkan apa yang tengah ia rasakan saat ini.

"Kita terima saja perjodohan ini Mas."

Rama mengepalkan kedua tangannya. Bukan ini pembicaraan yang di inginkannya! Kalau begini sama saja, bukannya mendapat solusi, ia tetap di paksa untuk menerima semua ini.

"Ning. Mana boleh begitu! Saya tidak--"

"Mas Rama dengar sendiri, kan jika Baba tidak menerima penolakan?"

Rama tahu itu.

Tapi Rama tidak ingin Ning Aila terpaksa menikah dengannya.

Tapi posisi mereka benar-benar sulit, dan juga--rumit.

Rama kembali menyugar rambutnya, terdengar decakan pelan dari mulutnya. "Inggih Ning saya tahu. Tapi cobalah berpikir, jika Ning menerima perjodohan ini, apa Ning akan bahagia?"

Deg!

Ucapan Rama menusuk relung hatinya. Apakah ia akan bahagia? Ia sendiri tidak tahu apakah akan bahagia setelah menikah dengan orang yang jelas tidak ia cintai ini.

"Cobalah berpikir dalam sudut pandang sampeyan Ning. Saya mengerti, sampeyan melakukan ini karena harus birul walidain, kan? Tapi, sampeyan apa harus mengorbankan kebahagiaan sampeyan juga Ning?" Rama menambahkan, sungguh ia tidak ingin kelak Ning Aila menyesal karena menikah dengannya.

Ia tidak mau menghancurkan kehidupan Ning Aila dengan pernikahan ini.

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang