Rama bersiap menyalakan kembali mesin mobilnya, namun matanya menangkap sebuah ponsel milik Aila yang sepertinya tertinggal di atas dashboard.
Rama memarkirkan mobilnya di sisi lobi, agar tidak menghalangi pengendara lain. Ia keluar dari mobil berniat mengembalikan ponsel milik Aila yang tertinggal, beruntung Aila belum masuk ke dalam. Ia tersenyum seraya menatap ponsel yang berada di tangannya, saat hampir dekat dengan Aila tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat seorang pria mengenakan jas putih yang sama dengan yang di kenalkan Aila.
Keningnya membentuk kerutan samar, saat keduanya tampak berbincang dengan sangat akrab. Jangan tanya bagaimana perasaannya sekarang, tentu saja semuanya terasa menyesakkan baginya.
Rama diam-diam berjalan mengekori dua orang yang tampak akrab itu dari belakang. Samar-samar ia bisa mendengar apa yang di bicarakan oleh mereka berdua.
“Saya tidak melihat mobilmu di parkiran tadi Mei. Saya pikir kamu belum datang,”
“Iya saya di antarkan, ndak membawa mobil sendiri Dokter Reza,”
“Di antar sopir ya?”
Aila tampak menghentikan langkahnya, begitu pun dengan Dokter bernama Reza itu. “Ah, iya. Saya di antar sopir,”
Rama mengepalkan kedua tangannya, sebelah tangannya meremas ponsel milik Aila di genggaman tangannya. Sopir? Aila bilang ia di antar sopir?Seandainya hati Rama bisa terlihat, pasti bentuknya sudah hancur oleh banyaknya goresan dan tusukan yang terus menghujaminya.
Rama tidak lagi mengikuti langkah dua orang itu, "Ah, kenapa kamu menjadi kesal Ram? Bukankah kamu tidak pernah bernilai apa pun di hadapan Ning Aila?" ucapnya lirih.
Rasanya sangat sakit sekali, hanya ia yang berjuang sendirian dalam pernikahan ini. Berjuang meluluhkan hati sang istri, namun sepertinya perjuangannya akan berakhir sia-sia.
Rama terkekeh hambar. 'Apa pria itu adalah orang yang di cintai Ning Aila?' Batinnya.
Rama mengurungkan niatnya untuk mengembalikan ponsel Aila, ia memilih pergi dari sana dan kembali menuju tempat mobil istrinya berada. Ia masuk ke dalam dan menutup pintu, meraup wajahnya seraya mengucap istigfar untuk meredakan emosinya. “Ning, apa tujuan pernikahan ini bagimu? Jika pada akhirnya ini semua hanya membuatmu menderita, apa saya harus mengakhiri ini?” monolognya.
Bohong, jika hanya Aila yang sakit. Posisi Rama lebih sakit dari Aila, jika saja ia tidak mempunyai mertua sebaik Kyai Ikmal, dan Umi Ashilla, entah bagaimana nasibnya dalam pernikahan ini. Namun, karena ia laki-laki kodratnya harus lebih kuat dari perempuan, ia bisa menyembunyikan semuanya dengan baik. Ia meraih ponsel dan menelepon seseorang untuk menjemputnya di halte dekat rumah sakit tempat Aila bekerja.
Setelah merenung beberapa saat, ia kembali keluar dari mobil dengan membawa kunci mobil, ponsel milik Aila dan juga tas kerjanya. Ia menghampiri seorang security yang bertugas. Menitipkan kunci mobil dan ponsel milik Aila.
“Ngapunten Pak. Saya boleh minta tolong untuk parkirkan mobil milik Dokter Aila?”
“Oh nggih pak,” jawab sang security.
Rama mengangguk. “Pak, nanti setelah parkir berikan kunci mobil, serta ponsel ini kepada Dokter Aila nggih. Bilang kalau sopirnya yang menitipkan,”
“Oh nggih pak siap!”
Rama menyerahkan kunci mobil dan juga ponsel Aila yang langsung di terima dengan baik oleh sang security. Kemudian ia pamit berjalan menuju halte menunggu orang yang ia suruh untuk menjemput datang.
Ia bukannya tidak ingin berjuang, dirimya hanya merasa tidak pernah bisa menggapai hati Ning Aila. Ia bahkan sudah kalah sebelum berjuang.
Rama menghela napas, dan melangkahkan kakinya untuk pergi ke halte yang berjarak cukup dekat dari rumah sakit ini.
Tidak lama menunggu, sebuah mobil pajero sport berwarna hitam berhenti di depannya, perlahan jendela mobil itu turun memunculkan sosok Bagas Pangestu, sahabat sekaligus orang yang ia hubungi beberapa saat lalu untuk menjemputnya.
"Ram! Ayo masuk! Sampeyan mau di anter kemana?" teriak Bagas dari dalam mobil.
Rama menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Bagas ini, terlalus berisik untuk ukuran seorang pria.
Ia lantas bergegas, membuka pintu mobil bagian depan di samping kursi Bagas yang mengemudi.
"Kenapa toh? Muka sampeyan kusut banget koyo ndak di setrika setahun aja. Kenapa sih?" tanyan Bagas.
Rama hanya berdecak, "Bisa berangkat saja ndak?"
Bagas mendengkus. "Ya sampeyan memangnya mau di antar kemana? Dari tadi aku tanyain, sampeyan ndak jawab. Jangan sampe, aku cekik sampeyan ya Ram!" keluh Bagas kesal. Rama mode galau memang menyebalkan.
"Tempat biasa aja." balasnya singkat.
"Nah, kalau dari tadi bilang kan enak. Langsung Gaaas!!!" Serunya seraya menyalakan mesin mobil, dan mulai mengemudikannya ke tempat tujuan yang di maksud oleh Rama.
Rama menggelengkan kepalanya, Bagas ini benar-benar sangat absurd sekali.
"Sampeyan apa nggak pergi kerja Ram?"
Rama menggeleng. "Ada orang kepercayaan saya disana. Saya ndak mood ngapa-ngapain sekarang."
Bagas mengangguk saja. Sahabatnya ini benar-benar terlihat tidak punya semangat hidup saat ini. Entah hal apa yang tengah mengganggu pikiran Rama sampai seperti itu. "Ok. Ada Alexa juga disana, dia sedang latihan."
Rama mengangguk. "Anak-anak disana juga Gas?"
"Hm, ndak ada. Mereka sedang menikmati masa libur mereka di rumah."
Setelah itu tidak lagi ada pembicaraan di antara kedua pria itu, mobil yang di kendarai Bagas juga melesat kencang seolah mengerti perasaan Rama yang sangat ingin segera sampai ke tempat tujuan.
Rama memejamkan mata selama dalam perjalanan. Ia benar-benar butuh menengkan hati dan pikirannya yang terasa mulai lelah hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...