43. Alyssa Dé Floyd

340 15 0
                                    

"Lo ga usah bercanda! Ini ga lucu sama sekali!"

"Aku tidak sedang bercanda, Lyora Gabriella Dirgantara adalah Rasya Olivia Abraham yang bertransmigrasi. Sama sepertimu."

"Lelucon lo ga lucu!"

"Aku tidak bercanda! Baik Rasya, Carlos, dan kamu. Jiwa kalian dibawa kemari oleh Master karena Master tau, Rasya adalah ingkarnasi dari Alyssa dé Floyd."

"Cukup! Lo ga usah bercanda lagi! Lyora ga mungkin Rasya!"

"Terserah apa kamu mau percaya pada ucapanku atau tidak, yang pasti. Rasya sedang dalam bahaya, dan yang bisa menolongnya hanya kamu … dan dia."

"Lo—"

"Jika kamu masih membuat waktu, maka Rasya yang paling kamu cintai akan dibunuh oleh Carlos. Waktumu hanya sedikit, lebih baik kamu menanyakannya nanti setelah kamu menolongnya. Karena kami, Klan Penyihir Merah, telah terputus kontrak dengan Lyora."

🌺🌺

"Yang ngebantu gue adalah—"

"Tidak disangka, wadah dari jiwaku diperlakukan dengan buruk saat aku pergi."

Ketiganya menoleh ke asal suara, tepatnya ke arah pintu yang terbuka. Dimana seorang gadis bermata biru dengan gaun hitam menjuntai kelantai berjalan masuk dengan anggunnya. Rambut pendeknya yang berwarna ungu soft tampak beterbangan terbawa angin.

Mawar hitam yang entah datang darimana berguguran saat gadis itu melangkahkan kakinya memasuki mansion.

"Siapa sih lo? Mengganggu aja!"

"Kamu …"

"Alyssa??"

Altezza dan Lyora reflek menoleh ke arah Bastian yang terdiam mematung dengan pupil mata mengecil dan tangan yang sedikit gemetar.

"Alyssa? Apa maksudmu Alyssa Lauren?" tanya Lyora namun tidak direspon oleh Bastian.

"Benar, aku adalah Alyssa dé Floyd. Ah, atau yang lebih kalian kenali dengan nama Alyssa Lauren, si penyihir kamuflase," jawab gadis bermata biru itu dengan senyum simpul.

"Alyssa dé Floyd …?"

"Eh, jadi lo penyihir yang dibicarain si gadis bertudung merah itu?"

"Gadis bertudung merah?" Alyssa mengedipkan matanya dengan eskpresi polos, dia tersenyum. "Siapa yang kamu maksud? Banyak penyihir yang menggunakan tudung merah."

"Gadis kecil yang mungkin hanya setinggi dada, dia bilang kalau lo bakal muncul suatu hari nanti dan bakal ngebunuh gue. Kalau ga salah ingat, namanya … ah, benar. Naria."

Lyora terdiam mematung, dia menatap Altezza dengan eskpresi kaget. "Apa, apa yang lo bicarain? Naria, Naria siapa yang lo bicarain?!"

"Gue ga tau." Altezza mengangkat bahunya acuh. "Dia cuma bilang namanya Naria dan dia berasal dari Penyihir klan Merah, omong kosong!"

Berbeda dengan Altezza yang tak percaya, Lyora justru memilih diam dengan kepala tertunduk. 'Gimana bisa? Naria, jelas-jelas Naria udah mati waktu itu! Gimana bisa dia kembali dan ketemu Carlos??'

"Sihir ilusi, aku yakin kamu pernah mendengarnya di Vidio game atau anime."

Lyora mengangkat kepalanya dan menatap Alyssa yang juga menatapnya datar.

"Naria menggunakan sihir ilusi untuk memalsukan kematiannya dan mencari mayat korban kebakaran yang mirip dengan dirinya, bukankah sangat kebetulan?"

"Nggak, nggak mungkin." Lyora menggeleng tak percaya. "Naria ga mungkin ngelakuin hal itu, dia bukan orang yang kayak gitu!"

Alyssa hanya menghela napas. "Kamu benar-benar polos, seperti yang Frey katakan. Kamu percaya pada orang yang menurutmu pantas dipercayai, aku harus menyebutmu bodoh atau naif?"

"Nggak, ini pasti bohong! Gue, gue yakin ada orang yang—"

"Ini memang kebenaran, Tuan."

Lyora mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang amat dikenalinya, Naria. Gadis yang dulunya selalu menebar keceriaan di hidupnya dan membawa kesedihan saat kematiannya itu kini berdiri tak jauh dari mereka dengan tudung jubah merah yang menutupi wajahnya.

"Oh, ternyata kamu ya." Alyssa tampak mengangguk-anggukkan kepalanya saat melihat Naria.

Berbeda dengan Lyora yang masih tampak syok. "Naria, bukannya kamu …"

Naria menurunkan tudung jubahnya, sebuah tanda aneh terlihat samar di bawah matanya. Tanda berbentuk seperti kepala tengkorak yang samar. "Terkejut? Tuan pasti tidak pernah menduga akan melihatku lagi kan? Ah, maaf. Seharusnya aku memanggilmu Rasya, karena kontrakmu dan penyihir klan merah sudah berakhir."

"Naria, kamu dari mana saja?? Aku sangat mengkhawatirkanmu."

"Mengkhawatirkanku? Lucu sekali, kamu yang bahkan tidak mengerti perasaan orang lain mengkhawatirkan orang lain? Lelucon basi!"

"Naria. Apa, apa maksudmu?" tanya Lyora tak mengerti, dia semakin dibuat bingung dengan ekspresi wajah Naria yang tidak ramah seperti biasanya.

"Berpura-pura??" Naria menatap sinis. "Apa kamu masih bisa berpura-pura?? Karena kamu! Master jadi mengorbankan semua jiwanya dan tidak bisa dibangkitkan kembali! Seandainya kamu menyerahkan jiwamu pada ilusi Neo saat itu, Master pasti bisa kuhidupkan kembali! Kenapa kamu harus kembali?? Kenapa Master harus berkorban karena manusia lemah sepertimu?!"

"Naria, apa … apa maksudmu? Aku, aku sungguh tidak mengerti. Nona Yuri—" Lyora seketika menggantung kalimatnya saat sebelah tangannya menyentuh dada, dia tertegun. 'Menghilang … aku tidak bisa, merasakan jiwanya sama sekali.'

"Akting yang bagus, Rasya Olivia Abraham! Jika saja Master tidak mengorbankan dirinya untukmu, aku mungkin akan tetap jadi orang bodoh yang mengikutimu dari belakang!" Naria menatap penuh penghinaan. "Kenapa kau tidak mati saja sih, sialan?"

"Naria!"

"Lo jangan kelewatan!" Altezza berdiri tegak dan mengarahkan pisau yang dipegangnya ke Naria.

"Diam! Kalian tidak mengerti tentang perasaanku dan jangan menghalangiku, bahkan jika Master sudah menghilang. Aku tetap akan membunuh sialan itu!!" teriak Naria sembari menunjuk Lyora dengan eskpresi penuh amarah.

"Aku … membunuh Yuri …?" gumam Lyora dengan kepala tertunduk, dia menatap kedua tangannya yang gemetar. "Gimana bisa, aku …"

"Cih, akting yang buruk." Naria memutar bola matanya malas, dia memadatkan sihir membentuk sebuah belati tipis nan tajam dan melesat ke arah Lyora dengan cepat.

Altezza hendak menghalanginya namun terlambat.

Naria sudah lebih dulu berdiri di depan Lyora dengan belati yang diangkat. "Mati!" Dia dengan cepat menusukkan pisau ke gadis lengah di hadapannya.

"Berhenti, Naria."

Naria menatap Alyssa yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya dan menahan belati sebelum sempat mengenai kulit Lyora. "Lepaskan aku, Tuan Putri! Akan kubalaskan dendam Master!"

"Menyerahkan, Naria. Bahkan jika kamu membunuhnya, Frey tidak akan bisa bangkit kembali."

"Meski begitu, setidaknya saya bisa membalaskan dendamnya!"

Alyssa tetap menatap Naria dengan ekspresi tenang di wajahnya, tidak ada ketakutan ataupun keraguan sedikitpun. "Lalu, apa kamu pikir Frey akan menerimanya? Apa menurut kamu Frey akan bahagia jika kamu membunuhnya?"

Naria hanya bisa terdiam membisu, dia tidak tahu bagaimana reaksi sang Master jika dirinya benar-benar membunuh jiwa tersebut. Tapi tanpa membunuhnya, Naria tidak akan pernah merasa lega.

"Naria, menurutmu. Kenapa Frey sampai repot-repot menghabiskan energi sihirnya untuk memanggil jiwa asing itu kemari?"

"I-itu karena Master ingin membangkitkan Tuan Putri," jawab Naria ragu-ragu.

Alyssa tersenyum simpul, dia menepuk-nepuk kepala Naria. "Aku menyimpan satu serpihan jiwa Frey, meskipun tidak bisa mempertahankan hidupnya selamanya. Tapi setidaknya dia akan bisa bangkit dan hidup kembali selama setahun."

🌺🌺

NalendLyora [Transmigrasi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang