44. Ambang Kematian

407 9 2
                                    

'Lyora, gue bakal nyelamatin lo secepatnya!'

"Kamu menyetirnya sangat lambat, apa tidak ingin menggunakan kekuatan teleportasi saja agar cepat sampai?" oceh Sisi.

"Nggak, lo perlu nyimpen kekuatan lo buat bantu gue selamatin Lyora."

"Namanya Rasya."

"Gue ga ngakuin dia Rasya sebelum gue ngeliat sendiri!"

Sisi berdecak sembari bersedekap dada, dia memalingkan wajahnya dan menatap ke luar jendela. "Hei, Neo. Kenapa kamu menipu Rasya saat itu?"

"Jangan memanggilku begitu."

"Baiklah. Neo, kenapa saat itu kamu menipu Lyora seolah kamu selingkuh dan memutuskannya secara sepihak? Seandainya kamu memberitahunya soal penyakitmu, dia mungkin akan mengerti dan kamu tidak akan menderita seperti ini."

"Gue ga mau dia lebih menderita pas gue mati, dan jangan manggil gue Neo!"

"Jadi menurutmu Lyora tidak menderita saat melihatmu berjalan bersama gadis lain meski itu sepupumu? Apa menurutmu dia tidak sakit hati saat melihatmu bermesraan dengan sepupumu itu??"

"Tidak usah menekan kata sepupu!"

"Terserah aku dong." Sisi mengalihkan pandangannya, dia menundukkan kepalanya dan menatap kedua tangannya yang terkepal di atas pangkuan. "Sebenernya ini juga kesalahanku, maaf. Seandainya aku memberitahumu lebih awal kalau Rasya adalah Lyora, kamu mungkin tidak perlu memendamkan sendirian dan tidak akan menderita ... kalian berdua ga akan menderita, tapi karena aku. Kalian mengalami kejadian ini, aku benar-benar minta maaf!"

"Ini bukan kesalahan lo, kalau dia emang Rasya. Seharusnya gue sadar sejak awal, tapi gue malah dengan bodohnya ga ngenalin pacar gue sendiri. Gue bener-bener udah gila."

"Cukup-cukup! Sekarang bukan waktunya untuk saling menyalahkan, kita harus segera menyelamatkan Rasya!"

🌺🌺

"Su-sungguh??"

"Ya." Alyssa tersenyum. "Kita bisa hidup bertiga selama beberapa bulan. Jadi redam kemarahanmu, mengerti? Emosi yang berlebihan adalah yang terburuk bagi para penyihir."

Belati di tangan Naria perlahan-lahan menghilang, dia menutup matanya sejenak. "Baik ..."

"Anak pintar." Alyssa mengusap kepala Naria dengan senyum simpul.

"Itu, Alyssa-"

"Buat apa kamu kembali kemari??"

Alyssa menoleh ke arah Bastian yang tampak marah, entah apa yang membuat pria itu marah besar kali ini. "Apa maksudmu? Apa kamu tidak merindukanku?"

"Hentikan omong kosong ini, Alyssa! Seharusnya kamu tidak perlu dibangkitkan lagi! Apa kamu tahu, banyak penyihir mati karena ulahmu!" ucap Bastian geram.

"Karena aku?" Alyssa tetap menatap dengan ekspresi tenang di wajahnya, tidak ada ketakutan. Keraguan, ataupun belas kasih apapun. Dia seperti sebuah lautan luas yang tenang namun mengancam. "Lucu ya, bukankah yang membunuh mereka adalah pasanganmu itu, Bastian?"

"Apa maksudmu?? Jelas-jelas kamu yang-"

"Camilla d'Lloyd, aku yakin kamu mengenalnya kan? Putri satu-satunya Count Briell. Ah, apa harus kusebut sebagai Putri haram Yang Mulia Raja Davian Nevan Alerscha dan seorang pelayan?" Alyssa tersenyum manis. "Benar kan, Bastian~ kamu berselingkuh dengan Putri Haram Raja yang berarti adikku."

"Kau, bagaimana bisa ...?"

"Bastian, apa kamu melupakan satu hal?" Alyssa meletakkan jari telunjuk di atas bibir, dia tersenyum simpul. "Aku memiliki dua panggilan, penyihir kamuflase ... dan peramal masa depan." Alyssa menurunkan tangannya, dia menatap Bastian dengan tetap tenang dan tanpa emosi apapun di matanya. "Aku masih bisa menggunakan sihirku bahkan jika berada di tubuh Rasya, loh."

"Bukankah, kemampuan melihat masa depanmu sudah lama menghilang? Bagaimana bisa kamu tiba-tiba bisa menggunakannya??"

"Coba tebak, itu rahasia." Alyssa melirik ke arah lain sesaat sebelum kembali menatap Bastian, dia berkacak pinggang. "Masa depan, tidak bisa diubah. Seberusaha apapun kamu melawan, memberontak, berdarah. Bahkan jika kamu hancur sekalipun, kamu tidak akan pernah bisa mengubah masa depan. Karena masa depan ... tidak bisa diprediksi."

"Bastian, Bastian! Saat aku melihat masa depan, aku akan memberikan kode padamu menggunakan kalimat. Dengarkan ya! "Masa depan, tidak bisa diubah. Seberusaha apapun kamu melawan, memberontak, berdarah. Bahkan jika kamu hancur sekalipun, kamu tidak akan pernah bisa mengubah masa depan." ini rahasia antara kita berdua, ya!"

"Jangan-jangan ...!" Bastian menatap ke arah Altezza dan Lyora. "Tunggu, Altezza!!"

"Rasya." Altezza menatap Lyora dengan senyum manis. "Mari mati bersama," lanjutnya dengan pisau yang sudah ditusukkan ke perut sang Adik.

"Ka-kak ..."

Altezza merentangkan kedua tangannya, dia langsung memeluk Lyora dan membuat pisau yang bersarang di tubuh gadis itu sedikit terdorong masuk. "Jangan khawatir, adikku sayang~ setelah membunuhmu, aku akan bunuh diri agar kita bisa hidup bersama di surga!"

Lyora menatap dengan lemah, matanya terasa berat dan berkunang-kunang. Rasa sakit di perutnya tidak bisa dijelaskan dan seolah menggerogoti organnya, tubuhnya perlahan-lahan menjadi lemah bersamaan dengan banyaknya darah yang mengalir. "Sadar-lah ... ka-kak," gumamnya dengan suara lemah. "Ku-mohon, ja-jangan ka-lah."

"Sudah cukup, Rasya~ kata-katamu itu hanya sia-sia karena. Altezza sudah kuhancurkan," bisik Altezza tepat di samping telinga Lyora.

"Ku-mohon ... ka-kak." Lyora perlahan-lahan menutup matanya, dia tidak lagi memiliki tenaga untuk melawan ataupun bersuara. 'Tolong ... sadar-lah.'

"Kakak, sadarlah! Kakak tidak boleh menyerah! Kakak tidak boleh memberikan tubuh kakak! Sadarlah, kakak!!"

'Eh, apa ini?' Altezza menatap linglung. 'Aneh, perasaan aneh apa ini? Aku, gue nggak pernah ngerasain perasaan ini saat berada di tubuh orang lain. Terus kenapa tiba-tiba gue ngerasa kayak gini? Perasaan aneh yang seolah ... buat gue muak.'

"Jangan kalah, Kakak ... jangan pergi. Hanya Kakak dan Kak Angkasa yang bisa berada di samping Kak Rasya, kumohon ... jangan tinggalkan mereka. Aku tidak ingin, Kakak menyusul kami secepat ini. Kumohon, kumohon-kumohon ... sadarlah, Altezza Farez Alexandra!!"

"Lyora!!"

"Oh~ pahlawan sudah datang ya," kata Alyssa dengan santainya, dia bersedekap dada sembari duduk di sofa tunggal saat melihat pintu yang tiba-tiba dibuka (ditendang) dengan kasar. "Selamat siang, kamu cukup terlambat ya. Neo Devandra Argantara."

"Lo, siapa lo?! Dan lepasin mereka!"

"Lepaskan? Siapa yang kamu maksud? Apa si pengkhianat itu, atau tunangan pengkhianat itu? Siapa yang kamu maksud, Nalendra?"

"Lepasin mereka berdua!"

"Tidak bisa." Alyssa berdiri dari duduknya, dia menatap dengan angkuh. "Mereka melanggar tiga kesalahan dan tidak bisa dimaafkan lagi."

"Lo-"

"Bukankah kamu seharusnya menolongnya lebih dulu?" tanya Alyssa sembari menunjuk ke arah Lyora yang kini tak sadarkan diri. "Jika lebih lama, dia akan benar-benar mati kehabisan darah."

Nalendra menatapnya dengan marah, dia berdecak dan berlari ke arah Lyora. Tanpa banyak kata, Nalendra langsung memberikan bogeman mentah tepat di pipi kanan Altezza. Dia langsung menggendong Lyora dan berjalan pergi.

Di sisi lain, Alyssa hanya diam dan menatap kepergian mereka tanpa berniat menghentikan. Dia melirik Naria yang terikat sulur dan kini tak sadarkan diri. "Jangan khawatir, Naria. Dengan jiwamu yang lezat ini, aku pasti akan membangkitkan Frey."

🌺🌺

Alyssa susah ditebak ya pikirannya. Mau bilang serigala berbulu domba juga bukan, domba berbulu serigala pun bukan. Dia tuh berasa kayak di faksi netral gitu ga sih? Atau lebih ke antagonis baik??

NalendLyora [Transmigrasi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang