BAB 96

20.9K 1.9K 698
                                    

Didalam ruangan, Galan duduk sedikit merapat pada Gibran saat melihat Rayanza yang berjalan mendekati mereka.

'seharusnya gw ngk kesini.' batin frustasi Galan.

Tapi tak seperti yang Galan bayangkan, Rayanza hanya duduk diam menikmati makanannya.

Dan semuanya berjalan dengan tenang tanpa masalah apapun. Benar-benar hari yang damai tanpa masalah.

Tentu saja pengecualian untuk Rayanza.

Tepat saat pukul 16.50, waktu sekolah berakhir.

Semua siswa IHS, mau itu gedung ipa atau ips, mereka semua siap untuk pulang kerumah masing-masing.

Berbeda dengan Rayanza, karena dia yang saat ini sidah duduk manis menikmati pemandangan indah didepannya.

"T-tuan, anda seharusnya kembali dulu atau tidak mengganti seragam sekolah anda." Gugup Ivan melihat tuannya yang sudah kotor ternoda darah.

Ivan disuruh kembali ditengah tugasnya mengawal Nathan. Tentu saja prioritas utamanya adalah sang tuan, jadi dia dengan cepat kembali tanpa izin dari Nathan.

Mereka berdua saat ini ada di gedung tua tempat dimana Cia 'tinggal'.

Saat ini, penampilan Rayanza tak jauh dari kata 'iblis' dan 'psikopat'.

Bayangkan saja, dia saat ini sedang duduk di kursi kayunya, dengan kaki yang menghimpit kaki yang satunya lagi, dan tangan yang memegang tang dan gunting.

Kedua benda itu sama dengan Rayanza, berlumuran darah.

Tatapan matanya hanya penuh dengan nafsu untuk membunuh.

Tak jauh dari tempat dia duduk, dilantai penuh darah itu, sepotong daging, yang dapat dipastikan sebuah lidah seseorang, tergeletak disana.

Dan tak jauh juga dari sana, beberapa jari berserakan dimana-mana.

Rayanza menatap mahakarya didepannya dengan puas. Inilah dirinya yang sebenarnya, dia memang harus seperti ini, kejam dan mendominasi.

Dia tidak cocok bergaul dengan mereka, anak-anak dibawah umur. Digabungkan dengan usianya dikehidupan sebelumnya dan sekarang, di sudah berusia tiga puluhan atau berapapun itu.

"Ughhh...hiks...guahhh...baah...kuuaah...kaakk...hiks...hiks...ngaaaahh..." Suara yang tidak jelas dan aneh itu membuat Rayanza semakin tersenyum senang.

"Maaf, gw ngk ngerti apa yang lo bilang. Tolong ulang sekali lagi biar gw ngerti." Ucapnya dengan penuh penghinaan.

Cia, yang saat ini di ikat di kursi dengan lidah yang telah dipotong, dengan tiga jari kaki yang telah hilang, dan satu tangan yang telah remuk.

Meski begitu, seolah tak mengetahui situasinya sendiri, dia masih menatap Rayanza dengan marah seperti menyumpahinya untuk mati mengenaskan.

Tubuhnya sudah penuh dengan luka kecil dan luka besar, luka jahit yang sengaja diperburuk terlihat di sekujur tubuhnya.

Beberapa luka bahkan telah membusuk dan mengeluarkan bau yang menyengat dari sana.

Dia ingin mati, dia awalnya kembali mencoba untuk menggigit lidahnya, tapi sudah dulu ketahuan oleh Ivan.

Alhasil, keesokan harinya, Rayanza datang dan langsung mengabulkan keinginan, dia memotong lidahnya dengan pisau tumpul berkarat dengan perlahan-lahan.

Dia menjerit kesakitan setiap dia menggunakan pisaunya.

Dia juga memukul salah satu tangannya dengan palu hingga remuk, tulang-tulang jarinya hancur tak bisa digerakkan.

"Kenapa? Marah? Benci? Kalo gitu sini dan pukul gw." Sarkas Rayanza menatap mata penuh kebencian Cia.

Transmigrasi: RAYANZA OR RYIANZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang