Dengan mata berlinang dan senyum tulus di wajahnya, Kafka mengambil tangan Hendry yang memegang pisau itu dan mendekatkannya pada perutnya sendiri.
"Hiks..hiks.. Kafka cuma bisa bertahan sampe di sini. Maaf, Kafka ngk bisa jadi anak yang papa mau...hiks...maaf karena Kafka udah ngebuat keluarga ini sengsara...hikss..maaf...maaf..hiks..
maaf...hiks..hiks..Kafka..Kafka harap kalian hidup bahagia....hiks..hiks..." dia menutup matanya dan dengan cepat menggerakkan pisau di tangan Hendry untuk mengarah pada perutnya.Kafka bergerak dengan cepat, dia menarik tangan Hendry dan-
Taazzzzzz
"AAAHHHHH!!"
"JANGAN!!"
"KAFKA!"
Mereka membulatkan mata tak percaya, Kafka benar-benar berniat menusuk dirinya sendiri, tapi bukan itu yang membuat mereka terkejut.
Tepat saat pisau itu benar-benar akan menusuknya, sebuah tangan dengan cepat menahan pisau itu membuat tangannya terluka cukup serius.
Darah segar mulai mengalir.
Hendry, yang tanpa sadar sudah meneteskan air mata akhirnya sadar dan menatap cemas pada Kafka.
Dia belum terlalu sadar karena semua yang di katakan Kafka tadi membuatnya linglung dan sakit.
Kafka juga sama, dia yang awalnya sudah siap dan melepaskan semuanya hanya bisa menatap tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Ruangan itu menjadi sunyi, mereka terlalu terkejut hingga lupa bagaimana untuk bicara.
"AAHHHHH! Darah..hiks..darah.. hiks...bang..hiks..bang Arga ngk kenapa-napa kan? Hiks..ayo obatin...darahnya..hiks..darahnya ngk mau berhenti..." suara tangis Cia membuat mereka semua tersadar dari rasa beku di hati mereka.
Kafka menunduk menatap tangan Arga yang menahan pisau yang akan mengenainya. Dia menggenggam pisau itu dengan tangan kanannya.
"Kenapa?...hiks...kenapa?...kenapa lo lakuin ini? Kenapa lo nahan pisaunya?..hiks...kenapa?..hiks..hiks...dikit lagi..dikit lagi gw bisa bebas dari semua ini...tapi lo...lo ngacauin semuanya!" Mata Kafka kembali meneteskan air mata. Dia menatap Arga dengan penuh keluhan.
Arga yang ditanya tak menjawab, dia mengambil pisau dari tangan Kafka dan Hendry lalu melemparnya ke sembarang arah.
Dia menatap dingin pada Kafka yang sudah kelewatan.
"Kembali ke kamar lo dan nanti hukuman dari gw." Dinginnya.
Dia menatap pelayan di sekitanya dan menyuruh mereka untuk membereskan semua kekacauan yang ada termasuk noda darah di lantai.
Tentu saja dia tidak akan benar-benar menghukumnya, itu hanya sekedar gertakan semata agar seseorang tidak curiga.
Kafka yang masih tenggelam dalam kesedihannya dengan patuh pergi menuju kamarnya di lantai 2, meninggalkan mereka yang masih mencerna situasi yang terjadi.
"B-bang, obatin luka lo dulu." Lingga menatap sepupunya itu dengan khawatir.
Annie mendekat dan melihat tangan anak bungsunya dengan sedih.
"Genta, pergi dan ambilkan kotak obat buat adik kamu. Lukanya cukup dalam." Genta yang Annie maksud adalah anak pertamanya, Gentala putra Astara. Mereka biasnya memanggilnya Genta.
Gentala yang mendengar itupun pergi mengambil kotak obat.
Ruangan itu kembali sunyi, Hendry sedah kembali duduk sambil memijat pelipis sakit. Biarkan dia mencerna apa yang terjadi hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi: RAYANZA OR RYIANZA [END]
Fiksi Remajatransmigrasi jadi imut ✖️ Transmigrasi seperti mayat hidup ✔️ Ryianza seorang pria dewasa berusia 25 thn Bertransmigrasi kejiwa seorang remaja SMA. Bagaimana sikap ryianza saat mengtahui raga yang ditempatinya memiliki nasib yang tidak jauh berbed...