***
Hampir empat bulan Firman belum juga bangun dari komanya, hingga akhirnya sang istri memutuskan untuk turun tangan menjaganya. Meski dalam kondisi hamil, Mira tetap perlu melakukan kewajiban sebagai istri. Lagipula dia belum berpisah dari Firman, jadi dia masih ada hak untuk itu.
Mira siap siaga selama seminggu untuk menjaga sang suami di ruang perawatan VIP. Meskipun setiap malamnya dia harus pulang ke apartemen untuk mendapatkan istirahat yang cukup serta nutrisi seimbang untuk bayinya.
Hingga di hari ketujuh, Mira masih setia walaupun kecapean melandanya. Dia tak peduli kondisi dirinya, asalkan mengetahui kondisi Firman adalah prioritasnya kini. Pada malam hari, Mira sedang merapikan bantal dan memperbaiki rambut depan suaminya. Alat bantu nebulizer serta alat bantu lainnya menjadi "makanan" Firman sehari-hari.
Merasa tugasnya sudah selesai, Mira langsung keluar dari ruang perawatan dan menemui Lexi, dim mana wanita itu sedang menunggu di koridor yang tidak jauh dari tempatnya keluar barusan. Tentu, Mira dan Lexi punya obrolan penting yang sekiranya tidak terlewatkan.
"Kita ngobrol di sini atau di kantin rumah sakit?" tanya Mira menawarkan.
"Di sini aja," jawab Lexi sambil menepuk kursi di sebelahnya.
Mira mengiyakan lalu mengambil tempat sesuai permintaan Lexi. "Apa yang perlu kita obrolin? Aku masih harus jaga kondisi Firman. Takut dia kenapa-napa."
Lexi terdiam sambil menarik napas. Kemudian posisinya lebih mendekat ke Mira. "Kita perlu atur strategi, jika saja Firman sudah sadar dari komanya."
Mira spontan mengernyitkan kening. "Apa maksudnya?"
"Apa yang ingin kamu lakukan jika Firman sudah bangun? Apa kamu ingin minta maaf atau tetap menggunakan topengmu agar Firman tidak curiga?"
Belum pernah Mira memikirkan hal itu. Memang, dia punya sedikit harapan agar Firman bisa menerima maafnya, namun di sisi lain dia juga takut kalau saja Firman benar-benar tidak bangun dalam waktu yang dekat. Mungkin saja Firman masih menikmati alam bawah sadarnya tanpa memperhatikan situasi sekitar.
"Dua rencana," jawab Mira spontan, sambil menegakkan jari telunjuk dan tengah.
"Apa itu?"
"Pertama, aku tetap menggunakan topengku kalau Firman tidak menyadari atau tidak mengetahui masa laluku. Dan yang kedua, mungkin aku bakal tetap jujur, jika Firman ingat tentang kejadian di masa lalu."
Reaksi Lexi hanya diam, tanpa ada gerakan sama sekali.
Mira melanjutkan ucapannya. "Kamu kan tahu, Firman mengalami gejala trauma lagi ketika dia hampir sembuh. Gejalanya berupa ... sebuah mimpi yang mana aku ada di dalamnya. Firman terus membayangkannya hingga aku ditanya apa aku otak perundungan itu?"
"Lalu gimana, kamu jawab apa di situ?" Lexi bertanya antusias, dia tidak tahu tentang bagian yang diceritakan Mira barusan.
"Aku bilang cuma ikut-ikutan teman. Entah gimana selanjutnya, apa sebelum pertarungan itu, Firman mencari tahu tentang masa lalu kita?"
"Sangat mustahil sih kalau kita tetap menggunakan topeng, pasti Firman akan mengungkit masa lalu yang dia alami terlebih dulu."
Keduanya mengangguk bersamaan, membenarkan fakta tersebut.
"Apa pun yang terjadi, kita tetap harus siap jika keluarga Firman membenci kita," ucap Mira seakan rela terhadap situasi ke depan. "Demikian Firman. Kita tidak akan bisa memasang topeng, kalau kebohongan terendus begitu saja. Tidak ada kebohongan yang tertutup rapat-rapat. Sama seperti kita menutup wadah yang berisi makanan. Kemudian makanan itu bakal basi, dan akan tercium jika dibiarkan."
"Kamu benar, Mir. Meski berusaha menutupi kebohongan kita, pasti ada satu orang atau mungkin Firman yang menciumnya."
Selanjutnya hembusan napas dari keduanya kini mengudara. Lalu masing-masing menundukkan kepala. Lagi dan lagi mereka rela terhadap masa lalu yang buruk. Mereka tidak akan bisa menyembunyikannya, yakin dan percaya pasti kebenaran akan terkuak dengan sendirinya.
"Selama tujuh hari, kamu kesusahan ya menjaga Firman?" tanya Lexi kini beralih topik. "Memang, karena Om Heru yang terus jaga Firman, apa salahnya kan giliran istrinya yang jagain?"
Mira mengangguk sambil tersenyum. "Benar, sih. Aku jagain ayah dari bayi yang ada di kandunganku ini," ucapnya langsung mengelus perutnya yang menonjol, meski tidak terlalu besar.
"Omong-omong, gimana bayi kamu? Sudah lama kamu nggak periksa. Atau mungkin kamu ke dokter sendirian?" tanya Lexi penasaran. Tentu karena pekerjaan lain jadi membuatnya tidak dapat menjaga Mira dan tidak mengetahui pula kondisi Mira.
"Iya, aku ke dokter sendirian. Dan si bayi baik-baik aja, kok." Mira menjawab santai. "Malah kondisinya tidak memburuk, selama ini stabil. Sama seperti kondisi ayahnya yang terbaring koma sekarang."
"Baguslah kalau begitu." Lexi mengelus pelan lengan sahabatnya. "Aku jadi khawatir sama kamu, Mir."
"Tenang, ada ayahku juga kok yang jagain. Ke apartemen dan memenuhi permintaanku sebagai ibu hamil."
Lexi tak menjawab melainkan helaan napas lega yang terdengar, berulang kali mengelus lengan Mira sambil sesekali menepuk pundak Mira.
"Semoga kandungan kamu tetap sehat ya, Mir," harap Lexi. "Dan pastinya, semoga Firman bisa cepat sadar dan bisa melihat kamu lagi."
"Iya. aku juga mengharapkan hal itu." Mira mengangguk beberapa kali seraya tersenyum hangat.
"Oh ya, Lex. Kamu bukannya ada kerjaan lain, kan? Ada klien yang meminta bantuan kamu?" Mira tiba-tiba mengingat kegiatan Lexi yang harusnya menjadi wajib. "Pergilah. Mana tahu kamu telat."
Diingatkan oleh Mira membuat Lexi jadi kebingungan. Tidak ada pilihan lain lagi selain berdiri dengan cepat dan mengambil tas samping yang dia taruh di samping kursi kosong.
"Baiklah, kalau begitu. Aku–aku pergi dulu ya, Mir." Lexi seakan tak dapat merangkai kata dan memilih untuk meninggalkan koridor rumah sakit, langkahnya sangat terburu-buru hingga Mira mulai ikut berdiri dan berjalan pelan menuju ruang perawatan.
Mira perlahan menggeser pintu ruang VIP kemudian berjalan kaku memasuki ruang tersebut. Mira membuat tatapan intens dengan Firman. Yang mana pria itu masih belum sadar dari koma. Padahal berulang kali tim medis memeriksa kondisi Firman, dan hasilnya stabil juga asupan makanan ikut masuk dalam tubuh. Dengan kata lain, Firman baik-baik saja. Tapi kenapa Firman tidak bangun? Sudah nyaris beberapa bulan dan perut Mira juga mulai menonjol. Mira harap kehamilannya tidak diketahui siapapun termasuk keluarga Firman. Lagi dan lagi dia tutup agar memperhatikan kondisi si bayi, jangan sampai Mira kena stres sebab tekanan dari mereka.
"Man. Kamu masih bisa dengar aku, kan?" Mira mulai berinteraksi dengan pria yang terpejam sepanjang waktu. "Man. Jika memang nasib kita tidak bisa bersatu, aku rela kok. Aku rela kalau kita berpisah. Aku tidak apa dibenci oleh kedua orang tuamu atau bahkan kakakmu, termasuk kamu sendiri.
"Aku berjanji, jika sudah siap, aku akan beri tahu semuanya. Itu yang kulakukan," kata Mira bertekad. Dia menghapus air matanya yang mengalir spontan. Dia tidak boleh bersikap lembek dan harus menerima kenyataannya.
Setelah memastikan kondisi membaik dan tak ada kesedihan di wajahnya, Mira ingin berbalik dan menunggu di luar ruangan.
Begitu berniat menggeser pintu buat keluar dari ruang VIP, tiba-tiba penglihatannya menangkap sesuatu yang bergerak dari kasur rumah sakit. Tentu, tangan yang terbalut infus itu menunjukkan adanya pergerakan. Dia tidak salah lihat. Segera Mira balik lagi ke ranjang brankar dan bergerak cepat untuk memastikan penglihatannya.
"Firman ... Firman bangun?" tanya Mira dalam hatinya.
Beberapa menit Mira melihat telunjuk Firman bergerak-gerak, hingga pada akhirnya, mata yang terpejam selama beberapa waktu itu pun terbuka secara perlahan.
Kini Firman bangun, kedua bola matanya bergerak-gerak. Mira yang melihat itu spontan terbelalak.
"Pe–perawat!!! Dia bangun!" Mira tiba-tiba berteriak ketika berada di luar ruangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Temporary Teacher
RomanceBerangkat dari keinginannya belajar digital marketing, membuat Mira mendesak Firman--sahabat lamanya-- untuk mengajari sesuatu padanya. Tanpa disangka, masa lalu Mira terkuak melalui perantara Firman yang sangat ingat betul kelakukan Mira di masa SM...