Bab 87

76 2 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Esoknya–tepat di sore hari, saat Heru pulang dari kampus dan sedang dalam perjalanan, Firman terlihat antusias begitu dirinya tahu ayahnya akan tiba di rumah sebentar lagi. Firman tak peduli kakinya yang terluka, dia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan pincang untuk keluar dari kamarnya dan berjalan mengitari lorong yang menghubungkan ruang utama dengan ruang tamu rumahnya.

Begitu Firman dikabari sekali lagi lewat pesan pribadi bahwa ayahnya di depan rumah, Firman mempercepat jalannya meski harus merasa sakit.

"Ayah!" Firman berseru, saat satu tangannya menarik gagang pintu rumah kemudian memeluk sang ayah seakan melepas rindu dengan sosok panutannya.

Heru tiba-tiba sumringah kala putra bungsunya mendekap tubuhnya dengan erat. "Kamu–kamu kenapa, nak? Kamu kayak ditinggal ayah selama beberapa hari, padahal ayah di rumah tadi pagi."

"Aku masih mandi, yah." Firman menjelaskan sembari melepas pelukannya dan menatap intens pria paruh baya berkacamata bulat itu.

"Kenapa lagi dengan kamu, nak?" Heru berinisiatif untuk mengelus kepala anaknya. "Hmm? Padahal ayah udah pulang jam 12 malam dan masuk ke kamarmu untuk bicara, tapi kamu malah ketiduran."

Firman tak menjawab melainkan lanjut memeluk sang ayah. Kemudian Heru langsung menyapu belakang tubuh Firman seraya menenangkannya.

"Maafkan ayah ya, nak. Karena semalam ayah ada kelas malam, dan ayah tiba-tiba diajak rekan dosen buat makan malam bersama, jadinya ayah pulang larut."

"Aku maklumi ibu dan Kak Andini yang sibuk di perusahaan, tapi ayah harusnya bilang kalau ayah mau pulang larut. Kan aku jadi khawatir," ucap Firman parau.

"Iya, iya, sayang. Ayah paham." Heru menepuk pundak anaknya beberapa kali, sembari memberi maklum. "Ayo masuk dulu, ayah bawa makanan spesial buat kamu. Mie goreng kecap. Pasti kamu suka."

"Asik." Firman bersorak ringan kala peka melihat kantong kresek bening yang dibawa sang ayah di tangan sebelah kiri.

"Kita makan dulu lalu ke kamar kamu. Katanya ada yang ingin kamu bicarakan, bukan?" tanya Heru memastikan apa permintaan Firman sebelumnya.

"Iya. Dan ini penting juga, yah." Firman merespon dengan sangat serius.

Kemudian ayah dan anak itu berjalan menuju meja makan yang berada masuk setelah mengitari lorong yang agak panjang. Firman mengambil piring, sementara Heru membuka bungkusan cokelat berisi makanan yang dibelinya sepulang kampus.

Tidak ada lagi obrolan setelah itu, mereka menikmati makanannya dengan tenang. Firman sangat antusias menyantap makanan kesukaannya. Heru tahu saja apa yang disuka Firman. Di situasi dirinya butuh sosok ayah, Firman merasa adalah waktu yang tepat buat menceritakan keluhannya pada Heru. Semoga saja Heru bisa memberikan saran terbaik demi kesehatannya.

Sejam berlalu, Heru masuk dalam kamar sang anak. Ini semacam sesi pertemuan psikiater dengan pasiennya. Heru-lah yang sebagai psikiaternya. Firman tampak siap dengan posisinya selonjoran di atas tempat tidur miliknya.

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang