Bab 78

83 3 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Keesokan harinya–tepat di sore hari, Firman yang mengenakan blazer warna abu-abu sebagai outer serta dalaman baju garis-garis serta celana kain krem sedang menunggu seseorang di taman kota wilayah Gambir. Sekitar taman tersebut begitu tenang. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang, terutama kendaraan roda dua. Jangan lupakan Firman yang masih menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.

Kini Firman berdiri di dekat tangga kecil yang mana itu adalah akses menuju taman utama yang dikelilingi bunga-bunga indah. Firman sengaja agar pembicaraan mereka berdua nantinya bakal intens sekaligus mematikan bagi Mira. Firman pastinya tahu ke mana arah obrolan mereka.

Firman mengecek jam tangan miliknya, masih menunggu Mira. Padahal janji temu jam empat sore dan sudah seharusnya Mira datang tepat waktu. Tapi mana si benalu itu? Apa jangan-jangan Mira menghindarinya?

Tak butuh waktu lama, Mira yang datang dengan gaun terusan motif bunga-bunga itu berjalan pelan menghampiri Firman. Bahkan Mira menunduk seakan enggan menatap Firman. Walaupun dalam keadaan terburu-buru.

"Datang juga si benalu. Kenapa lama datangnya, hah?" protes Firman lalu menggerakkan tongkatnya untuk menjauh beberapa senti agar posisi mereka tidak terlalu berdekatan.

"Maaf, aku kejebak macet." Mira merespon dengan pelan, kini perlahan-lahan mendongakkan kepalanya agar menatap Firman lamat-lamat.

"Banyak alasan kamu. Terus juga, kenapa kamu pakai gaun terusan mulu? Kayak ibu-ibu aja kamu. Nggak ada baju lain apa?"

Mira terdiam saat penampilannya dikomentari Firman. Di situlah ada kesempatan baginya untuk diam. Lebih baik jangan menyela atau Firman akan mengamuk di hadapannya.

"Baiklah, aku nggak mau buang-buang waktuku cuma buat ngobrol sama si benalu. Jadi aku langsung aja."

Kali ini Firman sungguh menatap tajam Mira di depannya, seperti sebuah silet yang siap menyayat hati Mira bila mengucapkan niatnya.

"Kita pisah, dalam beberapa waktu ke depan. Cuma karena kondisiku saat ini yang nggak bisa berdiri lama, jadi aku minta kerja sama dari kamu agar mempercepat proses perceraian kita di pengadilan agama. Kamu ngerti kan maksudku?"

Mira mengangguk kaku bak robot.

"Saat ini Kak Andini masih nyari pengacara buat aku. Jadi mungkin prosesnya agak lama. Tapi tidak apa, aku bisa nunggu kok." Firman kini menolehkan pandangannya ke arah lain, seakan enggan menatap benalu di hadapannya. "Meskipun begitu, kamu jangan harap kita bisa bersama lagi. Kita nggak ada hubungan sama sekali. Kamunya aja yang ganggu. Sok-sok baik sama keluargaku, padahal aslinya nyusahin."

Satu kepalan tangan Mira tercipta. Dia berusaha menahan tangisnya. Begitu Firman mengucapkan kata 'pisah' berulang kali makin memicunya untuk bersedih, atau bisa saja ingin meluapkan emosi dan berharap mempertimbangkan sekali lagi keputusan Firman.

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang