Bab 83

57 2 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Aku pulang!"

Mira mendengar seruan kencang dari arah jam tiga tempatnya duduk bersama Arka. Mira dan Arka bermain di depan televisi dan sedang menempati karpet bulu ruang utama. Memastikan siapa yang datang, Mira meletakkan mainan anaknya kemudian menoleh.

"Shinta?" Mira memanggil seraya mengernyit heran. "Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang?"

Sang adik langsung membuat kekehan ringan seraya menaruh koper berjalannya dekat jendela ruang tamu. "Adiknya kakak ini buat kejutan supaya pada kaget."

Matanya spontan berbinar tatkala melihat sosok bayi yang tengah duduk tegak memegang mainan berbahan bulu halus. "Eh, ada siapa ini? Si dedek yang lucu, kayak boneka."

Shinta tahu-tahu sudah mengambil tempat di atas karpet bulu, lalu menggoda keponakannya seraya mencubit pipi gemas Arka.

"Kamu bilang dulu gih ke ibu, kalau kamu sudah datang," pinta Mira kemudian cepat menggendong Arka semata-mata ingin menjauhkannya dari Shinta. Mira enggan anaknya diganggu selagi Arka yang seharusnya fokus bermain dengan stimulasi.

"Ibu mana?" Giliran Shinta bertanya, seperti orang kebingungan.

"Di dapur. Lagi masak makan siang."

Tanpa menunggu lama, Shinta pun berdiri kemudian melangkah lurus menuju dapur, sekadar memberikan kabar pada sang ibu.

Mira melanjutkan aktivitas bermain dengan anaknya, sembari memberikan edukasi. Memang seperti itulah kebiasaan Mira bila bersama Arka. Dia ingin Arka mengasah kemampuan sensorik dengan memegang benda-benda berbulu dan benda halus lainnya. Di usia yang mencapai tiga bulan, Mira semaksimal mungkin mengajarkan banyak hal dan tak lupa diselingi dengan permainan agar Arka senang.

Selama menjadi ibu, Mira merasa nyaman. Terlebih senyuman putranya yang selalu membuat Mira ikut bahagia. Mira berjanji, dia akan terus membimbing Arka hingga tumbuh pintar–seperti bapaknya. Walaupun begitu, Mira masih ada sedikit harapan untuk Firman. Namun waktulah yang akan menjawab, Mira percaya Firman akan berubah. Tidak selamanya Firman bakal bersikap labil. Seiring berjalannya waktu, Firman pasti akan peka terhadap situasi sekitar dan membuat Firman sadar bahwa masa lalu Mira cuma angan-angan. Toh tidak berpengaruh juga di masa depan, Mira juga sudah minta maaf.

Tak terasa waktu menunjukkan jam sore hari. Mira dan sekeluarga makan bersama. Terlebih ayahnya juga baru-baru pulang dari percetakan, langsung bergabung ke meja makan dengan sajian yang Fitri buat. Sementara Arka sedang terlelap di box bayi di kamar Mira.

"Di wisudaku, cuma ayah yang datang. Aku masih ingat, waktu di Surabaya aku nggak punya siapa-siapa." Shinta berceletuk, menceritakan betapa susahnya dia saat menjelang wisuda dan tak ada sanak keluarga di sekitarnya. "Tetapi dari hasil memaksa, ayah akhirnya datang."

"Kamu cuma bilang ke ayah, dan nggak bilang ke kakak sama ibu," ucap Mira tidak terima. "Pantas aja, kakak nggak terima kabar sama sekali dari kamu. Terus juga ayah katanya mau ketemu seorang teman di Surabaya, tapi nyatanya ke wisudanya Shinta. Harusnya lain kali kamu bilang-bilang dulu, kan jadinya kamu nyusahin ayah."

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang