***
"AARRRRGGHHHH!!!! Sakit!!!!" Firman berteriak kencang ketika mendapati satu tangan sebelah kanannya berdarah cukup banyak. Dia berusaha untuk menggerakkan tubuh namun tertahan akibat sabuk pengaman yang mengait tubuhnya sangat kencang.
Firman meringis kesakitan. Berulang kali matanya memicing kuat-kuat akibat kecelakaan yang menimpanya beberapa menit lalu. Berbekal kekuatannya, Firman ingin mendobrak pintu, tetapi rasanya nihil. Sungguh, dia ingin keluar dari dalam mobil. Dia tengah mencoba untuk menyelamatkan dirinya.
"Kumohon! Buka pintunya!!!" Firman menggeram sambil terus menggunakan tumpuan lengannya agar mendorong pintu mobil. Dia juga telah mencoba membuka jendela kaca dan mengangkat satu tangan untuk membuka dari luar. Namun hasilnya sama saja.
"Argh! To--tolong!" Firman memegangi bagian lengannya yang ikut terkena serpihan kaca mobil. "Kenapa ... aku mengalami nasib malang begini?"
Dibanding rasa sakit yang menyiksa akibat dipukuli sampai membuatnya koma, kini yang dialami sekarang benar-benar pilu. Dia merasa terjebak dan tidak bisa keluar dari kendaraannya.
Akibat guncangan dari kecelakaan tersebut membuat Firman terbatuk-batuk. Sampai mendadak keluar cairan bening yang diyakini sebagai air liurnya hingga membuat napasnya terengah-engah.
Firman menyandarkan tubuh di jok pengemudi. Sejenak berdiam diri, seraya memikirkan bagaimana caranya lolos dari jeratan yang tiba-tiba dialami.
Satu tangannya terangkat, mencoba untuk melepaskan ponsel miliknya yang terhimpit car holder. Sekali lagi, Firman batuk-batuk akibat pernapasannya terganggu. Sembari meringis akibat kakinya yang terjepit tuas rem.
Dengan napasnya yang pendek, dia mulai melakukan telepon suara dengan ayahnya. Menunggu sebentar sampai Firman nyaris memejamkan mata, ayahnya tidak mengangkat telepon.
Lalu Firman tidak menyerah, dia mencoba untuk memanggil Andini. Semoga saja bisa direspon cepat. Namun sayang, Andini juga sama. Tidak mengangkat telepon dari Firman.
"Sssssshhhhh, sakit!!! Aaarggh!!!" Firman mendesis sambil melenguh sakit di bagian kepala. Terasa seperti ditusuk ratusan jarum. "Kenapa .... aku bodoh? Aku bodoh ... udah terjebak di situasi rumit begini."
Firman memukuli pahanya, seakan memarahi dirinya sendiri. Apa yang membuat dirinya harus mengalami kemalangan? Ditambah lagi, dia berada di jalanan yang sepi. Sudah pasti tidak ada saksi mata yang melihat karena mobilnya agak terperosok ke dalam pepohonan liar. Sehingga tak ada yang menyadarinya.
Firman pasrah. Mungkin saja dia tidak bisa selamat kali ini. Belum lagi mobilnya yang ringsek akibat sempat tertabrak bebatuan besar dan berputar sampai masuk ke wilayah pepohonan.
Firman masih memiliki sisa kehidupan, dia masih punya kekuatan. Dia ingin melakukan voice note ke salah satu keluarganya. Berniat ingin mengucapkan salam perpisahan, karena dia merasa waktunya tidak lama lagi. Belum lagi pendarahan di bagian kepala yang terus menderas hingga mungkin memabasahi pakaiannya.
Dengan napas yang masih terengah-engah, dia membuka kolom obrolan Andini di aplikasi perpesanan, dan mengusap layar ke atas yang berada di bawah kanan. Lalu mengarahkan ponselnya ke mulut, mengucapkan sesuatu.
"Kak ... Kak Andini. Kalau ... kakak mendengar ini atau kakak menemukan suara ini, mungkin aku ... aku udah nggak selamat. Aku udah meninggal. Aku ... mengalami kecelakaan. Aku nggak tahu ada mobil yang sengaja menabrakku dan ... refleks membanting setir mobilku. Hingga ... aku masuk ke dalam pepohonan yang nggak ... dijangkau orang."
Firman meringis hingga ucapannya pada kakaknya terhenti, cengkraman pada ponselnya sangat kuat. Dia tengah menahan sakit yang menjalar seluruh tubuh. Lalu dia mengumpulkan kekuatan untuk bicara lagi lewat voice note.
"Kak. Titip ... titip ayah sama ... ibu. Katakan pada mereka ... kalau ... aku sayang sama mereka. Aku sudah menjadi anak yang ... berbakti untuk mereka. Jika aku benar-benar mati, maka ... tinggal Kak Andini yang menjadi anaknya ayah ... dan ibu.
"Kak Andini. Maaf ... kalau selama ini ... aku nggak becus menjadi adik untuk Kakak. Kalau Kakak sempat marah ... karena kelakuanku di masa lalu, maafkan aku. Maafkan aku dengan tulus. Aku ... udah nggak bisa tahan sakitnya, Kak."
Pernapasannya terganggu, dia merasa ingin memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Namun tidak jadi hingga Firman meringis lagi. Firman menyudahi sesi voice note-nya. Dengan sisa-sisa kehidupannya, dia ingin mengucapkan salam perpisahan untuk Mira. Yang mana seharusnya dia ketemu dengan Mira dan melepas kangen. Pun dia tengah dalam perjalanan menuju rumah Mira, namun harus mengalami kecelakaan sampai membuatnya terjebak dalam mobil.
Firman membuka kolom obrolan untuk Mira. Pelan-pelan Firman menggerakkan ibu jarinya, mengusap layar di bawah kanan ponsel, untuk memulai voice note.
"Mi ... Mira? Sa ... sayang. Sayang?" Firman mendadak terbata-bata, ketika dirinya tengah menyesuaikan posisinya menyandar belakang tubuhnya. "Kalau kamu ... mendengar suaraku yang lemah ini ... artinya ... aku sedang berjuang untuk bertahan. Aku ... seharusnya aku sampai di rumah kamu, dan ... melepas kangen sama kamu. Cuma ... kemalangan terjadi. Aku kecelakaan, tiba-tiba mobil melawan arah dan berniat untuk menabrakku, sampai ... aku banting setir dan terjebak dalam pepohonan yang nggak dijangkau orang.
"Sayang. Maaf. Maaf kalau aku telat menyadarinya. Aku ... sudah mengetahui semuanya. Aku ... aku tahu kamu ... udah menebus semua kesalahan kamu. Makanya aku ingin datang ke rumah kamu dan minta maaf atas semuanya. Cuman ... mungkin ini benar-benar takdir buat kita ... untuk berpisah."
Firman tiba-tiba menangis hingga ke tahap meraung-raung, sekali lagi menyesal atas apa yang telah dia pilih.
"Kenapa ... kenapa aku bodoh? Kenapa aku harus begini?" Firman seakan bicara pada dirinya sendiri. "Harusnya ... aku biarkan ayah ikut saja dan biarkan ayah mengemudi untuk ke rumah kamu. Tapi ... aku kekeh ingin ketemu kamu sendirian dan lepas kangen sama kamu."
Firman mengelap air matanya perlahan hingga agak menyandarkan kepalanya untuk memberi ketenangan diri.
"Sayang. Mira. Mira Hartono, istri yang aku cinta. Maafkan aku ... jika selama ini, aku sebagai suami selalu bersikap buruk. Maaf bila aku sempat membentak kamu, maaf bila aku sempat bikin kamu menderita. Perlu kamu tahu, aku ingat ... kamu punya banyak kesalahan hingga aku berang dan ingin membalas kamu. Jujur, semua yang kulakukan ke kamu ... buat aku nggak enak dan memilih mengakhirinya dengan membuat kamu menjadi istri aku sepenuhnya.
"Maaf. Apabila kamu mengalami masa-masa sulit selama kamu menjadi istriku. Maafkan aku, Mira. Sekarang aku .... nggak bisa menahan lukanya lagi. Aku benar-benar udah nggak ada lagi setelah ini, Mir. Aku ... titip ayah dan ibu. Ayah Surya dan Ibu Fitri. Mereka juga ... kuanggap orang tua karena mereka ... baik sama aku. Mereka menganggap aku seperti putra mereka sendiri, di saat ... ayah Surya punya dua anak perempuan."
Firman merasa pernapasannya terhambat. Mungkin nyawanya sudah berada di ujung tanduk, lebih tepatnya dirinya telah di ambang kematiannya. Pandangannya kini mulai mengabur. Rasa ingin memejamkan mata semakin menjadi-jadi.
"Sayang ..." Firman masih berbicara, kekuatannya belum redup sepenuhnya. "Aku ... aku pergi. Pergi ... ke tempat ... yang sangat jauh. Aku harap ... kamu ... baik-baik saja ya, sayang. Aku harap kamu bisa lebih ... bahagia lagi. Maafkan aku karena aku tidak bisa berada di samping kamu. Maaf."
Firman terbatuk-batuk hingga keluar cairan bening membasahi mulut serta dagunya. Dia masih menggerakkan satu tangan untuk menyeka.
Malang nasib Firman, di saat ingin menaruh ponselnya ke jok sebelah, pandangannya benar-benar mengabur. Tanpa sadar, mulutnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Barulah setelah itu, kepala Firman tertoleh ke sebelah kanan dan kedua mata benar-benar tertutup.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Temporary Teacher
RomansaBerangkat dari keinginannya belajar digital marketing, membuat Mira mendesak Firman--sahabat lamanya-- untuk mengajari sesuatu padanya. Tanpa disangka, masa lalu Mira terkuak melalui perantara Firman yang sangat ingat betul kelakukan Mira di masa SM...