Bab 72

48 3 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Tunggu, Om itu ... Om Heru?" Lexi menebak ketika melihat seorang pria paruh baya di hadapan Surya sedang berdiri seraya memasang tatapan tajam dan tampak pula kedua tangannya mengepal seakan ingin menghajar Surya.

"Jadi, Om Surya ketemu sama Om Heru, jangan bilang ..." Lexi mulai tercengang sambil membesarkan kedua matanya. "Ini pasti ada kaitannya dengan kejujuran Om Surya ke Om Heru. Aku yakin, Om Heru pasti tahu masa lalu Mira melalui Firman. Makanya Om Heru minta ketemu sama Om Surya."

Semoga saja dugaan Lexi tidak salah. Selanjutnya, yang Lexi lihat adalah pertengkaran dua pria tua, di mana Heru memukuli wajah Surya sampai ayah sahabatnya jadi tersungkur.

Sementara itu di dalam kafe, Heru tak dapat menahan amarahnya hingga terus menonjok Surya. Tak lupa dengan geraman yang membuat semua orang di kafe teralihkan perhatian mereka.

"Dasar tidak tahu diri! Kamu benar-benar bikin semua orang jadi repot, termasuk saya!!!" jerit Heru seraya menarik kerah jaket Surya. "Kenapa kamu harus sembunyikan kejahatan anak kamu? Kenapa kamu biarkan anak kamu jadi preman di sekolah, sampai Firman yang jadi korbannya? Harusnya kamu tahu kalau perbuatan anak kamu salah. Harusnya kamu jangan biarin!"

"Ta–tapi, saya sudah menampar dia saat saya tahu kelakuan Mira, pak," ungkap Surya, namun hal itu tidak dipercayai Heru hingga untuk kedua kalinya Heru menonjok rahang Surya sampai mulai berdarah di sekitar bibir.

"Kenapa kamu jadi ayah tidak becus dalam mendidik anaknya, hah? Kenapa?!!" Heru menggeram, mendekatkan pandangannya pada wajah Surya. "Saya nggak suka kamu menutup-nutupi kelakuan Mira, apalagi dia otak perundungan. Apa yang mendasari Mira melakukan hal itu?"

"Sa–saya ... saya ..." Surya tak dapat berkata-kata, seakan stok kalimat dalam otaknya habis begitu saja. "Itu ..."

Tonjokan Heru mendarat lagi, sasarannya berpindah ke bagian pipi. Tampak Surya mulai mengerang kesakitan akibat pukulannya.

"Kali ini saya tidak bisa memaafkan kamu, Sur. Terlebih Mira." Heru mengacungkan telunjuknya secara intens. "Kamu sama saja mengasuh anak setan! Mira, putri kamu adalah anak setan! Kamu harus tahu itu, Surya!!!"

Meski dipanggil demikian, Surya tidak peduli dan ia tetap menerima risikonya. Toh, kesalahan anaknya sudah terlalu kelewatan. Meski hanya di masa lalu, tapi mental menantunya sendiri berpengaruh di masa sekarang. Membuatnya harus merasa iba melihat nasib Firman kini.

"Saya ... saya ... saya minta maaf." Surya melepaskan cengkraman tangan Heru dari kerah jaketnya kemudian membungkukkan tubuh seperti sedang sujud. "Maaf karena saya sudah memiliki putri penjahat, saya tidak becus mengurus Mira. Saya akan menerima semua hukuman yang mungkin Mira terima nanti."

Heru tersenyum miring, menampakkan sebagian giginya. "Memang seharusnya. Mira itu pantas menerima hukumannya. Dia pelaku, bukan? Dia juga yang bikin putra saya jadi trauma, gara-gara ulah anak kamu!!!"

Heru sekali lagi melayangkan tonjokannya. Dia tak peduli bila wajah Surya penuh luka. Pun kalau Surya mau melimpahkan perbuatannya ke pihak berwajib, tak masalah. Yang penting dia punya saksi yaitu anaknya sendiri, dan membuat Mira yang harus menerima hukuman.

"Sepertinya, saya harus bikin kamu babak belur dulu. Biar kamu juga menerima pelajarannya. Kamu ayahnya Mira, kamu yang mengajarkan Mira semua hal. Mustahil seorang anak tidak meniru orang tuanya. Berarti secara otomatis, kamu juga penjahat, kan?"

Pukulan bertubi-tubi dilayangkan Heru pada besannya. Sungguh, Heru tak lagi memandang siapa Surya sekarang. Entah Surya adalah mertua anaknya atau siapapun, selagi tahu siapa pelaku sebenarnya, maka tidak ada ampun.

"Lain kali, ajari anak kamu yang seperti setan itu dengan benar!" Heru tak ragu mengintimidasi Mira, meski harus berulang-ulang kali. Lalu kepalan tangannya mendarat ke bagian pelipis.

"Hentikan, Om Heru!" Seruan seorang wanita dari pintu kafe mengalihkan perhatian semuanya, termasuk dua pria paruh baya yang masih bergelut.

Heru mendongak, pandangannya mengikuti wanita berjaket kulit cokelat itu menghampiri mejanya seraya membawa sebuah kotak besar.

"Om Heru cuma lihat dari satu sisi aja, kan? Om Heru mengira kalau Mira cuma pelakunya, kan? Apa Om nggak mikir pelaku yang lain?" tanya Lexi menekankan suaranya. Tak lupa barang bawaannya ditaruh di atas meja milik Heru.

"Kamu bicara apa?" Heru tampak tidak menerima, dia langsung berdiri dan tak mempedulikan keadaan Surya yang tersungkur di bawah. "Sudah jelas, kan? Mira itu otak perundungan. Paham 'otak' kan? Dia yang merencanakan perundungan. Firman juga lihat sendiri, dan dia tidak mungkin bohong karena terbangun dari koma."

"Justru, Mira melakukan itu karena dia merasa iri dan terpojokkan karena tidak memiliki kepintaran cemerlang seperti Firman," tegas Lexi lalu memperbaiki bawah jaketnya yang tidak beraturan.

"Harusnya, Om. Om itu cari pelaku selain Mira. Jangan cuma menyudutkan Mira cuma karena Om Surya mengakui kalau Mira adalah otak perundungan. Lagipula, bukan hanya Mira kan yang merundung Firman saat itu?"

Sadar dulu Lexi pernah merundung Firman, membuatnya harus menutupi fakta tersebut, dan itu secara terpaksa agar tidak bikin situasi memanas. Sebagai gantinya, Lexi menghela napas kemudian melanjutkan tuturannya pada Heru.

"Om ingat yang ngelakuin penyekapan dan membuat anaknya Om jadi koma? Apakah dari perintah Mira? Coba Om pikir."

Kepala Heru buntu sejenak, ketika Lexi terus menerus berkata tegas di hadapannya.

"Mira nggak mungkin loh, nyuruh orang lain buat menghabisi suaminya. Mira nggak sejahat itu, Om. Mira juga punya hati nurani. Mira punya orang tua waras, seperti Om Surya dan Tante Fitri. Kalau Mira nggak diurus mereka dengan benar, bisa aja Mira masih jahat sampai sekarang. Tapi nyatanya ..."

Lexi merentangkan satu tangan kanannya dan membuka tutup kotak besar kemudian mengacak isinya.

"Bukti tagihan laundry yang sempat Mira bagikan ke saya, terus struk belanjaan Mira yang nyaris jadi sampah lalu saya kumpulkan. Apa Om pikir Mira selama jadi istri itu tidak becus? Nggak, dia istri yang baik buat Firman. Kalau Mira masih jahat, Mira nggak bakal mau disuruh-suruh belanja atau sekadar bawa cucian ke laundry apartemen. Mira akan menyia-nyiakan Firman atau paling parah, dia malas berbuat apa pun," jelas Lexi sambil tangannya mengangkat beberapa kumpulan kertas yang sekiranya dapat jadi bukti valid.

"Oh bukan cuma itu aja, Om. Waktu Firman disekap di sebuah rumah dan saya serta Mira menyelamatkan anak Om, Firman sempat menggumam satu nama. Pun dia dalam keadaan berdarah-darah saat itu."

Bukti paling penting segera dia keluarkan dari saku celana. Ponsel miliknya dinyalakan cepat-cepat dan mencari fail suara yang telah dikirimkan oleh anak buahnya.

"Om harus percaya kalau ini benar-benar suaranya Firman." Lexi masih mengusap layar, kewalahan mencari surel yang ternyata tertumpuk dua hari.

Begitu dia menemukannya, Lexi memutar satu fail suara dan sengaja menyalakan loudspeaker ponsel agar didengar oleh Heru. Jangan lupakan Surya yang mungkin juga ikut mendengar, meski masih dalam keadaan berbaring.

Awal rekaman dimulai, hanya terdengar suara kresek lalu tak lama suara debuman–seperti memukuli anggota tubuh– langsung bergemuruh. Mengakibatkan Heru terkejut dan bola matanya membesar.

Beberama menit rekaman berjalan, terdengar lagi suara lemah seseorang. Yang langsung dikenali Heru ketika memasang telinganya baik-baik.

"Mi–Mira ... tolong. Tolong— tolong aku ... Sakit ... Mira ..."

"Tunggu ... itu, su–suaranya Firman?" Heru bertanya pelan, kini dia sedang menahan tangisnya kala suara debuman bergemuruh lagi. Heru tak dapat mengendalikan dirinya.

"Om percaya sekarang, itu suara anaknya Om? Yang sedang merintih, mencari-cari Mira? Walau keadaannya sekarat?"

***

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang