Bab 67

41 1 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kelopak mata Firman terasa berat, seperti ditarik oleh gravitasi yang tak tertahankan. Perlahan, matanya terbuka, disuguhkan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Penglihatannya masih buram, hanya siluet-siluet samar yang bisa dia tangkap melalui kedua bola mata. Suara-suara asing memenuhi telinganya, seperti bisikan angin yang tak jelas maknanya.

Setelah melewati bunga tidur yang begitu panjang, kesadarannya mulai pulih. Firman merasakan selimut yang membungkus sebagian tubuhnya, serta aroma antiseptik yang menusuk hidungnya. Entah kejadian apa yang menimpanya sampai tiba-tiba berada di rumah sakit. Jelasnya, hal pertama yang dirasakannya adalah rasa sakit dari lengan dan kaki yang begitu menusuk. Juga kepala yang terasa pening. Firman memegangi dahi, dan ada plester yang melingkar.

Firman mencoba untuk bergerak, namun tubuhnya terasa lemas. Dia ingin membuka mulut, tapi suaranya tak keluar. Hanya lenguhan pelan yang bisa dia gumamkan.

Kenapa semuanya jadi terasa asing? Bagaimana aku bisa di sini? Kenapa aku terluka? Batin Firman bertanya-tanya.

Para perawat selesai mengecek kondisinya, dan Firman telah dinyatakan sadar dari koma dan kesehatannya juga stabil seperti biasa.

Mira berterima kasih kepada para perawat serta dokter yang bertugas. Berulang kali Mira membungkukkan tubuh sebagai ungkapan rasa syukur karena suaminya terbangun setelah beberapa waktu terbaring koma.

Firman mendadak menangkap sesosok wanita, yang terus-terus menampakkan senyuman lebar. Lalu kedua mata yang sembab. Siapa wanita itu?

"Mohon segera mengabari keluarga Bapak Firman terkait hal ini ya, Bu." Salah satu perawat meminta dengan tenang.

"Iya. Kebetulan saya sudah mengabari mereka, dan mereka akan datang ke sini secepatnya." Mira membalas sangat bersemangat.

Firman menerka-nerka terhadap wanita berperawakan mungil itu. Siapa sebenarnya dia? Dan darimana asalnya? Perasaan, Firman tidak punya keluarga lain. Sepupunya saja lebih muda daripada wanita itu. Mana mungkin dia adalah sepupunya. Firman hafal keluarga besarnya.

Selama tidak sadarkan diri, Firman mengalami beberapa mimpi yang terkait dengan perundungan. Seperti alur drama, Firman menjadi korban perundungan dimulai dari saat kenaikan kelas 11. Pelakunya jelas seorang gadis, berperawakan mungil, serta memiliki wajah putih berseri.

Mungkinkah wanita itu ...

Sial, wanita gaun terusan itu tiba-tiba pergi. Dia belum sempat memanggil wanita asing tadi. Sebagai gantinya, wanita dengan blazer putih serta membawa tablet di tangan sebelah kiri mulai memasuki ruang perawatan.

Firman kenal siapa wanita yang menampilkan wajah panik itu. Dia adalah Andini, kakak perempuannya. Entah kenapa anggota keluarganya dia ingat betul, meski Firman merasa ada masalah dalam kepalanya.

"Ayah dan ibu akan segera datang ke sini. Kamu jangan khawatir ya." Andini menginfokan, tak lupa mengelus kepala sang adik. "Gimana keadaan kamu sekarang? Apa sudah baik-baik saja, atau kamu mengalami sesuatu yang aneh?"

Tepat sekali kakaknya menanyakan itu. Firman punya banyak hal yang harus dia utarakan ke Andini.

Mulutnya terbuka perlahan, mencoba mulai bercerita. "Saat aku bangun, aku merasa ganjil. Kenapa aku tiba-tiba di sini, dalam keadaan terluka? Dan aku cuma ingat aku punya anggota keluarga. Termasuk Kak Andini, ayah, dan ibu. Selebihnya aku nggak ingat," tutur Firman sedikit disulut rasa panik. "Terus, ada wanita yang berulang kali membungkuk dan ..."

"Sudah. Nanti kamu jelasin semuanya ke ayah ya. Yang penting kamunya udah baik-baik saja." Naluri sebagai seorang kakak pun berjalan, begitu Andini terus memberikan kenyamanan pada adiknya. "Kalau kamu butuh apa-apa, panggil kakak. Kakak duduk di sofa."

"Emm ... ini sudah jam berapa?" Firman bertanya ketika Andini hendak menghempaskan diri di atas sofa.

"Jam 8 malam."

Bahkan untuk menanyakan situasi pun harus ke kakaknya. Memang, ada yang tidak beres dalam kepalanya.

"Tadi kamu diperiksa hampir sejaman sama dokter, kan? Kata dokter, kamu sadar kurang lima menit jam 7 malam." Andini menjelaskan apa yang dia ketahui. Membuat Firman cuma memasang ekspresi bingung.

"Beruntung, mereka cepat mengabari kakak kalau kamu udah sadar."

Mereka? 'Mereka' siapa? Lagi dan lagi kepalanya buntu, rasanya susah untuk berpikir jernih. Firman sungguh tidak mengingat apa-apa.

"Barusan ayah WA, kalau ayah lagi di perjalanan." Andini mengabarkan informasi terbaru pada sang adik.

Firman menghela napas lega, setidaknya dia ingin melampiaskan keluhannya selama sadar dari koma. Harap saja ayahnya dapat memberikan saran terbaik untuknya.

Beberapa saat setelahnya, datanglah satu lagi anggota keluarga yang Firman ingat, yakni Heru Setiawan. Orang yang dia panggil ayah. Pertama Heru memeluk Firman dengan erat seraya menangis terharu. Firman dengar suara serak serta mata sembab di balik kacamata bulat yang digunakan ayahnya.

Kemudian, Firman mulai bercerita tentang hal-hal yang didapatkannya setelah terbangun. Meskipun ambigu, namun Firman memberitahu semuanya termasuk bunga tidur yang dia alami. Tentang perundungan dan lain-lain.

Paham dengan cerita sang anak, Heru pun berpesan untuk lebih banyak istirahat. Heru juga mengatakan bahwa hari ini dia tidak bisa menjaga Firman sampai pagi, sebab urusan kampus tak dapat ditinggalkan.

Firman cuma mengiyakan dan mengizinkan Heru untuk tinggal lebih lama sampai dua jam kemudian. Dia pun menambahkan bahwa dia bisa jaga diri, jadi dapat mengurangi kekhawatiran keluarganya.

Ketika Firman mulai ditinggal Heru dan Andini, ruang perawatan VIP tersebut jadi sepi. Kini yang tersisa cuma satu pertanyaan, di dalam kepalanya. Siapa wanita gaun terusan tadi? Kenapa dia ikut menangis?

Ringisan tak terhindarkan, begitu kepalanya terasa pusing. Seperti ditusuk menggunakan jarum. Efek setelah terbangun dari koma membuatnya jadi linglung. Lebih baik memanfaatkan waktu buat istirahat. Nanti saja dia tanyakan kepada wanita itu. Setelah kepalanya jernih.

***

"Kamu tetap akan menggunakan topengmu, atau kamu jujur? Itulah dua pilihan kamu sekarang." Lexi bersuara rendah, seakan mengingatkan Mira agar tidak terlalu gegabah dalam bersikap.

Mereka berada di kafe dekat rumah sakit, dan mengambil tempat dekat jendela kaca. Mira kini terancam. Firman bangun dari koma, dan kemungkinan besar Firman bakal mengingat masa lalunya. Tentu, Firman juga bakal mengungkit keterkaitannya dengan perundungan serta penyerangan di masa SMA.

"Jika aku tetap menggunakan topengku, aku harus apa?" tanya Mira hati-hati.

"Pastikan Firman tidak ingat. Baru kamu boleh menggunakan topeng," jawab Lexi lugas. "Aku nggak ngajarin kamu buat berbohong, sebenarnya aku minta kamu buat jujur aja. Tapi, menurutku ini bukan waktu yang tepat karena Firman tiba-tiba bangun. Kita belum mematangkan rencana gimana kita akan berbicara yang sebenarnya pada Firman."

"Kalaupun Firman bakal ingat, aku tetap akan jujur. Mungkin aku nggak akan memasang topeng. Aku siap terhadap konsekuensi yang kudapatkan nantinya." Mira bertekad.

Sembari menyesap kopi panasnya, Lexi menuturkan sesuatu. "Kamu sungguh yakin siap? Aku takutnya kamu berubah pikiran lagi."

Lexi tahu betul akan sikap Mira yang kadang plin-plan. Bilangnya siap, tapi nanti setelahnya tidak siap. Lexi hanya memastikan tentang tekad bulat sahabatnya.

"Iya. Kalaupun Firman nggak ingat, aku tetap memasang topengku. Sampai di waktu yang tepat," lanjut Mira seraya menarik napas panjang.

"Meski begitu, kamu tetap harus hati-hati. Firman itu koma, dan dia pasti mengalami yang namanya mimpi. Kamu perlu berjaga-jaga, Mir. Jangan sampai dia tahu kamu bohong."

Walaupun Mira mendapat ancaman beberapa kali, namun dia tetap pada tekadnya agar menjalankan kedua rencana itu. Harapnya, dia dapat melepaskan beban dalam diri. Kini beban tersebut masih menumpu, dia tak mampu lagi buat menahannya.

***

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang