***
Masa SMA
"Nilai matematika kamu anjlok lagi. Kenapa kamu nggak pernah seriusin belajar, Mira?" Kata-kata terucap lantang tanpa hambatan kala Surya memutar kemudinya. "Mira. Setidaknya kamu itu harus pintar kayak si Firman. Anaknya bos ayah. Itu Firman sering banget ikut olimpiade matematika. Kamu kan teman kelasnya, harusnya kamu bisa ikut belajar dengannya."
Mira yang tengah duduk di belakang hanya bisa membuang napas kasar seraya mengerucutkan bibir. Ayahnya mengungkit Firman, entah sudah keberapa kali sang ayah bawa-bawa nama si pintar itu. Mira bosan dengarnya.
"Firman juga pintar biologi. Nilai biologi kamu 50. Bahkan tugas-tugas dan makalah, nggak pernah dapat 60 atau 70. Kamu benar-benar serius sekolah tidak sih?" tanya Surya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan. Kedua tangannya masih memutar pelan kemudi mobil.
Sekadar fakta, Mira tidak terlalu pintar di sekolah. Tapi dia juga tidak terlalu bodoh. Ada beberapa mata pelajaran yang Mira sangat suka, termasuk Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Juga bahasa Jerman. Semua yang berkaitan dengan bahasa, Mira suka. Tak lupa seni menggambar juga Mira suka. Nilainya sempurna. Hanya kurang beruntung untuk mata pelajaran Matematika dan pelajaran yang berkaitan dengan IPA.
"Ayah. Mira pintar di bahasa sama seni. Apa itu belum membuat ayah puas?" tanya Mira seakan tidak menerima.
"Nak. Ayah tidak masalah kamu dapat nilai berapa di mata pelajaran. Tapi 50. Nilai biologi 50 loh," decak Surya begitu terkejut di ujung kalimatnya. "Terus nilai matematika kamu, 45. Itu dari tugas Trigonometri. Padahal ayah sudah masukkan kamu ke tempat les terpercaya, tapi kamu masih saja sebodoh itu dalam pelajaran yang penting dan dibutuhkan saat kuliah nanti."
Helaan napas kasar menjadi balasan Mira kini. Dia tak peduli kata-kata ayahnya yang terus menerus membandingkan dirinya dengan anak emas sekolah itu.
"Lihat tuh si Firman. Nilai matematikanya saja 100. Terus waktu praktek biologi, dia mendapatkan nilai sempurna. Kenapa kamu nggak bisa seperti Firman, nak? Yang pintar biologi, fisika, kimia, dan pelajaran lainnya?"
Firman lagi, Firman lagi. Mira merasa amarahnya kini terpanggil bila Surya terus membahas Firman. Lagipula, apa spesialnya anak itu sampai diagung-agungkan oleh semua orang, termasuk ayahnya juga guru-guru di sekolahnya?
Padahal sedari awal, Mira bisa menahan diri jika terus dibandingkan sama Firman. Bahkan ketika Mira dan Firman satu kelompok di suatu mata pelajaran, Mira hanya santai menghadapi Firman. Tanpa rasa iri yang membuncah.
Tetapi kini, Mira begitu muak dengan Firman. Rasanya Mira ingin memukuli Firman sampai berdarah, atau kalau tidak, memberi pelajaran pada Firman. Gara-gara Firman yang dijadikan objek perbandingan, membuat dirinya terus-menerus dihina oleh orang tuanya sendiri.
"Setelah pulang sekolah, kamu jangan bolos dan langsung ke tempat les," kata Surya memberi pesan, sambil memutar persneling untuk menepikan kendaraannya di depan gerbang sekolah. "Ayah bisa tahu kamu serius atau tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Temporary Teacher
RomanceBerangkat dari keinginannya belajar digital marketing, membuat Mira mendesak Firman--sahabat lamanya-- untuk mengajari sesuatu padanya. Tanpa disangka, masa lalu Mira terkuak melalui perantara Firman yang sangat ingat betul kelakukan Mira di masa SM...