Suara gergaji mesin, paku yang dipalukan ke tembok lalu mesin pengaduk semen otomatis terdengar riuh menghiasi Akinda siang ini. Beberapa kuli bangunan berlalu lalang dari depan ke bangunan belakang daritadi. Dari semua bangunan yang dirobohkan dan dibangun kembali itu hanya ruang TV yang tak tersentuh sama sekali. Permintaan khusus dari si pemilik baru Akinda.
"Maaf pak, ini ada kardus dari lantai 2. Sepertinya punya pemilik kamar lama yang ketinggalan. Mau langsung dibuang saja pak?" tanya Hendra, salah satu pekerja bangunan di proyek ini.
Seseorang yang daritadi hanya berdiri termenung di ruang TV tersebut langsung menghampiri Hendra untuk melihat kardus apa yang ia maksud.
"Ohhh" mulut pria itu terkatup.
Kardus tersebut hanya berisikan kertas-kertas usang yang sepertinya bekas skripsi penghuni lama kamar yang hendak dihancurkan itu.
"dibuang aja pak. Kayaknya emang sengaja ditinggalin penghuni lamanya" ujar si bos yang kemudian diiyakan oleh Hendra.
"baik pak, saya buang ya" ucapnya sambil menutup kardus itu kembali.
"EH TUNGGU!"
Gerak tangan Hendra terhenti saat si bos besar menahan kotak tersebut.
"kenapa pak?" tanyanya sambil menatap bosnya bingung.
"sebentar. Ada yang mau saya lihat" ujar sang bos lalu mengeluarkan sebuah kertas yang cukup tebal dari kardus tersebut. Ternyata itu sebuah pamflet promosi kos Akinda beberapa tahun lalu saat kosan ini ditinggal serentak hampir setengah penghuninya yang menikah.
Di pamflet tersebut terpampang jelas bangunan Akinda yang dulu lengkap bersama dengan penghuni setianya sejak pertama kali kosan ini dibuka. Entah siapa yang membuat pamflet ini karena tak biasanya penghuni kosan pun dimasukan dalam konten promosinya.
Tiba-tiba mata pria itu berair, melihat gambarnya bersama teman-teman lamanya tersebut ternyata membawa kenangan yang menyentuh perasaannya. Saat mereka masih sama-sama jadi mahasiswa di Universita Bina Negara. Sekumpulan orang-orang yang belum tau mau jadi apa tapi sekarang mereka sudah punya hidupnya masing-masing. Membangun karir dan rumah tangganya sendiri.
"pak Willy?" panggil Hendra lalu menyentuh tangan Willy sungkan. Bosnya ini sudah 2 menit cuma diam sambil memandangi pamflet di tangannya itu dengan haru.
"ah iya.." Willy tersentak dan buru-buru menghapus air matanya yang mulai menggenang.
"maaf-maaf pak." Lanjutnya lalu menutup kardus tersebut. Namun pamfletnya tetap ia pegang.
Pak Hendra mengangguk, "baik pak, saya permisi dulu" ujarnya sambil berlalu meninggalkan Willy yang tiba-tiba galau itu.
Willy menghela nafasnya panjang, tiba-tiba ia merindukan ke 12 manusia-manusia aneh bin ajaib itu. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi nyatanya setiap mengenang kebersamaan mereka di masa muda dulu tetap membuatnya nyesek begini. Hiks.
Setelah satu persatu penghuni Akinda keluar dari kos-kosan ini dan melanjutkan hidup mereka bersama wanita yang mereka pilih, Akinda akhirnya di beli oleh Willy. Tepatnya saat Dino menjadi penghuni terakhir di antara mereka yang angkat kaki dari sini. Willy berhasil membujuk pak Akil untuk menjual Akinda padanya dan disinilah ia sekarang, mengawasi para pekerja bangunan yang sedang merenovasi bangunan ini untuk dijadikan kantor baru Willy. Kantor untuk usaha properti yang saat ini tengah dirintisnya.
Willy kini berpindah posisi, menghadap sebuah figura foto yang cukup besar yang dipajang tepat di atas sofa ruangan ini. Figura berwarna hitam tersebut memuat gambar mereka saat liburan terakhir di Yogyakarta 5 tahun yang lalu. Ada Willy bersama 12 sahabatnya yang berpose dengan gayanya masing-masing dengan latar pantai Watu Kodok. Tempat mereka mengadakan camping dan malam api unggun kala itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Akinda
Fiksi Penggemar"Kos Akinda" Tempat bertemunya tigabelas manusia dengan berbagai macam karakter dan tingkah laku. Dari sekedar housemate kini mereka sudah seperti keluarga. Penuh suka duka menjalani hidup yang kadang hahahihi sekarang lalu menangis kemudian.