Napas Revina seakan tertahan mendengar kata yang terlontar dari mulut dosen pembimbingnya itu. Ia memilih tak ingin peduli. Dengan tanpa permisi, Revina berbalik arah kembali ingin menuju pintu.
Revina kembali terpaku saat sang dosen berhasil mencekal tangannya sekarang.
"Kenapa mau pergi?"
"Saya rasa gak ada urusan lagi di sini. Saya harus ke kelas sekarang."
"Kamu ngerasa bersalah?"
"Bersalah?"
"Yaa. Bersalah. Karena udah nyakitin hati saya. Buat saya kecewa. Berkhianat?"
"Cukup Pak Alan! Saya rasa itu gak penting lagi buat dibahas. Semua udah selesai."
"Mungkin selesai buat kamu. Tapi, gak buat saya."
"Jadi mau Pak Alan apa? Saya udah minta maaf dan coba jelasin semua ke Bapak. Meski saya tau itu bukan sepenuhnya kesalahan saya."
"Lalu kamu pikir itu salah saya?"
"Apa Pak Alan pikir cuma saya penjahatnya dan Anda korbannya?"
"Yaa. Memang itu benar kan?"
"Seharusnya Pak Alan bisa mikir. Siapa yang bisa nunggu selama itu, apalagi tanpa kabar sedikitpun. Saya gak salah kalo mikir Pak Alan waktu itu udah lupain saya. Itu sebabnya saya gak ragu buat terima Irsyad. Dia yang selalu ada buat saya setiap saat, di saat orang yang saya cintai dulu justru sama sekali gak peduli sama perasaan saya."
"REVINA, SAYA GAK MUNGKIN LUPAIN KAMU! KARENA SAYA SAYANG SAMA KAMU.."
"..."
"Tapi, itu dulu. Di waktu itu. Sebelum saya liat dengan mata kepala saya sendiri, di mana kamu bahagia sama pria lain, tanpa saya."
"Dulu. Ya.. Dulu! Pak Alan tau sendiri arti kata 'dulu', itu udah lewat. Gak akan ada gunanya dibahas lagi. Lebih baik kita fokus sama hidup kita masing-masing. Urusan di antara saya dan Pak Alan sekarang cuma sebatas buat skripsi saya. Saya permisi!"
Akhirnya Revina berhasil keluar dari ruangan yang berhasil mengaduk perasaannya lagi. Untuk sejenak Revina bisa bernapas lega karena sudah terlepas dari ocehan Alan yang mengungkapkan seakan-akan ia yang paling tersakiti di situ.
Sementara Alan terduduk lemas di ruangannya. Kepalanya serasa berdenyut. Ia memijat keningnya sambil memikirkan perdebatannya dengan mahasiswa bimbingannya barusan.
"Apa ini semua memang salah aku? Apa aku kehilangan Revina karena kesalahanku sendiri?"
---
Selesai dengan kelasnya, Revina kini duduk di kantin sendirian. Batagor yang sedari tadi di atas meja hanya teraduk-aduk tak jelas olehnya. Mungkin Revina merasa butuh seseorang untuk berkeluh kesah sekarang. Namun, Irsyad--kekasihnya tak bisa hadir di sisinya untuk saat ini.
Revina sangat memaklumi, Irsyad sedang sibuk untuk persiapan sidang skripsinya yang tak kan lama lagi. Revina tentunya ingin Irsyad lebih fokus agar sidangnya lancar. Yang terpenting, Irsyad tak pernah melupakannya, selalu memberi kabar dengan jelas, bukan seperti seseorang di masa lalunya.
Sudahlah, jika teringat orang itu, hanya emosi yang membuncah di hati dan pikiran Revina.
Mulailah ia menyantap batagornya dengan malas. Hingga akhirnya hanya ada sisa-sisa bumbu kacang di piringnya. Setelah meminum habis es jeruknya, Revina berdiri hendak membawa piring bekasnya ke tempat Ibu Kantin.
Baru selangkah, ia menubruk seseorang. Sungguh sial nasibnya hari ini. Revina tak suka membuat masalah dengan orang lain. Tapi, kali ini ia benar-benar ceroboh.
Kemeja warna biru muda dari orang yang bertabrakan dengan Revina menjadi ternoda oleh sisa bumbu kacang. Revina hanya bisa meminta maaf, dan berusaha membersihkan noda itu dengan tisu yang tersedia di atas meja.
"Maaf... Saya minta maaf. Saya bener-bener gak sengaja. Saya akan coba bersihin ini. Maaf... Sekali lagi saya minta maaf!"
"Cukup! Kamu pikir kata maaf kamu bisa bikin kemeja saya bersih lagi?"
Suara itu. Suara yang sangat Revina kenal. Ia memang sedari tadi tak berani melihat wajah seseorang yang ditabraknya. Namun, kini ia pikir ia harus menatap orang itu.
Benar saja, ternyata orang itu. Penghias hari-hari sialnya belum lama ini. Dosen pemarah itu.
"Pak," lontar Revina.
"Makanya kalo jalan yang fokus. Jangan ngelamun mulu!"
"Saya gak ngelamun Pak. Bapak aja yang jalannya gak liat-liat."
"Nyalahin saya lagi? Kemeja saya yang kotor loh!"
"Iya. Saya minta maaf Pak. Saya memang salah. Saya udah coba bersihin, tapi nodanya gak mau hilang juga."
"Cuma pake tisu. Ya jelas gak hilang."
Alan menarik tangan Revina, Revina digandengnya menuju ke toilet.
"Pak, ini apa? Kok di sini?"
"Ayo masuk!"
"Yang bener aja Pak? Ini toilet cowok."
"Ya masa' saya ajak kamu ke toilet cewek? Ini salah kamu, jadi kamu yang harus tanggung jawab."
"Maksud Pak Alan?"
"Udah masuk aja! Lagian sepi kok, cuma ada kita di sini."
Revina pun menurut pada Alan. Ia hanya ingin masalahnya cepat selesai.
"Gimana? Kok malah diem? Bersihin kemeja saya!"
"Pak. Kemeja Bapak harus dicuci."
"Ya udah terserah kamu, yang penting bersih. Saya masih harus ngajar habis ini."
Revina terkejut begitu Alan mulai membuka kancing kemejanya.
"Pak Alan? Eh, Pak mau ngapain?"
"Katanya mau dicuci? Kamu gimana sih?"
"Ya, tapi gak harus buka kemejanya juga kan Pak..." Revina mulai panik.
"Ya udah. Gak saya buka. Terus gimana sekarang? Coba aja kamu bersihin sebisa kamu!"
Revina mencoba membersihkan noda di kemeja yang masih terpakai di tubuh Alan. Noda itu tepat berada di bagian dada kemejanya. Revina berusaha mengelap noda itu dengan memberinya air sedikit demi sedikit. Ia agak canggung karena tangannya harus bersentuhan dengan dada bidang Alan, meski masih terhalang selembar kemeja.
Tak hanya Revina, Alan pun juga merasa canggung. Sentuhan Revina di dadanya, jujur ia sangat merindukan itu. Sudah sangat lama ia tak berdekatan dengan Revina seperti itu. Alan memejamkan mata, mencoba mengingat kenangan manis bersama Revina, sentuhannya, senyumannya, pelukannya.
Ketika Alan membuka mata, ia menggenggam tangan Revina yang berada di dadanya dengan erat.
"Cukup, Rev! Jangan lagi.."
Revina agak terkejut. Kini ia beralih menatap mata Alan yang juga sedang menatap ke arahnya. Mereka bertatapan. Tatapan yang cukup lama.
***
Alan baru saja sampai di rumah. Hari ini ia mengajar dari pagi hingga sore. Jadwal mengajarnya yang sepadat itu membuatnya begitu lelah hari ini.
Setelah melempar tasnya di sofa dan membuka sepatu serta kaos kakinya, Alan memilih menyandarkan diri sejenak di sofa empuk itu. Rasanya kelelahan itu membuatnya sampai tak kuat lagi melangkahkan kakinya untuk sekadar pergi ke kamarnya.
Hampir saja Alan memejamkan mata, tetapi seseorang mengusik ketenangannya.
"Eh, Kak Alan dah pulang ternyata. Malem banget pulangnya, Kak?"
"Iya. Hari ini full ngajar dari pagi sampe sore."
"Beneran ngajar, Kak?"
"Hah? Maksud kamu apa? Prita, kamu pasti mikir aneh-aneh deh," selidik Alan.
"Hm, kirain gitu kan. Bisa aja Kak Alan lama-lama di kampus cuma mau modusin mahasiswa-mahasiswa cantik di sana. Mentang-mentang ganteng! Huh! Kalo gak, jangan-jangan--" Prita tak menyelesaikan kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomanceRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...