Alan membopong Revina keluar dari lift. Sementara Irsyad terus menanti kapan Alan melepaskan mahasiswa bimbingannya itu.
"Pak... Saya udah bilang kan, lepasin Revina sekarang!" tekan Irsyad lagi.
"Kamu gak liat keadaan Revina sekarang gimana? Kita harus segera bawa dia ke rumah sakit. Kalo memang kamu sayang sama dia dan gak mau dia kenapa-napa, jangan buang waktu buat ajak saya ribut saat ini!"
"Saya bisa bawa Revina ke rumah sakit tanpa bantuan Bapak."
"Gak ada waktu lagi buat debat sekarang, Irsyad. Revina butuh perawatan sesegera mungkin. Kamu lebih baik ikutin saya, saya mau bawa Revina ke rumah sakit terdekat dari sini."
Alan setengah berlari keluar lab pusat sambil tetap membopong Revina. Sementara Irsyad tak ada pilihan lain selain mengikuti Alan dari belakang.
Sampai di tempat parkir pun Irsyad masih mencoba memisahkan Revina dari Alan.
"Pak, kenapa gak pake mobil saya aja? Saya juga bawa mobil, kok."
"Aduh, Irsyad, bisa gak sih sekarang jangan mulai lagi, gak penting Revina dibawa pake mobil siapa. Mending kamu bawa mobil kamu, ikutin mobil saya. Kita ketemu di rumah sakit."
Lagi-lagi Irsyad tak bisa mendebat keputusan Alan. Alan melajukan mobilnya, dengan Revina yang tergeletak lemah di kursi samping kemudinya. Mobil Irsyad pun mengikuti dari belakang.
Setibanya di rumah sakit, Alan kembali membopong Revina, membawanya ke ruang IGD.
Revina masih dalam penanganan dokter. Tersisa Alan dan Irsyad berdua di ruang tunggu depan IGD.
"Kenapa Revina bisa di dalem sana cuma berdua sama Bapak?" tanya Irsyad mengawali pembicaraan.
"Kamu jangan salah paham, saya tadi habis cek penelitian Revina di lab pusat. Waktu kami mau pulang, kebetulan aja lift itu kosong dan cuma ada kami berdua. Masalah saya peluk Revina tadi, saya tau kamu gak suka. Tapi niat saya cuma mau tenangin dia. Saya gak mungkin biarin dia panik ketakutan begitu waktu lift mendadak berhenti."
"Bilang aja Bapak mau cari kesempatan."
"Kamu terlalu kekanakkan kalo berpikir begitu. Di sana cuma ada saya sama Revina. Saya gak bisa diem aja ngeliat mahasiswa saya hampir sekarat. Revina punya klaustrofobia. Dia gak bisa lama-lama di ruangan sempit dan tertutup. Itu cukup bahaya buat dia. Dia bener-bener ketakutan bahkan sampe sulit buat napas aja. Saya ngerasa bertanggung jawab, selain karena dia mahasiswa bimbingan saya, di situ cuma ada saya. Kalo sampe ada apa-apa sama dia, saya pasti disangkut-pautkan."
"Hah... Ya. Satu lagi yang saya gak tau tentang Revina, justru saya harus tau lagi-lagi dari Bapak. Setelah ini apa lagi?"
Alan mendekat ke arah Irsyad dan menepuk bahunya.
"Dulu... Waktu saya masih sama Revina, buat tau semua hal tentang dia itu butuh proses, butuh waktu yang gak singkat. Hubungan saya sama Revina bukan cuma hitungan beberapa hari atau beberapa bulan. Kebanyakan justru saya tau segalanya hanya karena kebetulan atau saya yang bersikeras cari tau sendiri. Revina itu orangnya agak tertutup. Dia gak mau cerita sebelum kita tanya, kita udah tanya pun kadang dia tetep gak mau cerita kalo memang dia gak mau. Mungkin dia masih sama sekarang."
"..." Irsyad hanya terdiam.
"Jadi, kamu gak perlu ngerasa salah paham sama saya. Jangan salahin saya, Revina, atau diri kamu sendiri kalo kamu belum bisa tau segalanya tentang Revina. Itu semua butuh waktu, butuh usaha dari kamu sendiri buat perhatian ke Revina, termasuk hal-hal kecil tentang dia."
Sejenak keduanya pun saling diam. Karena merasa kehadirannya sudah tak cukup penting, Alan berpamitan pada Irsyad.
"Oke. Karena udah ada kamu di sini, saya rasa Revina lebih butuh kamu buat jagain dia. Saya permisi pulang dulu."
Alan melangkah meninggalkan Irsyad. Di langkahnya yang ketiga, Alan sempat terhenti karena mendengar ucapan Irsyad.
"Makasih, Pak. Makasih karena Bapak udah nolongin pacar saya dan bantu bawa dia ke rumah sakit."
Alan menoleh sejenak ke arah Irsyad, mengangguk dan tersenyum singkat lalu kembali melangkah meninggalkan ruang tunggu rumah sakit.
...
Revina sudah selesai mendapat penanganan dari dokter. Kini Irsyad sudah menemani Revina di dalam ruangan.
"Irsyad..."
"Hai Sayang, apa yang kamu rasain sekarang?"
"Ehh, aku udah gapapa kok, Ir."
"Aku baru tau kamu punya klaustrofobia. Dosen pembimbing kamu yang kasih tau aku tadi. Kalo kamu cari dia sekarang, maaf... Sayangnya dia udah pergi tadi."
"Aku gak nyari Pak Alan, kok. Soal fobia aku, maaf, Ir... Aku belum sempet kasih tau kamu. Maaf."
"Oke gapapa."
"Ir... Kamu gak ngabarin bunda aku, kan?"
"Belum sempet, Rev."
"Syukurlah. Tolong jangan bilang apa-apa sama bunda, ya. Aku gak mau bunda khawatir. Biar aku sendiri yang cari alesan buat bunda kenapa aku pulang telat."
"Kalo itu mau kamu, aku gak akan bilang."
"Makasih, Irsyad. Tapi, Ir, aku kan udah gapapa. Aku pengin pulang sekarang. Aku gak mau lama-lama di sini."
"Ya udah, tunggu sebentar ya Sayang, aku coba bicara sama dokter dulu."
Setelah Irsyad sedikit berbicara dengan dokter, Revina akhirnya diperbolehkan pulang. Irsyad pun mengantar Revina pulang. Ketika sampai di rumah Revina, benar saja bunda Revina terlihat begitu khawatir.
"Vina... Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Anak bunda dari mana aja, sih? Kenapa jam segini baru pulang? Gak pake ngabarin bunda lagi. Irsyad... Kenapa baru anter Revina sekarang?"
"I-iya Tante. Aku--"
"Bunda, ini bukan salah Irsyad. Aku yang salah, Bun. Tadi aku lanjutin penelitian di lab pusat dulu, maaf aku gak sempet telepon Bunda saking keasyikan sama penelitian aku, Bun."
"Ya ampun, Vina. Bunda pikir ada apa-apa sama kamu. Lain kali gak boleh begitu lagi, ya! Harus tetep nyempetin kabarin bunda dulu kalo mau pulang telat."
"Siap, Bunda."
"Eh, Nak Irsyad masuk dulu, yuk! Mampir sebentar, biar bunda bikinin minum."
"Gak usah, Tante. Aku langsung pamit pulang aja. Lagi pula ini udah hampir malem."
"Oh gitu. Ya udah terserah Nak Irsyad aja. Hati-hati pulangnya, ya."
"Iya, Tante. Aku pamit dulu. Rev, aku pulang, ya."
"Iya, Ir. Makasih ya."
---
Malam ini Alan sedang bersantai di sofa rumahnya. Prita--adik sepupunya kebetulan sedang menginap di rumah temannya. Jadi saat ini Alan hanya sendiri di rumah. Tiba-tiba bel pintu rumahnya berbunyi.
"Siapa ya? Apa Prita gak jadi nginep?" tanya Alan pada dirinya sendiri.
Alan membuka pintu dan mendapati seorang wanita berdiri di depan rumahnya.
"Clara??"
"Hai Alan-ku!!"
"Kamu ngapain malem-malem ke sini?"
"Aku gak boleh masuk nih?"
"E-ehh ya udah ayo masuk!"
Mereka pun duduk berdua di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomanceRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...