Alergi

99 2 0
                                    

Akhirnya, Revina mau juga mengikuti keinginan sang mantan. Ternyata Alan hanya ingin mengajak Revina makan siang bersama. Sudah sangat lama mereka tak makan bersama seperti dulu sebelum mereka terpaksa menjalani LDR.

Alan masih mengemudikan mobilnya, dengan Revina berada di sampingnya.

“Pak Alan... Sebenernya kita mau makan siang di mana, sih? Ngapain jauh-jauh? Di sekitar sini juga banyak tempat makan, kan,” celetuk Revina.

“Kamu tinggal diem aja, ntar juga nyampe, kok. Saya yang ngajak makan siang, jadi terserah saya mau makan di mana.”

Ya, jawaban Alan sama seperti biasa. Selalu membuat Revina naik darah.

“Bukan apa-apa, Pak. Saya gak mau pergi sama Bapak lama-lama.”

“Why? Takut baper dan jatuh cinta lagi?”

“Jangan ngarep! Saya takut dicariin bunda. Timbang belanja deket kok gak pulang-pulang. Ntar dikiranya saya diculik orang jahat.”

“Hmm. Kalo penculiknya setampan saya, pasti gak bakal rugi lah.”

“Terserah Anda, ya. Yang jelas, bisa dipercepat aja, ya, Pak. Biar saya cepet pulang juga. Mohon pengertiannya.”

“Siap, Nyonya!”

Alan memang tak sembarangan memilih tempat makan. Ia sengaja mengajak Revina ke sebuah cafe yang menyimpan banyak kenangan tentang mereka.

Benar saja, sampai di cafe, Revina jadi lebih sering melamun. Mungkin benar, Revina tengah teringat masa-masa manisnya bersama Alan dulu.

“Hei, Nyonya, kita udah sampe. Kenapa malah bengong aja? Lagi flashback ke masa lalu kita, ya?” terka Alan santai.

Revina tersentak.

“Eh, apa ... apa Bapak bilang tadi?”

“Gak ada. Saya udah laper banget. Yuk, masuk!” ajak Alan.

Mereka berdua masuk ke cafe. Seperti ada suasana yang kembali, moment yang sama, hanya dengan status yang berbeda. Revina berusaha tak mau ambil pusing dan bersikap biasa saja. Dalam hati ia bergumam, “Inget Irsyad, Rev! Inget Irsyad!”

Alan memilih meja yang nyaman. Mereka pun mulai memesan.

“Kamu boleh pesen apa aja, kok. Tenang aja, ini saya yang bayar dan gak akan saya masukin daftar tagihan utang kamu, Rev,” seru Alan.

Revina memilih tak menanggapi seruan Alan. Ia langsung memesan satu hidangan dan satu minuman.

“Itu aja?” tanya Alan kemudian.

“Ya, itu cukup buat saya. Lagian saya gak begitu nafsu makan kalo makan berdua sama Bapak.”

“Oh begitu. Oke, up to you.”

Sebelum makanan mereka tiba, mereka hanya saling diam. Revina justru memilih memainkan ponselnya. Berbeda seperti dulu. Kebersamaan mereka selalu dipenuhi ocehan dan canda tawa Revina. Alan hanya ingin membawa suasana yang dulu kembali lagi saat ini. Namun, rasanya mungkin terlalu sulit.

“Rev?”

“Ada apa lagi, Pak?” sahut Revina tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

“Saya lagi ngajak kamu ngobrol, loh.”

“Iya, terus?”

“Ya, yang ngajak bicara itu saya, bukan ponsel kamu. Bisa sopan sedikit, kan. Jangan lupa, saya masih dosen kamu.”

Mendengar nada agak kesal dari Alan, Revina cepat-cepat beralih menatap Alan.

“Oke, maaf Bapak. Jadi, ada apa?”

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang