Setelah Insiden Toilet

56 2 0
                                    

Beberapa detik kemudian, seperti kesadarannya seketika kembali. Dalam benak Revina mencuat bayangan moment kala ia dan Alan berucap sepakat untuk selesai atas hubungan mereka serta muncul bayangan Irsyad yang menjawat tangannya kala ia dulu merasa kesepian.

Langsung saja, didorongnya tubuh Alan hingga sedikit menjauh dari dekatnya. Dengan hentakkan kuat, Revina menginjak kaki Alan sampai Alan spontan mengaduh kesakitan.

Beruntung, saat teriakan Alan terdengar kencang, sudah tak ada orang lain di dalam toilet. Dengan terburu, Revina membuka pintu bilik WC dan berlari cepat keluar toilet.

Alan menyadari kekeliruan yang ia lakukan. Ia pun ikut berlari keluar, mengejar Revina, ingin mencoba menjelaskan kekhilafan yang barusan.

Alan berhasil mencapai langkah Revina. Ia langsung meraih tangan gadis kesayangannya.

“Rev, tunggu ... saya mau—

Revina mengibaskan genggaman Alan begitu saja. Gadis itu justru berlari lagi ke bangku taman, duduk menunduk di sana sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Sang dosen yang pantang menyerah, belum bisa lega jika belum membicarakan perihal tadi dengan Revina. Ia menghampiri Revina di taman.

“Revina, maafin saya,” gumam Alan seraya mengusap bahu gadis yang duduk di sampingnya.

Revina menggeleng, masih sambil menutup wajahnya.

“Harusnya kita gak begitu. Bapak harusnya gak lakuin itu.”

“Iya, saya tau. Saya salah. Maaf, Rev. Saya tadi kelepasan.”

Tak ada respons balik dari Revina. Alan tak mengerti, harus bagaimana ia memperbaiki ini.

“Oke, gini. Maafin saya. Sekarang ini, kamu boleh pukul saya, tampar saya, marah-marahin saya sampe kamu puas. Dan setelah itu, kita lupain aja, ya. Rev, bisa, kan? Saya tau, gak seharusnya saya begitu tadi.”

Perlahan Revina membuka wajahnya. Ia beralih menoleh ke Alan, menatapnya dengan tatapan gelisah. Diminta memukul atau menampar, Revina malah diam saja.

“Rev? Kamu mau maafin saya, kan? Pukul aja, maki-maki saya! Saya gak masalah.”

“Kalo Irsyad sampe tau soal kejadian ini, dia pasti bakal kecewa banget sama saya. Saya gak bisa jaga perasaan dia,” gumam Revina lalu kembali menoleh ke depan dan menunduk.

Alan beranjak dari duduknya. Ia kini berlutut di depan Revina sambil meraih jemari tangannya.

“Dia gak akan tau. Saya gak akan kasih tau dia, Rev. Kamu juga gak perlu kasih tau dia. Tolong, biar kita lupain aja, ya. Ini salah saya. Saya janji gak akan begitu lagi. Saya gak akan lakuin itu lagi tanpa persetujuan kamu. Forgive me, please!”

“Oke. Memang lebih baik dilupain, Pak.” Setelah menjawab dengan satu kalimat itu, Revina beranjak dari tempatnya, melangkah cepat meninggalkan Alan yang masih berlutut. Entah ia sudah memaafkan Alan atau belum.

Alan membiarkan Revina, tak berniat mengejarnya lagi. Pikirnya, mungkin gadis itu perlu waktu. Setelah ia lebih tenang, barulah nanti Alan akan memastikan apakah Revina menerima permintaan maafnya.

“Bego banget, sih, lo, Lan! Kenapa pake kelepasan begitu segala, sih? Belum juga doi luluh. Kalo akibat ulah lo ini dia malah makin ngejauh gimana? Dia pasti sekarang jadi makin canggung kalo ketemu lo,” umpat Alan pada dirinya sendiri.

Revina tadinya akan langsung pulang, tetapi mendadak ia diajak pergi teman-temannya untuk menjenguk salah satu teman mereka yang sedang sakit. Revina pikir, mungkin dengan pergi sebentar bersama teman-teman akan membuat suasana hatinya lebih baik dan bisa membantunya melupakan insiden toilet tadi.

***

Menjelang sore, Irsyad datang ke kampus. Niatnya ingin menjemput kekasihnya untuk mengantarnya pulang. Namun, sayangnya ia harus mendapati usahanya sia-sia sebab ternyata Revina sudah pulang lebih dulu.

Mereka berbicara lewat telepon.

“Sayang, kamu di mana? Udah selesai, kah? Aku udah di depan parkiran kampus, nih.”

“Oh, astaga. Irsyad, sorry banget, ya. Aduh, kamu sampe udah ke kampus. Maaf banget, aku udah di rumah sekarang. Aku sampe kelupaan ngabarin kamu mau pulang duluan.”

“Jadi, kamu udah pulang? Pulang sama siapa?”

“Sama temen-temen sekalian. Jadi tuh, tadi kami jenguk temen satu angkatan yang lagi sakit, ke rumahnya. Habis itu, beberapa temen ngajakin patungan buat sekalian pulang bareng-bareng pake taksi online. Soalnya ada beberapa yang searah. Duh, harusnya aku ngabarin kamu dulu tadi, ya.”

“O gitu. Ya udah, gapapa, Sayang. Yang penting sekarang kamu udah sampe rumah dan baik-baik aja.”

“Ir, maaf banget, yah. Aku ... kamu sampe udah ke kampus, malah aku udah balik duluan. Maaf.”

“Hey, it's okay. Kamu mau minta maaf berapa kali lagi, sih? Aku gak masalah, kok, Sayang. Aku gak marah sama kamu. Udah, ya.”

“Hm, oke. Ya udah, kamu langsung pulang aja. Pasti kamu lelah baru pulang kerja, kan.”

“Oke, Rev. Nanti kalo udah sampe kost, aku kabarin kamu. Daa Sayang. Love you.”

“Love you too.”

Revina menyayangkan dirinya sendiri, mengapa bisa-bisanya sampai lupa mengabari Irsyad. Mungkin ini efek pikirannya masih kacau akibat insiden tadi siang.

Irsyad baru akan pulang, sampai tiba-tiba muncul si gadis pengganggu ulung yang selama ini dikenalnya.

“Eh, Kak Irsyad di sini juga? Hm, pasti mau jemput Kak Revi, ya?”

“Lo ngapain di sini?”

“Ih, Kakak gak tau, ya. Aku maba di sini, Kak. Ini hari pertama aku ikut rangkaian PMB.”

“O ternyata jadi juga lo kuliah di sini.”

“Iya, dong. Nah, terus Kak Revi-nya mana? Apa dia masih di dalem? Kok Kakak main mau pergi gitu aja? Gak jadi jemput?”

“Banyak banget pertanyaan lo. Macem orang sensus. Gue gak jadi jemput, Revina bilang udah balik duluan tadi sama temen-temennya.”

“Aduh, kasihan deh Kakak. Apakah ada miskomunikasi? Wah, kalo udah mulai ada miskom-miskom gitu, bahaya loh, Kak. Bisa-bisa ntar—

“Apa, sih? Gue gak minat dengerin bacot lo.”

“Hm, iya, deh. Oh, gini aja, biar kedatangan Kakak ke sini gak sia-sia, mending anterin aku aja. Kebetulan aku juga belum ada tumpangan buat pulang. Oke, Kak?”

“Ogah. Gue mau langsung balik. Napa lo gak balik sama abang lo aja? Ditinggal juga, ya?”

“Ih, gak gitu, tau. Kak Alan masih ada urusan di kampus. Aku mah gak mau nungguin dia. Sama Kakak aja udah. Yuk, Kak!”

“Eh-eh, main yuk yuk aja ni anak. Kapan gue bilang mau anter? Woi!”

Dengan atau tanpa persetujuan Irsyad, Prita sudah duduk manis di bangku sebelah kemudi mobil Irsyad. Si pemilik mobil sampai mengelus dada menghadapi tingkah Prita.

“Heh, lo kok main masuk aja, sih? Emang gue udah bilang mau anter lo?”

“Nah itu barusan bilang. Udah, deh, Kak. Kita kan udah sama-sama di dalem. Biar lebih menghemat waktu, mending kita jalan sekarang. Daripada ntar Kakak pulangnya kemaleman, loh.”

“Anjirr, nih anak! Lo itu, bener-bener, ya!” Ingin rasanya pria itu meremat-remat Prita sekarang.

“Ayo, Kak. Tunggu apa lagi?”

“Hahh.” Irsyad menghela napas panjang dan mulai mengemudi.

Prita tahu Irsyad mungkin tak ingin lebih lelah menghabiskan tenaga untuk memintanya turun. Karena bagaimanapun, Prita juga tetap ingin pulang bersama Irsyad.

Niat mau menjemput pacar malah berujung mengantar pulang adik mantan sang pacar.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang