“Udah, Rev?”
Revina mengangguk. “Saya belum berani kasih tau bunda soal kejadian barusan.”
“It's OK. Gapapa, Rev. Saya ngerti, pasti kamu butuh waktu. Kamu juga pasti gak mau bunda kamu malah tambah cemas, kan. Yang penting sekarang kamu baik-baik aja.”
Revina melanjutkan menghabiskan es krimnya.
“Mau tambah lagi es krimnya, Rev? Mumpung yang jual masih ada, tuh,” tawar Alan.
“Gak, Pak. Ini aja udah cukup.”
“O iya, kamu udah makan malem?”
Revina menggeleng.
“Pasti kamu laper, kan. Gara-gara nungguin tuh cowok sialan, kamu sampe belum makan jam segini. Ya udah, kita cari makan dulu, ya. Gak perlu jauh-jauh, kok. Tuh, di depan sana banyak yang jual makanan. Ke sana, yuk!”
Alan mengajak Revina menuju ke sisi taman yang masih menjajakan beberapa makanan. Mereka memutuskan untuk membeli masing-masing satu porsi satai ayam.
“Kita beli ini aja? Kalo kamu mau yang lain, bilang aja, ya,” tawar Alan.
“Gapapa, ini aja udah, Pak. Bapak juga belum makan malem?”
“Em, sebenernya tadi udah makan di rumah, sih. Tapi, ngelihat satai jadi laper, pengin makan lagi. He-he.” Alan tertawa di akhir kalimatnya.
Melihat Alan, Revina ikut tersenyum.
Mereka duduk di pinggir taman sambil menikmati satainya. Sesekali mereka beradu pandang dan saling melempar senyum. Di balik diamnya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Makin ke sini, dia selalu ada buat aku. Aku berharap bisa jalan berdua dengan nyaman kayak gini sama Irsyad, bukan sama dia. Kenapa duniaku makin jungkir balik begini, sih? Pacar jadi cuek, yang udah jadi mantan malah makin perhatian,” batin Revina.
“Semoga perlahan Revina bisa lupain kejadian buruk tadi. Aku gak mau dia jadi trauma dan sedih berlarut-larut. Aku janji, Rev, itu yang pertama dan terakhir. Aku gak akan biarin sesuatu yang buruk menimpa kamu lagi,” pikir Alan.
Setelah makanan mereka habis dan Revina sudah lebih tenang—bisa mengendalikan rasa syoknya, Alan mengantar Revina pulang. Tadinya, Alan memaksa ingin mengantar Revina sampai depan rumahnya sekalian bertemu bundanya untuk ikut membantu menjelaskan apa yang terjadi barusan. Namun, Revina menolak. Ia bersikeras akan memberitahu bundanya sendiri nanti dan minta diturunkan di depan gang saja seperti biasa.
Alan pun membiarkan Revina tetap membawa jaketnya. Setelah memastikan Revina aman berjalan sendiri dari depan gang sampai ke rumahnya, mobil Alan melaju untuk kembali pulang.
Alan sampai di rumah. Baru mau masuk kamar, ia langsung diberondong pertanyaan oleh sang adik sepupu.
“Kak Alan? Kakak udah balik? Tadi aku lihat Kakak keluar buru-buru panik banget. Aku mau tanya keburu Kakak pergi. Memang ada apa sih, Kak? Jujur, dari tadi aku ikutan cemas, loh, mikirin Kakak, takut Kakak kenapa-napa. Kak Alan habis dari mana?”
“Prita, maaf deh, ya. Kakak tadi gak sempet pamit. Kakak udah khawatir banget sama Revina tadi.”
“Kak Revi? Memang Kak Revi-nya kenapa, Kak?”
“Jadi ... untung aja kebetulan tadi kakak telepon dia. Makanya kakak bisa dateng tolong dia sebelum terlambat. Revina ... tadi dia hampir dilecehin sama pria-pria kurang ajar di jalan.”
Prita terkejut sampai menutup mulutnya. “Astaga. Kak Revi... terus dia gimana sekarang, Kak?”
“Udah aman, kok. Kakak udah anter dia pulang. Kakak bisa sampe sana sebelum terjadi hal yang lebih buruk.”
“Syukurlah, Kak.”
“Tapi, kakak yakin, dia pasti masih terguncang kalo keinget kejadian tadi.”
“Kasihan Kak Revi.”
“Kakak masih gak habis pikir aja sama tuh pacarnya Revina. Gak ngotak banget, biarin Revina pulang sendirian malem-malem. Revi tuh tadi baru dari kost-an dia, udah nungguin dia berjam-jam. Begitu dia balik, malah Revi disuruh pulang gitu aja. Padahal tuh niat Revina baik, mau bicara baik-baik, perbaikin kesalahpahaman di antara mereka.”
“Jadi, Kak Revi sama Kak Irsyad lagi berantem, Kak? Bukannya itu justru bagus buat Kakak?”
“Bagus sih bagus. Tapi, kelakuan dia yang kayak bocah itu udah bikin Revina dalam bahaya. Kakak tetep gak terima, Ta.”
Sementara itu, di rumah Revina, gadis yang baru saja mengalami kejadian buruk itu mengurung diri di kamar. Bunda Revina juga sudah merasa ada yang berbeda dari putrinya semenjak pulang tadi. Ada kekhawatiran menelisik dalam hati sang bunda. Rosela yang jadi tak tenang, mengetuk pintu kamar putrinya.
“Vina, kamu udah tidur? Bunda masuk, ya.”
Ketika bunda Revina masuk, ia melihat putrinya baru saja meringkuk dan habis menyeka air mata.
“Loh, Nak, kamu kenapa? Anak bunda kenapa?”
Revina menggeleng, ia berusaha menampakkan senyumnya.
“Aku gapapa, Bunda.”
“Jangan bohongin bunda. Bunda bisa lihat, dari semenjak kamu pulang tadi, kamu beda. Jangan bikin bunda cemas, Sayang. Kasih tau bunda, ada masalah apa?”
Sejenak, Revina yang tadinya masih mau menutupi dari sang bunda, tak bisa lagi menahan tangisnya pecah. Ia langsung memeluk bundanya.
“Vina, loh, kenapa, Nak? Bilang sama bunda. Ada apa?”
“Bunda, aku ... tadi aku—
Revina masih tak sanggup untuk jujur. Tangisnya justru makin menjadi.
“Iya, Nak. Iya... cerita sama bunda, ya.”
Perlahan, Revina menceritakan kejadian tadi dengan nada suara bergetar. Mendengar pengakuan putrinya, Rosela benar-benar syok.
“Ya ampun, Nak. Kok bisa sampe begitu? Tapi, kamu bener-bener gapapa, Sayang? Preman-preman kurang ajar itu belum sempet nyakitin kamu, kan?”
Revina menggeleng pelan. “Aku takut, Bun. Kalo tadi gak ada Pak Alan, mungkin aku udah—
“Alan?” Rosela tersentak begitu mendengar nama itu.
“Pak Alan yang udah nolongin aku dari preman-preman itu, Bun. Kebetulan dia tadi telepon di saat aku diganggu mereka.”
“Jadi dia yang udah nyelametin anak bunda? Bunda pikir kamu tadi mau ketemu Irsyad, Nak?”
Revina menceritakan segalanya. Tentang ia yang masih bersitegang dengan Irsyad, usahanya menunggu Irsyad berjam-jam dan berujung disuruh pulang.
“Kenapa Irsyad tega begitu, sih? Bahkan dia biarin kamu pulang sendiri.”
“Irsyad lagi marah sama aku, Bun.”
“Ya tetep aja, harusnya sebagai laki-laki, dia gak begitu, Vin. Jadi, tadi Alan juga yang anter kamu pulang?”
“Iya, Bun. Tapi, aku minta anter cuma sampe depan gang aja karena aku tau Bunda gak akan suka lihat aku dianter pulang sama dia.”
“Harusnya tadi gak masalah, kamu bisa ajak dia mampir dulu. Gimanapun juga, dia udah nolongin anak bunda. Dia udah lindungin kehormatan kamu, Vin.”
Revina agak heran melihat tanggapan bundanya kali ini.
“Lain kali, kamu ajak dia mampir ke rumah, ya. Bunda mau berterima kasih secara langsung sama dia.”
“Maksudnya, ajak Pak Alan ke sini?”
“Iya, Alan, Vin. Dia yang udah nolongin kamu tadi.”
Mungkin, ini bisa jadi kesempatan yang baik bagi Alan. Apakah penilaian bunda Revina bisa berubah secepat itu karena Alan telah jadi dewa penyelamat bagi putrinya? Jika benar, jalan Alan untuk kembali menjalin cinta bersama Revina tentu akan lebih mulus. Akankah setelah ini bunda Revina jadi berpikir dua kali untuk menjadikan Irsyad sebagai calon menantu idamannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomansaRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...