Mobil mereka berhenti di dekat sebuah lapangan yang terletak di samping taman komplek, tak begitu jauh dari rumah Revina. Alan turun dari mobilnya dan diikuti Irsyad. Mereka pun mulai saling menatap tajam.
“Kamu mau bicara apa?” tanya Alan to the point.
“Saya hanya mau kejelasan tentang sikap bunda Revina tadi, Pak. Kenapa dia justru ngelarang saya ketemu Revina? Tapi, malah biarin Bapak masuk tadi. Pak Alan ada urusan apa di rumah Revina?”
“Soal sikap bunda Revina, harusnya kamu bisa tanyain ke diri kamu sendiri. Kesalahan apa yang kamu perbuat ke Revina? Soal kedatangan saya ke sana, saya diundang makan malam sama tante Rosela.”
“Hah? Makan malam? Kok, bisa?”
“Fyi, saya pun udah berdamai sama tante Rosela. Hubungan kami kembali membaik. Sama seperti dulu, sebelum kamu masuk di kehidupan Revina.”
“Mana mungkin? Saya tau banget, tante Rosela begitu gak suka sama Bapak karena Bapak udah ngecewain Revina dulu.”
“Hidup itu dinamis. Semua bisa aja berubah, Irsyad.”
“Gak mungkin kalo tanpa alasan di baliknya.”
“Tentu beralasan. Itu pun terjadi karena kamu sendiri. Masih belum sadar? Masih gak ngeh juga, sama kesalahan kamu?” Alan justru masih membuat Irsyad kebingungan menerka-nerka.
“Kesalahan apa? Saya ... cuma karena saya gak anter Revina pulang kemarin malam?”
“Kamu bilang itu ‘cuma’?” Nada bicara Alan mulai menyuratkan emosi. “Apa kamu tau, apa yang harus Revina alami karena kelalaian kamu itu?”
“Tau apa, Pak? Memang Revina kenapa?”
“Astaga, Irsyad. Semalam, Revina hampir dilecehkan sama pria-pria kurang ajar di jalanan.”
“APA, PAK? BENARKAH?” Irsyad langsung syok mendengar fakta itu.
“Sekarang kamu paham, kan, kenapa sikap tante Rosela berubah drastis macam itu?”
Irsyad masih terdiam. Ia masih membayangkan bagaimana kejadian nahas yang menimpa kekasihnya semalam.
“Kamu bisa bayangin, gimana Revina bisa hadapin itu? Sampe tadi pun, saya tau Revina masih trauma. Jiwanya terguncang tiap kali inget kejadian itu. Bahkan, saya barusan harus kasih bimbingan skripsi buat dia di rumahnya. Dia pengin bimbingan, tapi dia masih takut keluar rumah. Sampe segitunya, kan. Dia masih belum berani keluar buat pergi ke kampus. Dia pun sampe harus bolos kelas perbaikannya hari ini. Yang kamu kira ‘cuma’ itu, nyatanya berdampak begitu besar buat Revina. Andai malam itu kamu gak biarin dia pulang sendirian, Irsyad!”
Omongan panjang Alan sama sekali tak bersambut respons dari Irsyad. Irsyad masih saja termenung dan hanya jadi pendengar setia rentetan kritikan Alan.
“Kebetulan saya telepon Revina tepat di waktu kejadian. Kalo pun saya gak telepon dia, saya gak akan tau juga kalo Revina dalam bahaya. Gak ada jaminan juga dia mau minta tolong duluan ke saya, itu hanya karena dia mau jaga perasaan kamu. Syukurlah, saya bisa datang tepat waktu,” jelas Alan.
“Maafin aku, Rev,” cicit Irsyad.
Perasaan Irsyad pun jadi kacau sekarang. Ia kesal pada dirinya sendiri. Ia sangat merasa bersalah.
“Ada lagi yang perlu kamu bicarakan? Ini udah malem, saya pun mau pulang. Prita nungguin saya di rumah. Buat detail kejadiannya, bisa kamu tanyain langsung ke Revina. Biar dia aja yang jelasin ke kamu. Saya permisi.”
Alan hampir masuk ke mobilnya lagi sebelum Irsyad memanggilnya.
“Pak, tunggu.”
Alan kembali menoleh ke belakang.
“Makasih, Bapak udah nyelametin pacar saya.”
“Saya lakuin itu bukan buat kamu, bukan karena dia pacar kamu. Tapi, buat diri saya sendiri. Karena saya amat mencintai dia.” Alan pun meninggalkan Irsyad yang masih mematung di tempatnya.
“BEGO BANGET LO! BEGO! AAHH, HARUSNYA LO GAK BIARIN DIA BALIK SENDIRIAN. LO SALAH, IR! LO BEGO, IRSYAD!” Irsyad terus berteriak, mengoceh tidak jelas, menyalahkan dirinya sendiri.
Beruntung, lapangan sudah sepi karena hari sudah cukup malam. Jika tidak, Irsyad pasti sudah dikira orang tidak waras.
Sampai kembali ke rumah pun, perasaan Irsyad masih gelisah. Kini, ia hanya memikirkan Revina. Apa Revina mau memaafkannya? Terlebih tante Rosela? Meski ini kesalahan yang tak disengaja dan tak terduga efeknya, tetap saja dirinya merasa bersalah. Apalagi setelah mendengar cerita Alan terkait rasa trauma yang masih Revina rasakan.
“Pokoknya, besok aku harus bisa ketemu Revina dan minta maaf ke dia. Maaf, Sayang,” tekad Irsyad.
***
Esok harinya, Revina mulai memberanikan diri untuk kembali ke kampus. Ada dua kelas yang harus diikutinya hari ini. Sayang sekali jika ia melewatkan kelasnya lagi. Bundanya juga terus mewanti-wanti agar ia bisa melupakan kejadian buruk yang lalu. Bagaimanapun, hidupnya masih harus berlanjut. Tak bisa ia berlama-lama mengurung diri di dalam rumah karena rasa takut.
“Anak bunda udah rapi, nih. Udah mau berangkat ke kampus, ya?”
Revina mengangguk pelan. Seperti masih ada seberkas keraguan dalam dirinya.
“Vina, seenggaknya dengan kejadian itu, kamu sekarang bisa lebih waspada, Nak. Bukan justru jadiin kamu selalu ketakutan. Kamu bisa makin ekstra buat jaga diri. Anak bunda harus kuat, ya.”
“Iya, Bun. Aku akan jadiin itu pelajaran. Aku gak bisa biarin traumaku berlarut-larut. Makasih, Bunda selalu ada buat dukung Vina.”
Rosela memeluk putrinya.
“Ya udah, berangkat sekarang, nanti kamu terlambat.”
“Iya. Ini udah mau pesen ojol, kok, Bun.”
Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu.
“Siapa yang dateng pagi-pagi begini, ya? Biar bunda coba lihat dulu, deh.”
“Bareng aja, Bun. Aku juga sekalian mau keluar.”
Rosela dan Revina ke depan bersamaan. Begitu Rosela membuka pintu, Revina terkejut melihat siapa yang datang.
“Selamat pagi, Rev, Tante!”
“Loh, Nak Alan? Ada apa? Kok pagi-pagi kemari?”
“Em, saya tau hari ini Revina ada kelas di kampus. Jadi, saya ke sini buat anter dia, Tan. Biar kami sekalian bareng ke kampusnya. Saya juga ada jadwal ngajar hari ini.”
“Oh. Ya ampun, kamu kok sampe repot dateng ke sini pagi-pagi?”
“Gapapa, Tante. Sama sekali gak repot. Kan, sekalian saya mau ke kampus juga.”
“Makasih, Pak. Tapi, saya barusan dah pesen ojol, kok.”
“Vin, kan bisa di-cancel aja. Nak Alan udah bela-belain dateng ke sini buat jemput kamu, loh. Masa' ditolak gitu?”
“Tapi, kan, Bun—
“Udah, Vin. Gapapa. Kamu bareng Alan aja. Nak Alan, tante titip Vina-nya, ya.”
“Iya, Tan. Saya akan pastikan Revina sampe kampus dengan selamat. Ayo, Rev! Kita berangkat sekarang?”
“Hm, ya udah terserah, deh. Sabar, saya cancel pesenan ojol dulu.”
“Kalian hati-hati, ya. Vina, kalo dah sampe kampus, jangan lupa kabarin bunda.”
Revina pasrah pergi ke kampus bersama Alan. Alan pun tersenyum menikmati kemenangannya. Bunda Revina bahkan mendukung putrinya pergi bersama Alan. Sepertinya, tak akan lama lagi, keinginan Alan bisa menjadi nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomansaRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...