Pamit

83 0 0
                                    

Dilema oh dilema. Revina kini makin digelayuti dilema. Pasalnya, Irsyad—kekasihnya kini lebih sibuk bekerja. Intensitas mereka bertemu tak bisa sesering sebelumnya. Justru Revina malah lebih sering bertemu dengan sang mantan. Di kampus, baik hanya berpapasan lalu berakhir dengan obrolan receh, saat bimbingan, bahkan di luar itu pun Alan masih gemar menyambangi lewat ponsel.

Jika situasi berbalik seperti ini, mungkinkah kejadian yang dulu akan terulang? Dengan Irsyad dan Alan bertukar posisi? Tidak. Revina tak mau mengulang kesalahan yang sama. Ah, apa mungkin Revina masih menganggap kejadian saat kepulangan Alan dari Tiongkok dulu adalah sebuah kesalahan?

Di siang hari bolong, seketika grup bimbingan penuh dengan notifikasi. Kali ini, bukan mau membahas rencana hangout bagian kedua. Namun, keramaian ini tercipta akibat satu jarkoman chat Alan yang mengatakan bahwa untuk dua atau tiga hari ke depan ia tak bisa melayani permintaan konsultasi bimbingan skripsi secara langsung karena ia ditugaskan oleh kampus untuk menghadiri seminar di luar kota.

Banyak mahasiswa yang menyayangkan kepergian Alan untuk sementara itu, tetapi mereka tak bisa terlalu banyak protes sebab ini mandat dari kampus. Toh, perginya Alan hanya sekitar tiga hari. Setelah itu, ia pasti kembali menjalankan tugasnya sebagai dosen pembimbing idola.

Revina pun sudah membaca kabar terbaru tersebut serta beberapa respons dari kawan seperbimbingannya. Tetap saja, ia sendiri tak berminat untuk ikut merespons seperti yang lain. Walau sebenarnya, ada saja chat-chat yang mencatut namanya hingga membuatnya gemas ingin membalas untuk menyangkal tuduhan-tuduhan.

[ Pak, nanti Revina kangen, loh. ]

[ Atau Revina juga mau diajak sekalian, ya, Pak? ]

[ Eh, btw, orangnya dari tadi gak muncul-muncul, loh. ]

[ Rev, tunjukkan dirimu. Pak Alan tersayangmu mau pergi, nih. ]

Revina masih bisa menahan diri dan memilih untuk bodo amat. Persetan banyak yang menyebutnya di grup.

Hingga hampir sore hari, Revina masih di kampus. Setelah ikut kelas perbaikan tadi siang, ia masih mager untuk pulang. Ia justru memilih duduk-duduk sebentar di gazebo kampus sembari menikmati gorengan yang baru ia beli di kantin.

Tak sampai lima menit Revina duduk di sana, si penyebab keramaian grup bimbingan tadi malah datang menghampirinya.

Alan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Revina. Kebetulan saat itu gazebo tak terlalu ramai. Hanya ada dua sampai tiga mahasiswa—adik tingkat Revina yang tengah mengerjakan tugas bersama.

“Jangan makan gorengan terus. Gak baik buat kesehatan,” ujar Alan.

“Bapak? Ngapain di sini?”

“Karena lihat kamu ada di sini.”

“Hmm.” Revina memilih kembali fokus dengan gorengannya.

“Rev, besok saya berangkat ke Bandung pagi-pagi buat acara seminar—

“Udah tau, Pak. Saya juga tadi udah baca grup, kok.”

“Oh, udah baca, ya. Kok sider? Kenapa gak muncul dan ikut nimbrung? Seenggaknya respons chat saya gitu kek, kayak yang lain.”

“Males aja, Pak.”

“Hm, kamu ini. Emang gak takut kangen sama saya kalo saya pergi?”

“Ngapain mesti kangen Bapak? Emang situ siapanya saya? Gak penting juga.”

“Saya dosen kamu sekaligus jodoh kamu. Jangan dilupain, dong.”

“Hahh.” Revina mengembuskan napas panjang.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang