Sepertinya Rindu?

70 1 0
                                    

Hari ini adalah hari keberangkatan Alan ke Bandung. Ia sampai di bandara sekitar pukul 7.15 WIB. Alan sengaja berangkat lebih awal karena mendapatkan jadwal penerbangan pukul delapan tepat. Sambil menunggu pesawatnya, ia menyempatkan diri untuk mengirim chat ke gadis kesayangannya.

>> Pak Alan

[ Selamat pagi, Jodoh. Hari ini saya berangkat ke Bandung. Sekarang saya masih di bandara. Penerbangan saya pukul 8 nanti. Kamu gak berminat ketemu saya dulu di bandara sebelum pesawat saya berangkat? ]

Chat Alan sudah terkirim. Kebetulan, Revina juga baru bangun tidur. Dengan mata yang masih berat untuk terbuka lebar, Revina mengecek pesan masuk di ponselnya.

>> Revina

[ Pagi, Pak. Selamat menempuh perjalanan. Semoga perjalanan Bapak menyenangkan. ]

Balasan yang cukup sederhana dari Revina. Ia hanya tak ingin merusak mood di pagi harinya. Setelah membaca balasan Revina, Alan justru menelepon. Sepertinya, ia ingin mendengarkan nada jutek Revina yang akan sangat dirindukannya selama tiga hari ke depan.

“Aduh. Udah dibales juga, pake nelepon lagi,” gerutu Revina.

Revina menerima panggilan dari Alan agar pria itu tak terus menerornya dengan panggilan-panggilan berikutnya.

“Halo, kenapa lagi Bapak?”

“Pengin denger suara kamu aja.”

“Astaga!”

“Kamu yakin gak mau ketemu saya dulu, nih, sebelum saya pergi? Masih ada waktu, kok. Saya masih di bandara.”

“Gak, Pak. Makasih. Saya aja barusan bangun tidur. Nyawa belum ngumpul juga.”

“Oh. Okelah, gak masalah. Yang penting, selama saya pergi, kamu baik-baik di sini, ya. Jaga diri kamu. Jangan bandel-bandel.”

“Udah pesan-pesannya, Pak? Atau mau butuh waktu satu jam lagi?”

“Sebenernya, satu jam bicara sama kamu tuh, buat saya pun masih kurang, Rev.”

“Bapak, udah mending sekarang Anda gak usah ribet. Kemarin udah pamit, kan? Sekarang, Bapak chat udah saya bales, Bapak telepon juga udah saya angkat. Udah kelar, kan?”

“Kamu nih, gak bisa lihat saya seneng dikit. Hm, Rev, kalo nanti kamu ada apa-apa, mau ngabarin saya, boleh banget, kok. Tapi, usahain kabarinnya setelah petang aja, ya. Takutnya, sebelum itu, saya masih sibuk di seminar.”

“Hm, saya iyain aja nih, ya. Ada lagi?”

“Nanti kalo saya udah sampe Bandung, saya pasti langsung kabarin kamu. Saya juga akan rutin setiap harinya buat ngabarin kamu. Biar kamu gak terlalu kangen.”

“Oke. Hm, suka-suka Bapak. Udah?”

“Em, apa lagi, ya? Saking banyaknya yang mau saya sampein ke kamu, saya sampe bingung mau bilang yang mana dulu.”

“Bisa gak, Pak, kalo gak perlu dibilang semuanya sekaligus sekarang? Saya mau mandi. Mau ke kampus. Hari ini saya masih ada kelas.”

“Siapa suruh gak bangun dari tadi?”

“Ih, suka-suka saya, dong. Kalo gak ladenin telepon Bapak, saya juga gak akan telat, kok, kalo bangun jam segini.”

“Hm, saya lagi yang kena.”

“Makanya, gak usah suka bikin ribet hidup orang, Pak.”

“Ya udah. Iya-iya. Sana gih, siap-siap ke kampus. Tunggu aja telepon saya lagi nanti, ya.”

“Bye, Pak!”

“Daa, Jodoh.”

Alan tersenyum setelah bicara dengan Revina. Sementara Revina kini buru-buru mandi dan bersiap ke kampus. Tak berapa lama kemudian, pesawat Alan pun tiba. Sang dosen berangkat ke Bandung meninggalkan kota tempat tinggalnya.

***

Revina baru selesai dengan kelas perbaikan mata kuliah dengan 3 sks. Baru saja bahkan belum ada sehari Alan pergi, Revina seperti merasakan ada yang berbeda di hidupnya. Ia jadi lebih tenang? Mungkin. Tak seperti biasanya, ia tak akan tiba-tiba berpapasan dengan sang dosen pembimbing ketika sedang berjalan di areal kampus. Tak ada lagi Alan menyebalkan, yang selalu pandai mengusir driver ojek online secara halus demi bisa mengantarkan Revina pulang.

Tiba-tiba, ponsel Revina bergetar. Jujur, ia sempat mengira itu panggilan masuk dari Alan. Ternyata, justru kekasihnya yang menelepon.

“Rev, halo, Sayang.”

“Eh, iya halo, Ir. Em, bukannya harusnya kamu masih kerja di jam segini, ya?”

“Iya. Tadi aku baru aja ditugasin keluar. Nah, ini baru mau balik ke industri. Makanya aku sempetin telepon kamu dulu. Kamu gak suka kalo aku telepon, ya?”

“Irsyad, gak begitu, lah. Mana mungkin aku gak suka?”

“Hm. Kamu lagi sibuk, kah? Emang lagi di mana?”

“Gak sibuk, kok, Ir. Ini masih di kampus. Baru selesai kelas tadi.”

“Oh. Terus habis ini mau langsung balik?”

“Mungkin agak nanti, Ir. Aku mau ke perpus dulu sekalian nunggu jam makan siang. Nanti sekalian makan di kantin, habis itu baru pulang.”

“Hm, maaf ya, aku gak bisa jemput kamu.”

“Ir, apa sih? Aku juga tau kamu masih kerja. Gak usah pusing, ojek banyak, kok.”

“Ya udah. Hati-hati pulangnya nanti, ya.”

“Kamu juga jangan lupa makan siang, ya!”

“Siapp Nyonya. Em, ntar sepulang kerja, kalo sempet aku main deh ke rumah. Udah lama juga gak ketemu bunda kamu.”

“Cuma pengin ketemu bunda, ya? Hmm.”

“Eh, ya tentu pengin ketemu kamu juga, dong, Sayang. Oke deh. Aku harus balik kerja lagi sekarang. Sampe nanti, ya. See you, Rev. Love you!”

“Daa, Irsyad.”

Sesuai yang ia katakan pada Irsyad, Revina pun menuju perpustakaan kampus.

Ketika tiba jam makan siang, Revina pergi ke kantin untuk membeli makan. Memilih satu meja yang dirasa cukup nyaman, ia lalu memesan sebuah hidangan untuk lapar perutnya. Sepiring nasi goreng sosis yang tak terlalu pedas disajikan di atas meja Revina oleh ibu kantin. Tak ketinggalan, milk shake cokelat dingin sebagai pelengkap menyegarkan kerongkongan di tengah siang yang cukup panas ini.

Sambil menikmati makanannya, Revina mengecek ponselnya.

Terdapat sebuah chat dari Alan plus sebuah foto yang menampakkan Alan sedang makan siang di sebuah resto.

>> Pak Alan

[ Selamat siang, Jodoh. Kamu masih di kampus, kah? Saya sebenernya udah sampe Bandung dari tadi, tapi saya gak sempet kabarin kamu. Maaf, ya. Ini saya lagi makan siang. Kamu juga jangan lupa makan, ya! ]

>> Revina

[ Saya pun gak ngarep Bapak kabarin saya. Saya juga ini lagi makan siang di kampus, Pak. Apa perlu saya pamerin fotonya juga? ]

>> Pak Alan

[ Katanya gak ngarep, tapi bales chatnya cepet banget. Ngaku aja. Udah mulai kangen, ya? ]

>> Revina

[ Gak dibales salah. Bales cepet juga salah. Tau gitu mending saya blok aja nomor Bapak biar gak bisa hubungin saya lagi. ]

>> Pak Alan

[ Eh eh, gak boleh gitu, dong. Jodoh saya ngambekan, nih. Oke maaf. Kalo gak mau ngaku juga gapapa, kok. ]

Setelah itu, Revina tak lagi membalas chat Alan. Seperti biasa, Alan yang tak terima karena tak direspons, tak pikir dua kali lagi untuk menekan tombol panggil.

Kali ini, Revina tak ingin pula menanggapi telepon Alan. Ia justru me-rejectnya. Kemudian, Revina membalas Alan dengan satu pesan.

>> Revina

[ JANGAN GANGGUIN ORANG LAGI MAKAN! ]

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang