“Saya juga gak tau ini di mana, Pak. Saya disekap di ruangan yang gelap. Saya sama sekali gak tau ini tempat apa.”
“Rev, kamu tenang dulu, ya. Oke, gini, kamu bisa share location ke saya, kan? Dan, aktifkan fitur GPS ponsel kamu, biar saya bisa lacak di mana posisi kamu sekarang. Bisa, Rev?”
“Baik, Pak.”
“Oke. Satu lagi, kamu jangan matiin sambungan telepon sama saya, ya. Biar saya bisa denger keadaan di sana juga. Saya pasti dateng, Rev. Bertahanlah sebentar. Percayalah, semua bakal baik-baik aja.”
“Bapak hati-hati.”
“Ada berapa penjahat di sana, Rev?”
“Yang saya lihat tadi, ada empat pria sangar di sini, Pak.”
“Oke. Tunggu saya, Rev.”
Revina sudah melakukan apa yang Alan perintahkan tadi. Alan mulai melacak keberadaan Revina saat ini. Begitu ia menemukan titik lokasinya, Alan bergegas melaju dengan mobilnya. Kepanikan terus menggelayutinya. Ia takut Revina tak bisa bertahan lebih lama menghadapi semuanya sendirian di sana. Lokasi penyekapan Revina cukup jauh dari tempat Alan. Dalam hati, ia terus merapal doa dan harapan.
“Semoga saya bisa dateng tepat waktu. Bertahanlah, Rev.”
Alan bahkan belum sempat memberitahu Rosela mengenai kabar ini. Ia pikir, mungkin bundanya akan lebih syok jika mengetahui putrinya tengah diculik pria-pria brengsek. Tak ingin menambah rumit masalah, Alan memutuskan untuk mengabarkan pada Rosela di saat nanti Revina sudah bersamanya.
Alan sesekali mendengar bagaimana malangnya Revina di sana. Apa saja yang pria-pria itu katakan pada Revina. Bagaimana Revina terus membantah, berteriak, sampai menangis tersiksa ketakutan. Ingin rasanya Alan menghabisi pria-pria itu detik ini juga. Ia pun mempercepat laju mobilnya.
“Sialan! Beraninya mereka! Rev, tunggulah sebentar lagi. Saya gak akan biarin mereka nyakitin kamu lebih jauh lagi.”
Tak sampai dua jam kemudian, Alan sampai di lokasi. Saat ini hari sudah malam. Alan melihat sebuah gedung tua yang tak terlalu besar di hadapannya.
“Apa Revina ada di dalam sana?” Alan bertanya-tanya.
Melihat sekeliling, Alan pun masuk lewat pintu utama yang kebetulan bisa terbuka dengan mudah. Sampai di dalam, suasana begitu tak nyaman. Seisi gedung itu kotor, kumuh, penuh dengan sarang laba-laba. Benar-benar terlihat tak terawat bertahun-tahun. Namun, ia belum mendapati satu orang pun di sana. Alan bergegas menelusuri gedung, mencari ruangan tempat Revina berada.
Alan menemukan satu pintu yang terkunci. Tanpa basa-basi, ia menggedor-gedor pintu itu sembari memanggil nama Revina.
“Rev? Revina, kamu di dalam?”
Terdengar suara dari dalam.
“Pak Alan? Iya, Pak. Saya di sini.”
“Menjauhlah dari pintu, Rev. Saya akan coba dobrak pintunya.”
Alan berhasil mendobrak pintu itu. Revina lantas berlari keluar dari ruangan menghampiri Alan. Alan langsung memeluk erat gadis di hadapannya.
“Rev, apa saya terlambat?”
“Mereka ... tadi mereka coba sentuh saya. Tapi, saya berhasil lepas dan buat mereka urungin niatnya. Tapi, mereka akan coba lakuin itu lagi nanti, Pak.”
“Hey, hussstt! Itu gak akan terjadi. Udah ada saya di sini. Kamu aman, Rev. Ayo, kita segera pergi dari sini.”
Belum sampai mereka melangkah keluar gedung, datang para pria penjahat dari sisi lain gedung.
“Oh. Ternyata ada pahlawan kemaleman di sini,” seru salah satu pria.
Kini, Alan terpaksa mesti berjibaku adu hantam dengan para pria penjahat itu.
“Kalo kalian berani, hadapi saya. Jangan beraninya sama cewek. Pengecut!” bentak Alan.
“Pak Alan,” panggil Revina yang masih ada di belakang Alan.
“Rev, kamu menyingkir sebentar, ya. Tenanglah. Biar saya hadapi mereka dulu.”
“Tapi, mereka gak cuma satu, Pak.”
“Gapapa, Rev. Kamu jangan cemas. Saya gak akan biarin mereka nyakitin kamu lagi. Percayalah sama saya.”
Revina membiarkan Alan menghadapi keempat pria itu sembari berharap semoga Alan bisa. Adu pukul pun dimulai. Tinju demi tinju dilayangkan. Alan cukup kewalahan bertarung satu lawan empat. Beberapa kali ia tak bisa lolos dari pukulan mereka. Bahkan, salah satu dari mereka sempat memukul kepala Alan dengan benda tumpul. Kini, pelipis Alan terluka. Revina makin khawatir dengan Alan.
Di saat Alan sibuk menghadapi dua pria. Dua pria lainnya justru mencuri kesempatan untuk kembali menjebak Revina. Gadis itu meronta di tengah cengkeraman erat dua pria itu.
“LEPASIN! JANGAN SENTUH SAYA.”
Alan mendengar teriakan Revina. Ia pun ikut mengumpat.
“WOI! BRENGSEK! LEPASIN DIA! JANGAN MACEM-MACEM SAMA DIA! KALO KALIAN LAKI-LAKI, LAWAN SAYA. JANGAN SENTUH DIA!!”
Alan tak tahan melihat Revina-nya terjebak oleh dua pria itu. Dengan tenaganya yang masih tersisa, Alan menendang dua pria yang mencengkeram Revina. Memukuli mereka dengan membabi buta.
Nahasnya, salah satu dari mereka ternyata membawa senjata tajam. Dengan sekali gerakan, sebuah pisau tertusuk di bagian perut Alan. Revina pun berteriak histeris.
“PAK ALAANN!”
Perlahan Alan roboh ke tanah. Tak berapa lama pun polisi datang. Sebelum pergi ke sana, Alan sudah sempat menghubungi polisi. Hanya sangat disayangkan, kedatangan polisi sungguh terlambat. Alan harus terluka parah seperti sekarang.
Keempat pria itu ditangkap. Sementara polisi yang lain membantu Revina memanggilkan ambulans untuk segera membawa Alan ke rumah sakit.
Revina terduduk di samping Alan yang sudah terbaring lemah. Darah terus keluar dari luka tusukan di perutnya. Revina menjerit, menangis kencang. Ia membuat Alan harus mengorbankan keselamatannya hanya demi melindungi mantan kekasihnya. Alan masih belum sepenuhnya pingsan. Matanya masih terbuka. Sembari menahan rasa sakitnya, Alan meraih wajah Revina, mengusap pipinya lembut sambil berusaha bicara.
“Rev.”
“Pak. Kalo Bapak tadi gak ke sini, ini gak akan terjadi.” Tangis Revina masih tak bisa dibendung.
“Saya gak mungkin biarin kamu dalam bahaya sendirian. Revina, tenanglah. Sekarang mereka udah pergi. Yang penting kamu baik-baik aja. Saya gapapa, kok.” Alan bahkan masih sempat menampakkan senyumnya.
“Gapapa gimana, Pak? Bapak terluka. Cuma karena saya. Pak Alan...”
“Revina, hidup saya gak akan berarti kalo saya biarin orang yang saya sayang disakitin sama penjahat-penjahat macem mereka. Sstt, jangan nangis, ya. Ahh—
“Pak! Bapak? Pak Alan bertahan, ya. Bentar lagi kita ke rumah sakit.”
“Saya ... sangat mencintai kamu, Rev—
Alan pun memejamkan mata. Tangannya terlepas dari wajah Revina. Revina makin histeris.
“PAK! BANGUN, PAK! PAK ALAN!!”
Revina terus menggoyangkan wajah Alan. Ingin Alan kembali membuka mata. Sekali lagi, Alan berhasil jadi pahlawan bagi Revina. Namun, apakah kali ini pejuang cinta itu harus benar-benar gugur?
Ambulans tiba. Alan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk ditangani. Revina pun selalu mendampingi di sisi Alan. Entah, ini rasa bersalah yang begitu kuat, rasa berutang budi, berutang nyawa, atau memang kecemasan dari hati yang paling dalam karena takut kehilangan orang tersayang. Revina hanya berharap ada keajaiban yang bisa membuat keadaan Alan baik seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
عاطفيةRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...