Yakin, Tak Mau?

56 2 0
                                    

Seiring waktu, makin jelas kentara yang tak semestinya. Revina makin dekat dengan Alan. Sementara Irsyad justru lebih dekat dengan Prita. Namun, di sini, status pacaran masih hanya dimiliki antara Revina dan Irsyad. Hanya saja, untuk masalah intensitas bertemu, Revina malah lebih sering menghabiskan waktu bersama Alan. Sama halnya dengan pertemuan demi pertemuan yang terjadi di antara Irsyad dan Prita.

Apa memang seharusnya begitu saja? Biar kisah perjuangan cinta Alan tak perlu lebih panjang dan berlama-lama. Lagi pula, akhirnya masing-masing tetap dapat pasangan. Kenyataannya, masih belum bisa semudah itu. Hati Revina masih terlalu berat di Irsyad. Si Irsyad pun sama. Intinya, pasangan itu takkan bisa segampang itu saling melepaskan.

Bimbingan skripsi jadi terasa lebih intens. Alan bahkan tak ragu lagi menunjukkan perhatian dan rasa protektifnya terhadap Revina. Revina yang biasanya sedikit-sedikit kesal pada tingkah bucin sang dosen, kini malah seperti sudah terbiasa. Seakan menikmatinya juga. Bahaya, jangan sampai mantan kekasih ini jadi terjebak hubungan tanpa status. Soal cinta, tetap pihak Alan saja yang memberi kejelasan. Sedang Revina, masih enggan saja mengakui rasa sayangnya walau sebenarnya benih-benih itu tak bisa diungkiri perlahan muncul kembali.

Perasaan Revina selalu bisa bersembunyi di balik tameng menjaga perasaan Irsyad. Padahal, ia pun menyadari, hubungannya dengan Irsyad makin ke sini makin hambar. Terlebih sejak Irsyad lebih sibuk bekerja. Entah, seperti ada sesuatu di antara mereka yang membuat mereka masih memilih bertahan.

“Nunggu lama, ya, Rev?” seru Alan yang baru datang.

Hari ini mereka janjian untuk bimbingan di sebuah kafe. Tak ada alasan khusus. Biar pembahasan bisa lebih santai saja, sekalian bisa sambil ngopi.

“Gak, kok, Pak. Saya juga baru dateng.”

Mereka pun melanjutkan obrolan perihal skripsi. Laptop Revina sudah ada di antara mereka. Pembahasan kali ini benar-benar santai. Sesekali keluar tawa dari keduanya. Alan sungguh sudah lama menantikan moment seperti ini. Revina-nya yang dulu seakan kembali.

“Oke, oke. Gimana? Beneran paham gak, nih?”

“Ya ... paham, Pak. Eh, lumayan paham.”

“Rev?”

“Ah, iya Bapak. Paham-paham, kok.”

“Bener, loh, yah. Kalo kurang ngerti, bisa saya jelasin lagi, nih.”

“Gak. Udah, kok, Pak. Beneran.”

“Hmm?”

“Ya, ntar kalo bingung, saya chat Bapak lagi.”

“Ha-ha-ha. Haduhh. Okelah. Up to you.”

Keduanya saling melempar senyum.

“Tadi ke sini sendiri, Rev?” lanjut Alan.

“Berdua, sih. Sama tukang ojek.”

“Harusnya kamu traktir ngopi sekalian tuh drivernya.”

“Ya ampun, Pak. Saya lagi berhemat. Pak Alan tau sendiri kalo kopi di sini mahal-mahal, kan?”

“Eh, bener juga, sih. Saya aja cuma pesen satu cangkir. Tapi, karena kali ini saya berbaik hati. Punya kamu biar saya yang traktir juga, deh.”

“Serius?”

“Yah.”

“Makasih banyak, Pak. Thank you so much.”

“Mau sekalian makan juga boleh, kok, Rev.”

“Ehh, yang bener? Tapi, gak deh, Pak. Saya gak mau terkesan morotin Bapak.”

“Cuma makan seporsi, kan. Bukannya kamu minta saya belanjain kamu barang-barang branded satu mall. Morotin dari sisi mananya?”

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang