Tak berapa lama, mangkuk bubur Alan pun kosong.
“Udah habis, Pak.”
“Makasih, ya. Kayaknya udah lama banget kamu gak suapin saya kayak tadi, kan. Hm, pasti dijamin setelah ini saya langsung sembuh.”
Revina tetap tak luluh, meski dari tadi pembahasan Alan selalu menyerempet ke masa lalu.
“Baiklah. Silakan dilanjut lagi. Kamu mau tanya apa lagi? Mau tanya yang di luar skripsi juga boleh, kok. Saya lagi baik, nih. Karena kamu udah suapin saya tadi,” tawar Alan.
“Em, mending sekarang Bapak istirahat aja. Saya rasa udah cukup. Gak ada yang perlu saya tanyain atau saya bahas sama Bapak lagi.”
“Kamu yakin?”
Sebenarnya, Revina masih menyimpan banyak pertanyaan terkait skripsinya. Namun, berada dalam situasi seperti sekarang—hanya berdua dengan Alan di kamarnya, amat sangat membuatnya tak nyaman. Rasanya begitu berbeda. Bukan seperti dulu, di mana ia terbiasa berkunjung ke rumah Alan dan berbincang bersama di kamar Alan sampai lupa waktu.
“Rev?”
“Eh, iya, Pak.” Revina tersentak keluar dari lamunannya.
“Gimana? Yakin gak ada lagi yang mau dibahas?”
Revina mengangguk pelan. “Kalo gitu saya permisi dulu ya, Pak.”
“Mau ke mana?”
“Saya mau pamit pulang.”
“Seenggaknya tunggu dulu sampe Prita kembali, ya.”
“Tapi, Pak—
“Plis, Rev. Temenin saya sebentar.”
Revina tak mampu merespons lagi. Melihat Revina yang tak jadi pergi dan tetap duduk di sampingnya sudah cukup membuat Alan mengerti kalau Revina mengiyakan keinginannya.
“Makasih, Rev.”
“Oke. Cuma sampe Prita dateng, Pak.”
Mereka berdua bersama, tetapi tetap saling diam. Alan sangat membenci situasi seperti ini. Sementara Revina justru mulai salah tingkah, bingung mau berbuat apa.
Satu kalimat pun memecah keheningan.
“Bunda kamu apa kabar, Rev?” tanya Alan.
Revina yang mau menanggapi, sebelumnya sempat membatin, “Ngapain tiba-tiba dia tanya soal bunda? Sok akrab banget.”
“Bunda baik-baik aja. Memang kenapa, Pak?”
“Em, ya gapapa, sih. Saya cuma tanya aja.”
“Oh.”
“Hm... terus kalo ayah kamu? Masih di luar kota?”
Revina makin tak habis pikir, padahal ia sama sekali tak berminat mengobrol dengan Alan sekarang. Namun, ia tetap berusaha menanggapi.
“Iya. Ayah masih di luar kota. Kemarin teleponan, katanya dia baik-baik aja. Mungkin akhir minggu ini ayah ada rencana pulang.”
“Pasti kamu udah kangen banget sama beliau, ya. Secara kalian jarang banget ketemu. Tinggal jauh-jauhan. Saya aja dulu juga sering banget kangen kamu waktu kita LDR dulu.”
Lagi-lagi, Alan menyisipkan kisah yang sudah lalu. Kali ini, Revina hanya diam. Tak minat membantah atau sekadar merespons. Walau sebenarnya, dari lubuk hati terdalam, ia ingin sekali memberondongkan komentar-komentar pedas.
| “Kalo emang kangen, kenapa gak ada kabar, kenapa gak balik-balik, kenapa punya pacar dianggurin aja. Yakin, beneran kangen, tuh?” | seperti ini misalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomansaRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...