Makan Malam Perdamaian

56 5 0
                                    

Revina mengajak Alan ke meja makan. Di sana, Rosela sudah menunggu dengan beberapa hidangan telah tersaji rapi. Rosela langsung mempersilakan Alan untuk duduk.

“Ayo, Nak Alan, silakan.”

“Eh, iya, Tante.”

“Semoga kamu suka, ya. Tante udah masakin banyak, nih. Ayo, Nak. Makan yang banyak.”

Alan masih agak merasa canggung. Pasalnya, sikap Rosela yang seperti ini sudah lama tak didapatinya. Hari ini serasa begitu istimewa baginya. Disambut dan diperlakukan sangat hangat di rumah mantan kekasihnya.

Mereka bertiga pun mulai menikmati santapan mereka sambil sesekali berbincang.

“Nak, tante mau bilang terima kasih banyak soal kemarin malam. Kalau gak ada kamu, tante gak ngerti lagi, gimana nasib putri tante.”

“Tante Rosela gak perlu berterima kasih. Saya juga gak bisa kalo lihat Revina kenapa-napa. Kebetulan aja semalam saya pas telepon dia. Mungkin, memang Tuhan sengaja kirim saya buat bantu Revina, Tan.”

“Intinya, kamu udah bener-bener berjasa buat kami. Tante tau, sebelum ini tante sering bersikap kurang baik ke kamu. Untuk hal itu, tante minta maaf, ya.”

“Gak masalah, kok, Tante. Saya paham kenapa Tante bersikap begitu. Harusnya memang saya yang banyak-banyak minta maaf ke Tante dan Revina. Saya pun nyesel atas apa yang udah terjadi. Atas kelalaian saya ninggalin Revina selama itu.”

“Untuk sekarang ini, mungkin tante akan coba lebih mengerti. Mungkin memang udah jalannya harus begitu. Tante tau juga, sebenernya Nak Alan itu pria yang baik.”

“Makasih, Tante. Em, tapi, Tan, semisal suatu saat nanti saya bisa kembali lagi bersama Revina, apa Tante gak keberatan?”

Sepertinya Alan memang tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk gerak cepat. Baru saja berdamai dengan bunda Revina, Alan sudah langsung membahas tentang hubungan yang ingin ia kembalikan. Mendengar pernyataan Alan tadi, Revina yang semula fokus dengan piringnya, kini beralih menatap tajam ke arah sang dosen.

“Kalo soal itu, tante gak bisa bilang apa-apa. Tante terserah sama Vina-nya aja. Buat tante, yang terpenting Vina bahagia dan terlindungi.”

“Saya pasti akan selalu jaga dan bahagiain Vina, kok, Tan. Karena saya sayang sama dia.”

“Tapi, mungkin gak bisa semudah itu, Nak. Apalagi sekarang Vina udah ada Irsyad. Nak Irsyad pun gak akan semudah itu buat lepasin Vina.”

“Kalo soal Irsyad, itu biar jadi urusan saya, Tan. Buat saya, yang terpenting itu restu dari Tante Rosela dulu.”

Revina yang dari tadi diam dan hanya jadi pendengar setia seketika mulai angkat bicara.

“Ehem, bisa gak, Bunda sama Pak Alan gak bahas soal itu dulu?”

“Kenapa, sih, Vin? Kan bunda cuma bicara sama Nak Alan.”

“Ya, gak gitu, Bun. Cuma ... lagi pengin fokus makan aja.”

“Kenapa, Rev? Saya buat kamu makin dilema, ya?”

Langsung saja Revina menginjak kaki Alan di bawah meja hingga Alan memekik kesakitan.

“Auww!”

“Eh, Nak Alan kenapa?”

“Ehe-he, gapapa, Tante. Tiba-tiba kaki saya kram,” kilah Alan.

Mereka melanjutkan makan malam mereka sampai semua lauk habis tak tersisa.

“Sekali lagi makasih banyak, Tante, atas undangan makan malemnya. Masakan Tante masih gak berubah. Selalu lezat seperti dulu,” puji Alan.

“Sama-sama, Nak. Makasih juga udah mau luangin waktu kemari sampe ngasih bimbingan skripsi buat Vina di sini. O ya, tadi udah selesai? Atau mau dilanjut lagi bimbingannya?”

“Udah, kok, Bun. Belum ada yang mau kutanyain lagi ke Pak Alan.”

“Iya, Tante. Mungkin cukup dulu buat bimbingannya hari ini. Kalo besok-besok Vina mau bimbingan di rumah aja juga gak masalah. Saya selalu bisa sempetin ke sini.”

“Gak, Nak. Mungkin itu terlalu merepotkan buat Nak Alan. Tadi tante udah bilang sama dia, besok-besok dia gak perlu takut keluar rumah lagi. Harus berani dan bisa lupain yang kemarin.”

“Em, ya, Bunda kamu bener, Rev. Atau, kalo kamu pengin ngerasa aman, saya siap anter-jemput kapan pun dan ke mana pun, kok. Jadi, kamu gak perlu cemas lagi.”

“Gak perlu repot-repot begitu, Pak.”

“Sama sekali gak merepotkan bagi saya, Rev.”

“Vina, gapapa dong, kalo Alan-nya juga gak keberatan. Dengan begitu, bunda juga jadi ngerasa lebih tenang karena ada Nak Alan yang bisa jaga kamu.”

Benar-benar super sekali. Dari yang tadinya membangga-banggakan Irsyad sebagai calon menantu idaman satu-satunya, kini pun bersikap begitu manis pada sang mantan kekasih putrinya seperti ia baru diloloskan menjadi kandidat calon menantu selanjutnya.

Alan berpamitan setelah dirasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Setelah Alan pergi, Revina langsung mempertanyakan sikap bundanya tadi.

“Bun, sekarang Bunda baik banget sama Pak Alan, ya.”

“Karena dia juga pria yang baik, Vin.”

“Jadi, beneran, nih, Bunda udah gak kesel lagi sama dia? Sekarang jadi suka sama dia?”

“Kamu lihat sendiri tadi kan, Sayang? Kami udah resmi berdamai. Gak ada gunanya juga bunda terus-terus kesel sama dia. Dan ... kalo dilihat-lihat, sebenernya Nak Alan itu memang gak ada kurangnya kan, Vin. Tampan iya, baik, sopan, mapan pula. Masih cocoklah sama kamu.”

“Apa? Bunda yang bener aja. Terus Irsyad gimana?”

“Bunda lagi males bahas dia, Vin.”

“Bun, kejadian semalem juga bukan sepenuhnya salah Irsyad, kan? Dia pun gak tau apa-apa.”

“Vina, bunda ngerti. Dalam hubungan, entah masih pacaran sekalipun, berantem-berantem kecil itu biasa. Tapi, sebagai laki-laki, dia pun harusnya punya jiwa yang bijak. Gak perlu ngambek lama-lama apalagi masalahnya cuma salah paham. Masa' gak ada gentle-gentlenya sama sekali, biarin perempuan pulang sendiri malem-malem. Meski lagi berantem, kamu masih pacarnya, loh. Apa gak ada sedikitpun rasa khawatir di benaknya? Bunda masih inget, dulu waktu kamu masih pacaran sama Alan, kalian pun beberapa kali marahan, berantem, ngambek-ngambekan, tapi Alan tetep jaga kamu. Dia tetep selalu berusaha nemenin kamu walau ujungnya cuma diem-dieman,” oceh Rosela panjang kali lebar.

Nah, mulailah sudah. Bunda Revina kini membanding-bandingkan Irsyad dengan Alan. Kalau biasanya Alan selalu berada di sisi negatifnya, kali ini Irsyad yang menggantikan posisinya. Apa pun itu, rasanya memang emak-emak selalu benar.

Sementara itu, Alan yang baru akan pulang dari rumah Revina justru dihadang oleh Irsyad di depan. Ternyata, Irsyad masih setia menunggu di luar sedari tadi. Ia ingin menghilangkan rasa penasarannya akan sikap bunda Revina yang berubah drastis.

“Pak.”

“Ternyata kamu masih di sini.”

“Saya mau bicara sama Bapak.”

“Bicara? Soal apa? Eits, tunggu. Kalo mau bicara dengan saya, jangan di sini. Saya gak mau Revina sama bundanya terganggu. Kita bisa cari tempat yang agak jauh dari sini.”

Irsyad menuruti kemauan Alan. Mobil Alan pun melaju dengan diikuti mobil Irsyad di belakangnya.

Tak ada yang bisa menjamin pembicaraan mereka kali ini tanpa disisipi emosi.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang