Revina merasa malu, Caca terus saja meledeknya akibat panggilan Alan di telepon tadi.
“Aduh, Rev, udahlah. Percaya seratus persen sama aku, kalian pasti balikan, kok. Aku berani jamin. Apalagi kalo tau ternyata si Pak Dosen sebucin itu. He-he-heh.”
“Apaan sih, Ca? Pokoknya gak mau dan gak akan! Udah deh, jangan dibahas lagi, Ca. Jangan ngerusak nafsu makan aku sekarang. Nih, nasi aku masih banyak, loh.”
“Oke-okeh, dilanjut dulu makannya, ya, Jodoh Pak Alan Tersayang. Eh—ups!” Caca masih saja sengaja.
“CACAAA! Nyebelin banget. Di sini rame, tau. Aku gak mau jadi bahan gosipan.”
“Lah, dipikir gak dari kemarin-kemarin? Satu kampus bahkan kayaknya udah tau gimana hubungan pasangan dosen-mahasiswi yang paling fenomenal itu, Rev.”
“Caca temen aku bukan, sih? Sebel, deh. Seneng banget kayaknya kalo aku jadi omongan orang.”
“Iya-iya, Revina Cantik. Jangan ngambek, dong. Maaf deh, ya. Dah yuk, lanjut-lanjut. Tuh, ntar ayamnya diambil orang, loh.”
Revina tahu kalau Caca hanya bercanda. Namun, ia tetap kesal jika diledek seperti itu. Jujur saja, dengan menjadi bahan gosipan di kampus, itu bukan hal yang cukup baik dan sederhana saja. Mengingat anak-anak kampus juga sudah mengetahui hubungan Revina dengan Irsyad. Bila mereka mendengar kedekatan Revina dengan sang dosen yang merupakan mantannya, tentu ada saja yang mengecap anggapan yang tidak-tidak tentang Revina. Padahal Revina sama sekali tak suka mempermainkan perasaan para pria.
Selesai dengan makan siangnya, Revina langsung masuk kelas untuk mengikuti mata kuliah perbaikan. Sementara Caca tentu langsung pulang karena tak ada urusan lain lagi di kampus. Revina sampai hampir melupakan janjinya untuk menelepon balik Alan. Benar saja, si mantan bucin yang tak sabaran menunggu, kembali meneror Revina dengan chat.
>> Pak Alan
[ Rev? Kok lama? Katanya mau telepon balik? ]
Revina masih berada di kelas. Karena seperti biasa, mahasiswa perbaikan selalu duduk di bangku deretan belakang, Revina masih bisa sesekali mengecek ponselnya.
“Nih orang, gak tau orang masih di kelas, apa! Gak sabaran banget. Ntar juga bisa, kan. Pengin banget ditelepon nih, si dosen alay,” batin Revina.
>> Revina
[ Nanti, Pak. Masih kelas. ]
>> Pak Alan
[ Beneran apa bohong? Kalo masih kelas, kok bisa pegang hp dan bales chat saya? Kamu tuh bandel, ya. Gak perhatikan dosen di depan, malah main hp. Siapa dosen yang ngajar kamu sekarang? Nanti kamu saya laporin, loh. ]
>> Revina
[ Makanya, gak usah chat terus, Pak. Bapak yang bikin saya gak fokus ikut kelas. ]
>> Pak Alan
[ Jadi, saya semudah itu ngalihin fokus kamu, ya? Memang lebih seru nanggepin saya daripada lihatin dosen yang sekarang ngajar di depan, sih. Ya, kan? Gak usah jaim-jaim, deh, Jodohku. ]
>> Revina
[ Eh, say— ]
Revina belum sempat menyelesaikan ketikannya. Ia tak sadar kalau pesannya sudah terkirim. Baru saja, ia tersentak sebab panggilan bariton dari sang dosen sepuh pria yang tengah menjelaskan materi di depan.
“Itu, mbak senior di belakang, yang dari tadi tidak memperhatikan dan malah sibuk sendiri, silakan ke depan, kerjakan soal di papan tulis ini dengan cara lengkap!” suruh sang dosen.
Walau dosen tersebut tak menyebutkan nama Revina, Revina tahu benar yang dimaksud memang dirinya. Lantas, siapa lagi? Di sekitarnya tak ada tersangka lain. Kebanyakan senior yang ikut perbaikan di kelas itu adalah laki-laki. Sedangkan yang perempuan, hanya ada Revina dan satu orang lainnya. Lagi pula, mustahil jika yang dimaksud dosen itu adalah perempuan yang satunya, sebab mahasiswi itu duduk di deretan tengah dan sedari tadi mencermati materi dosen dengan saksama.
Revina pun maju sesuai perintah dosennya. Beruntung, ia cukup memahami bagaimana cara pengerjaan soal yang diberikan sang dosen. Ia bisa mengerjakan dengan cukup lancar. Jika saja keberuntungan itu tak berpihak padanya dan kebetulan soal itu terasa sulit baginya, sudah pasti Revina akan habis dimaki-maki dosen sepuh tersebut.
“Ya, jawaban kamu tepat. Tapi, walau kamu sudah merasa bisa dan hanya ingin perbaikan nilai, kamu juga tidak boleh menyepelekan dosen yang berbicara di depan. Saya merasa tidak dihargai,” nasihat sang dosen.
“Baik, Pak. Saya mohon maaf.”
“Kamu sedang chatting dengan siapa tadi? Sampai mengalihkan fokus kamu dari mata kuliah.”
“Mampus,” umpat Revina dalam hati.
“Mbak? Apa itu sangat penting?”
“Ah, bukan, Pak. Tadi itu dosen—dosen bimbingan skripsi saya.” Revina pun keceplosan jujur.
“Mau urus skripsi juga ada waktunya, kan? Kalau sedang kelas ya fokus kelas dulu. Sudah tingkat akhir kok masih gagal paham juga.”
Mahasiswa lainnya yang kebanyakan adalah adik tingkatnya mulai berbisik-bisik. Ada pula beberapa sorakan terdengar untuk Revina. Sepertinya mereka memang senang seniornya dipermalukan di depan.
“Tak OSPEK lagi baru tau rasa kalian,” gumam Revina dalam hati.
Tiba-tiba, ada salah satu mahasiswa sesama senior yang asal celetuk. “Dosbing? Dosbing apa mantan pacar?” Sepertinya suara itu berasal dari lelaki yang selalu update dengan kabar terkini di kampus.
“Sama aja, Oon! Udah tau begitu, pake nanya!” Ingin Revina mengucap begini, tetapi tetap saja tak sampai.
“Sudah-sudah! Semuanya tenang! Silakan, Mbak bisa kembali duduk. Jangan diulangi lagi! Walau saya dan materi saya tak semenarik mantan pacar kamu,” ujar sang dosen.
Revina hanya mengangguk, menunduk, berjalan kembali ke tempat duduk.
Ia memutuskan untuk fokus memperhatikan dosen di depan. Tak berani menyentuh ponselnya lagi untuk saat ini. Walau ia tahu, ada balasan dari Alan yang belum dibacanya.
>> Pak Alan
[ Kenapa, Say? Kamu sekarang mau panggil saya ‘say’ aja? Terus kamu maunya saya sebutnya apa? ‘Say' juga? Atau, ‘Ay’, ‘Yang’, ‘Sayang’, ‘Ayang'? Yang mana? Pilih aja. Atau mau tetep dipanggil ‘Jodoh’ aja? ]
Jika Revina sudah membacanya, mungkin bisa-bisa ia ingin melempar ponselnya saja.
Satu jam kemudian, kelas baru usai. Revina langsung keluar dari kelas setelah sang dosen meninggalkan tempat. Ia tak peduli, setelah ini pasti ia akan tetap jadi bahan pembicaraan rekan-rekan di kelasnya. Itu konsekuensi atas kelalaiannya tadi.
Di luar kelas, Revina terbelalak begitu membaca chat terakhir Alan tadi. Langsung saja ia menelepon si penyebab ia dipermalukan di kelas. Tak sampai satu menit, suara Alan langsung terdengar.
“Halo. Akhirnya. Gimana? Udah tau mau pilih yang mana?”
“Hah? Apa yang—
“Panggilan saya. Mau yang mana?”
“Eh, Pak! Tadi itu saya belum selesai ngetiknya. Bukan mau sebut Bapak ‘say’, cukup jelas?”
“Hmm. Mau bilang ‘say’ juga gapapa, kok. Btw, kenapa sampe grogi gitu? Sampe asal kirim.”
“Gara-gara Bapak, tuh. Gara-gara chattingan sama Bapak, saya ditegur dosen sampe dipermaluin di depan anak-anak di kelas.”
“Ha-ha. Mampus! Makanya ... kamu bandel, sih.”
“Hihh, andai Bapak di depan saya sekarang, rasanya pengin saya jambakin rambut Bapak,” kesal Revina.
“Jangan kasar begitu, Sayang. Ntar dulu, sabar, ya. Nunggu kita sah dulu, nanti kamu bisa puas jambakin saya di kamar. Oke?”
“OH MY GOD! ASTAGA, PAK!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomansaRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...