Deal!

61 2 0
                                    

Esok harinya, Alan membulatkan tekadnya untuk menemui Irsyad. Ia hanya ingin memperjelas urusan mereka. Apalagi, mengetahui Revina sangat sedih kemarin akibat amarah kecemburuan Irsyad.

Alan meminta nomor ponsel Irsyad pada Prita. Prita pun awalnya heran, untuk apa kakak sepupunya meminta nomor pria yang jadi saingan dan penghalang bagi cintanya.

“Kakak ngapain minta-minta nomor Kak Irsyad?”

“Kakak ada urusan sama dia. Jadi, kakak harus hubungin dia buat ajak ketemuan.”

“Ini soal Kak Revi, ya? Atau ... Kak Alan mau ribut sama tuh pacarnya Kak Revi?”

“Bukan mau cari ribut, Ta. Kakak juga bukan anak kecil lagi, kan. Selesaikan urusan juga bisa pake cara lain, kan.”

“Hmm, kirain. Ya, kan aku jadi khawatir juga kalo Kakak mau berantem sama dia.”

“Kamu khawatirin kakak atau khawatirin dia?”

“Astaga. Ya jelas khawatir sama Kakak, lah. Yang kakak aku itu Kak Alan apa Kak Irsyad?”

“Oh. Bener, nih? Kirain kan, bisa aja kamu udah mulai baper beneran sama dia. Makanya, kamu jadi takut kalo dia kenapa-napa.”

“Gak akan lah, Kak. Ya udah, kukirim kontak Kak Irsyad ke WA Kakak, ya.”

“Oke. Thank you, Ta.”

Karena tak ingin basa-basi, begitu mendapatkan kontak Irsyad, Alan langsung meneleponnya siang ini juga.

Irsyad yang sedang melanjutkan pekerjaannya di kost harus mengalihkan tatapannya sejenak dari layar laptopnya. Dering ponselnya membuatnya penasaran. Terlebih, yang tampak di layar ponselnya adalah sebuah nomor tak dikenal. Langsung saja, ia menjawab panggilan itu.

“Halo, maaf ini dengan siapa?”

“Ini saya. Pria yang bikin kamu gak percaya diri.”

Dari nada suaranya, Irsyad sudah bisa mengenali bahwa itu adalah Alan.

“Anda? Ngapain Anda telepon saya?”

“Saya perlu bicara empat mata sama kamu. Temuin saya di kafe deket kampus. Saya on the way ke sana sekarang.”

“Apa pentingnya saya ketemu Bapak?”

“Terserah kamu, saya tetep tunggu di sana. Kalo sampe satu jam kamu gak datang, itu berarti kamu pengecut, takut nemuin saya. Urusan saya sama kamu, gak ada yang lain, selain soal Revina.”

“Saya bakal dateng.”

Pembicaraan mereka di telepon berakhir dengan cukup singkat. Mungkin versi panjangnya akan terlihat kala mereka bertemu di kafe nanti.

Alan sampai di kafe lebih dulu. Ia langsung mencari satu meja kosong dan memesan kopi untuk menemaninya menunggu sang rival.

Irsyad masih dalam perjalanan. Mendengar Alan menyinggung soal Revina tadi, Irsyad tak bisa jika tak datang. Walau sebenarnya ia sangat malas menjumpai wajah sang mantan kekasih Revina itu.

Tak sampai tiga puluh menit kemudian, Irsyad tiba di kafe yang dimaksud Alan. Dari pintu, Irsyad langsung bisa menemukan di mana dosen itu berada. Ia pun langsung mendekat ke arahnya.

“Apa yang mau Anda bicarakan?” tembak Irsyad tanpa basa-basi.

“Duduklah dulu. Kenapa terlalu terburu-buru? Pesan minum dulu. Mungkin setelah ini, tenggorokan kamu kering dan pembicaraan kita buat kamu gerah.”

“Saya gak perlu basa-basi lagi, Pak. Saya males, terlalu lama ada di hadapan Bapak.”

“Hahh. Well, saya cuma ingin memperjelas sesuatu.”

“Maksudnya?”

“Kamu sendiri udah tau, niat saya buat perjuangin Revina agar saya bisa kembali bersama dia seperti dulu, kan?”

“Langsung aja.”

“Oke. Jadi, bisa kan, urusan ini cuma di antara kita? Kenapa kamu harus sudutin Revina juga di sini? Saya gak suka dan gak terima kalo kamu buat dia sedih, dengan marah-marah gak jelas hanya karena tau Revina habis jalan sama saya atau semakin deket sama saya.”

“Apa Revina ngadu ke Bapak?”

“Bukan ngadu. Lebih tepatnya, saya yang paksa dia ngaku. Awalnya, dia bahkan teriakin saya, minta saya buat gak ganggu dia lagi. Asal kamu tau, selama ini, dia selalu berusaha mati-matian buat jaga perasaan kamu. Tapi, saya yang gak pernah nyerah buat terus kejar dan usik dia. Dan ... semudah itu kamu terpengaruh sampe ngerasa gak percaya sama dia. Ya ampun, Irsyad. Mana bisa, sih, saya biarin Revina bersama lelaki macam kamu?”

“Bapak emang sengaja buat kami renggang. Bapak yang sengaja mau berantakin hubungan kami.”

“Udah jelas. Itu memang yang saya mau. Dan, nyatanya, kamu kayak mempermudah niat saya. So far, jujur saya justru bersyukur kalo ada keributan antara kamu sama Revi. Saya cuma gak terima aja, dia sedih sampe segitunya, nangisin cowok gak gentle kayak kamu.”

“Harusnya Bapak yang tau diri. Mau sampe kapan usik hubungan orang?”

“Problem kamu apa, Irsyad? Setiap hubungan udah pasti punya tantangannya masing-masing. Anggaplah saya tantangannya. Lalu, harusnya kamu bisa bersikap semestinya, kan? Mau saya berhasil atau gak, sebenernya itu juga ada andil kamu.”

“Intinya, Bapak mestinya stop! Berhenti usik Revina! Revina sekarang kekasih saya.”

“Sekarang? Belum ada jaminan juga bakal langgeng seterusnya, kan? Apalagi, belum apa-apa, kamu udah marah-marah kebakar api cemburu. Sekalipun kamu pacarnya sekarang, kamu tetep gak ada hak buat stop perjuangan saya.”

“PAK ALAN—

“Pelankan suara kamu. Gak perlu kayak bocah di sini. Ini tempat umum. Saya pun gak mau buat keributan dan ngerusak citra baik saya sebagai dosen. Kita bisa selesaikan urusan ini dengan cara yang lebih dewasa.”

“Anda sadar gak sih sama perbuatan Anda selama ini?”

“Why? Tentu sadar. Kenapa Irsyad? Saya lihat justru makin lama kepercayaan diri kamu makin berkurang. Kamu terlalu takut Revina berpaling ke saya, karena usaha saya semakin meyakinkan, bukan?” Alan menyeruput kopinya dengan santai.

Ingin rasanya Irsyad menggebrak meja, mengobrak-abrik seisi kafe, dan langsung menghabisi pria pemancing emosi di hadapannya saat ini. Bicara dengan Alan membuatnya amat frustrasi. Sementara Alan terlihat begitu tenang menyampaikan kritikan demi kritikan.

“Kamu kehabisan kata-kata?” lanjut Alan.

“Anda buat saya hampir hilang kesabaran.”

“Ha-ha. Irsyad-Irsyad. Bisa kan, kita bersaing secara sehat? Dan biarkan Revina bebas memilih apa yang jadi keputusannya. Urusan siapa yang akan seterusnya bersama dia, biar dia yang tentukan. Atau, kamu bener-bener takut Revina lebih pilih saya?”

“Dia udah janji gak akan buat saya kecewa.”

“Buktinya, kamu gak percaya lagi sama janjinya, kan.”

“Bukan seperti itu. Saya hanya terbawa emosi. Saya pun gak bisa sungguh-sungguh marah sama dia.”

“Hmm. Lumayan juga kamu. Kelewat cinta sama dia? Tapi, mungkin itu belum sebesar perasaan saya. Jadi, jangan pernah permasalahkan keputusan Revina. Apa pun yang dia mau, dia bebas memilih. Gak ada satu pun dari kita yang berhak sudutin dia. Biarkan dia ikuti kata hatinya. Kita bersaing secara sehat? Deal?” Alan mengulurkan tangannya agar Irsyad bisa menjabat tangannya dan menyetujui persaingan sehat di antara mereka.

Walau awalnya agak ragu, Irsyad akhirnya mau menjabat tangan Alan juga.

“Deal!”

Pertemuan mereka berakhir sesuai keinginan Alan.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang