Menjaga Kewarasan

79 0 0
                                    

Langkah demi langkah dilalui Revina bersama Alan. Jarang-jarang mereka bisa berjalan beriringan seperti ini setelah meresmikan status menjadi mantan. Revina kini diam saja. Ia sudah terlalu lelah kalah telak mendebat Alan. Alan pun seperti tak kehabisan akal. Ia selalu bisa menarik perhatian Revina hingga gadis itu mesti membalas ocehannya.

“Coba kita bisa sering-sering kayak gini lagi, ya. Kangen banget rasanya.”

“Just in your dream, Pak.”

“Bermimpi itu gak ada salahnya, Rev. Hidup kan mesti punya tujuan. Bener, kan?”

“Ya asalkan gak ambil jalan yang sesat aja.”

Tiba-tiba, kaki Revina tergelincir. Jalan setapak yang ia lalui bersama Alan memang agak licin. Beruntung, Alan ada di sisinya. Tak mungkin ia membiarkan gadis yang selalu disebut-sebutnya sebagai ‘jodoh’ terjatuh karena terpleset. Dengan satu gerakan refleks, Alan berhasil menopang tubuh Revina. Terciptalah posisi yang membuat mereka dapat saling menatap dengan intens. Degup-degup tak biasa, berirama di antara mereka.

Alan masih enggan melepaskan Revina dari tangannya.

“Hati-hati, Rev. Saya gak mau jodoh saya sampe lecet.”

“Pak—

“Kamu tuh kayaknya suka banget kepleset waktu di deket saya, ya. Sengaja biar saya tangkep gitu?”

“Ih, gak usah asal ngomong, Pak. Yang ada tuh, saya selalu sial kalo di deket Bapak.” Revina memaksa melepaskan diri dari tangkapan Alan.

“Hmm. Gitu, ya? Kalo sengaja, sebenernya juga gapapa, kok. Saya selalu siap buat tangkep kamu.”

“Sayanya yang ogah ditangkep Bapak.”

“Mungkin kamu kualat, Rev. Tadi bilang-bilang sesat.”

“Yang sesat Bapak, kok saya yang kualat?”

“Itu yang namanya jodoh. Saling melengkapi. Tapi, omong-omong, saya sesat di bagian mana?”

“Ya Pak Alan itu suka ambil jalan yang sesat. Udah tau saya udah punya pacar, masih aja dipepet mulu. Itu yang namanya sesat, Pak.”

“Baru pacar, kan? Kecuali saya deketin istri orang, itu baru sesat. Saya tuh yakin, Rev, pacar kamu yang sekarang ini, cuma lagi jagain jodoh orang lain—kamu—jodoh saya.”

“Bisa gila saya lama-lama, kalo ngobrol sama Bapak mulu.”

“Segila apa pun kamu, saya tetep gak akan ill feel, kok. Jangan cemas.”

Revina berjalan lebih cepat, mendahului langkah Alan.

“Rev, mau ke mana? Kenapa buru-buru, sih?”

“MAU JAGA KEWARASAN, PAK!” teriak Revina dari jauh.

Kegiatan hangout mereka pun berlanjut dengan makan-makan bersama sambil bercengkerama di pendopo. Lagi-lagi, Alan tak mau hilang kesempatan. Ia langsung sigap mengambil posisi duduk persis di samping Revina. Revina hampir beranjak ingin pindah posisi, tetapi tangan Alan menahan niatnya.

“Hei, udahlah, jangan pindah-pindah, Rev. Itu gak baik.”

“Justru kalo sebelahan sama Bapak, itu gak baik buat kesehatan mental saya.”

“Jangan begitu. Jadi jodoh saya itu gak boleh jutek-jutek. Udah, duduk yang tenang aja ngapa? Saya gak akan mesum mau grepe-grepe kamu, jadi gak perlu khawatir. Kecuali, alasan kamu gak mau deket-deket saya itu karena kamu takut salting.”

“Ha-ha. Astaga, Bapak. Tolong, jangan kelewat pede begitu. Ngapain juga salting gara-gara Bapak? That's un-faedah.”

Revina tetap stay di tempat sebelumnya—di samping Alan.

Beragam hidangan lezat telah tersaji di hadapan mereka. Konsep makan lesehan ini benar-benar lebih terkesan mengakrabkan satu sama lain. Mereka menikmati makanan sambil sesekali melontarkan beragam candaan. Suasana begitu hangat.

“Jangan makan sea food, ya, Jodoh. Inget, ntar kamu alergi lagi, loh.”

“Bapak juga, jangan sampe makan kacang lagi. Ntar kambuh alerginya, bikin repot lagi.”

“Kalian ini sweet banget, ya. Udah jadi mantan, masih saling ingetin alergi satu sama lain. Andai aku sama mantanku bisa begitu juga,” celetuk salah satu mahasiswi yang duduk tak jauh dari Alan dan Revina.

“Gak usah iri, Sin. Maklum, lah. Revina itu mahasiswi bimbingan yang paling istimewa buat Pak Alan. Ya kan, Pak?” sergah Caca.

“A+ buat kamu, Ca,” balas Alan.

“Hm, jangan-jangan skripsi Revina dibantuin bikinnya sama Pak Alan, nih.”

“Ya, memang dia harusnya bantuin kita semua kan, Ca? Kan itu fungsinya dosen pem-bim-bing,” sahut Revina.

“Bukan. Maksudnya, gak cuma dibimbing, tapi dikerjain langsung sama Pak Alannya.”

“Heh, enak aja! Gak—

“Tadinya saya juga tawarin dia begitu, Ca. Saya bilang akan bantu selesaikan skripsinya dengan syarat dia mau kencan sama saya. Tapi, ya gitu. Dia terlalu jual mahal. Saya ditolak mentah-mentah, dong,” tukas Alan.

Revina tak habis pikir, mengapa dosen bucin itu bisa membongkar hal itu di depan teman-temannya.

“Pak Alan serius? Wah, Rev, keterlaluan, deh. Kurang enak apa coba? Skripsi mau dibikinin, diajak kencan pula. Malah nolak rezeki.”

“Rezeki? Kalo kamu mau, mending kamu aja yang ngajuin diri, Ca,” sungut Revina.

“Gak bisa dong, Rev. Penawaran spesial saya itu cuma buat kamu.” Lagi-lagi Alan membuat mahasiswi lainnya baper sekaligus iri pada Revina.

Di sela-sela kegiatan makan mereka, Alan terus menunjukkan perhatiannya pada Revina. Mengambilkan beberapa lauk untuknya, membantunya minum saat Revina tiba-tiba tersedak, mengelap dengan tisu ketika mulut Revina belepotan saat makan, hingga memperhatikan apa yang boleh dan tak boleh untuk disantapnya. Revina merasa sangat diistimewakan.

Ada saja yang iseng mengambil potret keuwuan Alan dan Revina secara diam-diam.

“Hm. Kalo aku post ini, bisa jadi hot trending topik kampus, nih.”

“Heh, Alin, jangan coba-coba bikin gosip baru, ya,” seru Revina.

“Saya suka kok Rev, kalo digosipin sama kamu.”

“Ini lagi. Emang dasarnya Bapak udah gila. Ya mau digimanain lagi.”

“Eh, kamu penasaran sama hasil vote di postingan saya waktu itu, gak?”

“Gak peduli juga sih, Pak.”

“Saya menang telak loh, Rev. Lebih banyak yang bilang kamu lebih cocok sama saya.”

“Bodo amat.”

Setelah Alan menyampaikan sambutan sekaligus ucapan terima kasih sebagai penutup, mereka bersiap untuk meninggalkan lokasi wisata dan pulang ke rumah masing-masing. Alan menawarkan agar Revina ikut satu mobil saja dengannya. Namun, yang namanya Revina, tak kan semudah itu menerima ajakan Alan.

“Saya mau satu bus sama yang lain aja, Pak. Saya males satu mobil sama Bapak,” tegas Revina.

“Kamu ini memang susah, ya, kalo mau dibaikin.”

“Saya gak minat sama kebaikan Bapak, sih. Permisi, Pak.”

***

Malam harinya, di rumah, Revina mengerjakan skripsinya sembari melamun. Entahlah, mengapa ia jadi terus terbayang akan moment kebersamaannya dengan Alan hari ini? Apakah ia menyukai kala diistimewakan oleh dosen pembimbingnya? Jangan-jangan, hatinya mulai luluh dan takluk atas gempuran perhatian dari Alan?

“Oh, God! Kenapa sih kamu, Rev? Ngapain jadi kebayang tingkah tuh dosen terus, sih? No, Rev. Stop! Jangan sampe ikutan gila. Masih ada Irsyad yang percaya kamu selalu. Jangan buat dia kecewa,” racau Revina sendiri.

Revina menutup laptopnya. Mungkin pikirnya ia hanya sedang butuh istirahat untuk saat ini supaya pikirannya lebih jernih.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang