Sambil Seminar, Modus Berlayar

112 1 0
                                    

Revina memasuki sebuah ruangan di gedung besar kampus, tempat diadakannya acara seminar hari ini. Kedatangan Revina ke ruangan ini sebenarnya tak lepas dari campur tangan Alan.

*chat Alan semalam

| Rev, kamu udah lihat broadcast banner dari saya, kan? Seminarnya cukup menarik. Temanya related banget sama penelitian skripsi kamu. Kalo kamu bisa dateng besok, mungkin bisa nambah wawasan sekaligus inspirasi buat bikin bab 4. |

Semalam Alan mengirimkan informasi tentang seminar gratis dari salah satu guru besar di kampusnya. Alan merasa tema seminar itu berhubungan dengan penelitian Revina. Selain membantu mahasiswi bimbingannya, sebenarnya Alan juga berharap ada dampak lain dari adanya acara seminar ini, bagi hubungannya dengan Revina. Hanya Alan yang memahami ‘maksud lain' itu.

Revina pun tertarik untuk datang. Siapa tahu ini bisa sedikit berguna untuk skripsinya, seperti kata Alan. Ia mencari bangku yang kosong, yang ia rasa cukup strategis untuk menyimak pemaparan sang guru besar. Ia pun mulai antusias dengan materinya, walau sebenarnya pagi tadi ia merasa kondisinya kurang baik. Sepertinya ia tidak enak badan—sedang kurang sehat, tetapi itulah Revina ... ia masih bisa mengabaikannya karena ia pikir itu tak kan berdampak fatal—hanya sakit ringan biasa.

Baru sekitar sepuluh menit Revina duduk tenang dalam seminar, Alan yang sedari tadi duduk di barisan belakang kini sengaja berpindah duduk di bangku persis di sebelah Revina yang kebetulan masih kosong. Alan tentu tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendekati mantan terindahnya begitu melihat ia ada di sana juga.

“Hai, Rev,” sapa Alan sembari duduk.

Revina sempat kaget melihat si dosen pembimbing ada di sampingnya sekarang. Namun, ia tak mungkin langsung berdebat heboh dengan Alan di sana. Bagaimanapun, ia masih paham etika untuk menghormati jalannya seminar.

“Ternyata kamu dateng juga, ya. Saya kira kamu gak mau karena saya yang ngajakin,” lanjut Alan dengan memelankan suaranya.

Akhirnya, mereka yang dulu pernah jadi sepasang itu malah mengobrol—lebih tepatnya dengan setengah berbisik, agar tak sampai mengganggu pembicara dan audience yang lain.

“Saya ke sini karena memang tertarik sama tema seminarnya. Bukan karena Bapak,” sahut Revina.

“Ya terserah lah, yang penting tetep aja saya yang ngajak. By the way, saya spesial cuma ajak kamu doang, loh. Mahasiswa bimbingan saya yang lain gak saya share info seminar ini meski ada beberapa dari mereka yang punya topik hampir serupa.”

“Hmm, yah, begitulah. Paham banget udah, dosen gak profesional, pilih kasih.”

“Ya gimana lagi, Rev? Nyatanya, kasih sayang sejati saya memang hanya buat kamu. Gak bisa saya bagi ke yang lain.”

“Plis, saya gak mau muntah di sini, Pak. Em, nah, si Bapak sendiri ngapain di sini? Sengaja banget nungguin saya, pengin ketemu saya? Pede banget kalo saya bakal dateng, yah!”

“Kan kita sehati, pasti pede lah saya. Tapi, Rev, saya pun ke sini juga beneran pengin nyimak materinya, kok. Meski saya udah jadi dosen, tetep butuh ilmu dan wawasan lebih luas, dong.”

“Oke, beneran niat mau nyimak, kan? Ya udah, fokus dengerin materinya aja! Gak usah ngajak ngobrol dan ganggu saya mulu! Saya pun mau nyimak, Pak.”

“Hm, siapp, Nyonya.”

Mereka kembali fokus menyimak materinya. Revina tak lupa mencatat hal-hal penting dalam buku catatan yang sudah ia bawa. Ia pun tertarik memperhatikan sesi tanya-jawab audience dengan pembicara.

“Gak mau tanya juga, Rev?” tanya Alan.

Revina menggeleng pelan. “Saya cukup nyimak aja, Pak. Dari tanya-jawab mereka pun saya bisa dapet beberapa poin penting, ilmu baru.”

“Kalo gak berani, bilang aja ke saya apa yang pengin kamu tanyain. Biar nanti saya yang sampaikan.”

“Gak perlu, deh. Makasih, Pak.”

“Baiklah.” Seketika pandangan Alan jatuh ke buku catatan yang Revina gunakan untuk mencatat materi dari tadi. “Eh, ciee, journal dari saya akhirnya dipake juga,” seru Alan.

“Hah? Ini ... em, ya suka-suka saya dong, Pak. Lagian ini udah jadi milik saya, kan. Kecuali kalo yang ngasih gak ikhlas, sih. Tadi tuh saya buru-buru beberes sebelum ke sini, cuma ini yang geletak di meja dan mudah dijangkau.”

“Hey, gak usah dijelasin juga, napa. Saya ikhlas, kok, ngasihnya. Ikhlas banget. Itu udah jadi milik kamu seutuhnya. Hm, gak mau sekalian sama yang ngasih juga, kamu jadiin milik kamu lagi?”

“Apa, ya? Kayak ada yang ngomong, tapi kok—

Revina pura-pura tak mendengar Alan sembari menengok kanan-kiri.

“Hilih, pake pura-pura gak denger. Awas loh, ntar beneran baper lagi sama saya.”

Merasa Revina tak mau meresponsnya, Alan pun tak ambil pusing. Kini sang dosen kembali fokus ke pembicara sembari mengajukan diri untuk menyampaikan beberapa pertanyaan.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang Alan sampaikan, jujur Revina sempat terkagum. Ia mengakui dosennya itu memang cerdas dan berpikiran luas, melihat betapa berbobotnya setiap kalimat Alan untuk sang pembicara. Bahkan, secara tak langsung, Revina mendapatkan banyak pencerahan terkait skripsinya, dari beberapa pertanyaan Alan yang tadinya sama sekali tak terpikirkan olehnya. Revina kembali bersemangat memenuhi buku catatannya.

Tak berapa lama, acara seminar pun selesai. Para audience berbubaran satu per satu, termasuk Alan dan Revina yang kini keluar ruangan—bersama.

“Gimana? Undangan saya bermanfaat, kan?”

“Hm, iya Pak. Terima kasih banyak.” Revina seperti malas meladeni Alan dan mencari ribut. Sebenarnya, ia memang tak kuat mengeluarkan banyak tenaga untuk kali ini.

Alan menyadari perbedaan Revina. Dari tadi ia tak mendapati respons yang terlalu ‘ngegas’ seperti biasanya. Begitu memandang Revina cukup lama, Alan baru sadar akan wajah Revina yang agak pucat.

“Rev?”

“Apa lagi, Pak? Saya capek, pengin pulang.”

“Saya anter, ya.”

“Gak usah, Pak. Saya pengin pulang sendiri.”

Revina hampir melangkah maju, seketika tangan Alan menarik tangan Revina untuk mencegahnya pergi. Ketika menyentuh kulit Revina pun, Alan merasakan suhu tubuh Revina yang lebih tinggi.

“Tunggu dulu, Rev.” Alan langsung menyentuh dahi dan wajah Revina. “Rev, kamu lagi sakit, ya? Ini kamu demam, loh,” seru Alan.

Revina mencoba menyingkirkan tangan Alan dari wajahnya. “Saya gapapa, Pak. Mungkin cuma kecapekan.”

“Gapapa gimana! Ini demam kamu cukup tinggi, loh. Bahkan wajah kamu pucat.”

“Ya udah, Pak. Bapak tau saya butuh istirahat, kan? Jadi, biarin saya pulang sekarang.”

“Pokoknya jangan pulang sendiri. Sini, yuk, sama saya aja. Atau kita mampir ke klinik dulu. Jujur, saya khawatir sama kamu, Rev.”

“Pak, biarin saya—

“REVINA!” pekik Alan sebab terkejut begitu Revina tiba-tiba tumbang tak sadarkan diri.

Gerakan refleks Alan mencegah tubuh Revina jatuh terkapar di atas aspal. Kini Revina yang pingsan berada di pelukan Alan.

“Rev, bangun, Rev! Tuh, kan. Kamu bandel banget dari tadi. Kamu bikin aku makin cemas sekarang.”

Dengan sigap Alan menggendong Revina menuju ke mobilnya.

“Bertahanlah, Sayang,” lirih Alan.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang