Revina tengah harap-harap cemas menanti kabar dari dokter di luar ruang IGD. Sudah terselip pikiran yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Alan tak bisa tertolong?
Sembari bergumul dengan cemasnya, Revina berusaha mengabari Prita dan bundanya. Hanya Prita satu-satunya keluarga dekat Alan yang Revina ketahui saat ini. Bagaimanapun, gadis itu harus tahu keadaan kakak sepupunya sekarang. Begitu pula dengan sang bunda, Revina tak ingin bundanya lebih cemas lagi menunggu kabar putrinya yang hilang seharian.
Prita sampai di rumah sakit lebih dahulu. Terlihat kekhawatiran pada parasnya.
“Kak Revi, gimana Kak Alan?”
“Masih ditangani dokter. Dari tadi dokter belum keluar,” sahut Revina dengan isaknya.
“Kak Revi sendiri gapapa, kan? Tadi sebelum pergi, Kak Alan juga udah sempet pamit sama aku, katanya dia mau cari Kakak karena Kakak diculik orang jahat. Kak Revi baik-baik aja?”
“Aku gapapa, Ta. Aku baik-baik aja, itu berkat Pak Alan. Dan sekarang malah Pak Alan yang ... maaf, Ta. Harusnya tadi dia gak perlu dateng.”
Prita langsung memeluk Revina, mencoba memberikan ketenangan.
“Kak, udah, ya. Kakak jangan nangis lagi. Tenang dulu. Kita berdoa aja, semoga Kak Alan bisa segera membaik. Ini bukan salah Kak Revi. Kak Alan itu sayang banget sama Kakak, dia gak mungkin biarin Kakak celaka.”
“Prita, aku takut. Kalo dia kenapa-napa—
“Gak, Kak. Aku yakin Kak Alan pasti bisa bertahan. Dia pasti masih pengin perjuangin cintanya ke Kakak. Kak Revi juga harus yakin, ya.”
Beberapa saat kemudian, Rosela pun tiba di rumah sakit. Ia tak bisa menahan rasa emosionalnya begitu melihat kini sang putri ada di hadapannya.
“Vina? Anak bunda,” seru Rosela.
Prita membiarkan Revina bicara berdua dengan bundanya. Ia tahu, pasti bunda Revina juga sangat cemas mengetahui putrinya baru saja diculik.
“Bunda—
Rosela langsung memeluk erat putrinya.
“Anak bunda baik-baik aja, kan? Vin, bunda cemas dari siang nunggu kabar dari kamu. Para penjahat itu, mereka gak ngapa-ngapain kamu, kan?”
Revina menggeleng, masih sambil menangis, ia menjelaskan kekhawatirannya pada Alan.
“Bun, Pak Alan ... di dalem, dia celaka karena nolongin aku. Dia terluka. Salah satu penjahat itu ... Pak Alan kena tusuk pisaunya. Vina takut, Bun. Pak Alan gimana?”
“Tadi dia ke rumah, cari kamu. Begitu tau kamu hilang, dia janji sama bunda mau cari kamu sampe ketemu. Bunda gak nyangka, Nak Alan harus berkorban sebesar itu. Vin, kita berdoa aja, semoga dia diberi keselamatan, ya.”
Ketiga wanita itu menanti kabar dari dokter bersama-sama. Revina terlihat paling gelisah.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, dokter baru keluar dan mengatakan bahwa operasi penanganan terhadap Alan sudah selesai. Lukanya sudah ditangani. Hanya saja, untuk kapan Alan siuman, dokter belum bisa memastikan waktunya.
Ketiganya lantas masuk ke ruangan untuk menemui Alan. Revina merasakan perasaan perih tersayat dalam hatinya melihat sang dosen masih terbaring lemah tak sadarkan diri dengan selang infus dan alat-alat medis menempel di tubuhnya.
Revina mendekat. Ia duduk di sebuah bangku di samping ranjang, terus memandangi Alan dalam-dalam. Sesekali, ia menyentuh lengan Alan dan bergumam agar Alan cepat bangun.
Hari semakin malam, tetapi Alan belum juga siuman.
“Vina, ini udah hampir tengah malem, Nak. Seenggaknya kamu makan dulu. Kamu pasti belum makan dari tadi siang, kan?”
“Gak, Bunda. Gimana aku bisa makan? Sementara Pak Alan ... dia bahkan juga belum makan.”
“Tapi, Nak, kalo kamu gak makan, nanti kamu juga bisa sakit. Bunda bakal tambah cemas nanti.”
“Kak Revi, bener kata bundanya Kakak. Kakak harus makan. Kalo gak makan, gimana ada tenaga buat bisa jagain Kak Alan? Kalo Kak Revi ikutan sakit, Kak Alan juga pasti sedih. Kak Alan pun gak mau kalo Kakak sampe gak mau makan karena dia. Makan dulu, ya, Kak.” Prita ikut membantu membujuk Revina.
Akhirnya, Revina mau makan sedikit walau ia sangat tak berselera sekarang.
Sudah hampir dini hari, belum ada tanda-tanda kesadaran Alan. Revina masih memilih menginap di sana, menjaga Alan di sampingnya.
“Kakak yakin gak mau pulang dulu? Di sini banyak dokter dan perawat yang bisa jaga Kak Alan, Kak. Besok, kan, kita bisa balik lagi ke sini.”
“Gak, Ta. Aku masih mau di sini. Kalo kamu mau pulang, pulang dulu aja gapapa. Bunda juga pulang aja, istirahat di rumah, ya.”
“Kamu yakin gapapa di sini sendirian, Vin?”
“Iya, Bunda. Aku tetep mau di sini dulu.”
“Ya udah, Kak. Kakak baik-baik di sini, ya. Kalo ada apa-apa, langsung berkabar aja.”
“Iya, Vina. Bunda pulang, ya. Besok pagi, bunda ke sini lagi nemenin kamu. Semoga Nak Alan cepet siuman.”
Rosela pulang bersama Prita. Sementara Revina bermalam di rumah sakit bersama sang dosen.
Revina tak bisa tidur, ia justru terus mengoceh mengajak Alan bicara berharap Alan mendengarnya dan segera terbangun.
“Pak, Bapak denger saya, kan? Bapak kenapa gak bangun-bangun? Pak Alan gak kangen berantem sama saya? Saya aja kangen, Pak. Jangan lama-lama tidurnya. Kalo Bapak gak bangun-bangun, terus bimbingan kita gimana, Pak? Gimana skripsi saya? Pak... kalo saya dalam bahaya lagi gimana? Siapa yang mau nolongin saya? Setelah Bapak bangun, saya janji gak akan debat Bapak lagi.”
Revina hampir lelah berbicara, Alan sama sekali tak memberi respons.
Revina meletakkan kepalanya di ranjang, tangannya masih menggenggam tangan Alan. Mungkin ia akan terus bicara sampai ketiduran.
“Pak Alan beneran mau ninggalin saya? Katanya janji, Bapak mau selalu bisa jaga saya? Saya gak bisa kehilangan Bapak. Saya sayang sama Pak Alan.” Entah sadar atau tidak, Revina mengucapkan kalimat terakhirnya tadi.
Seketika gadis itu terkejut mendengar sebuah suara menyahut.
“Jadi, kamu udah sayang lagi sama saya?”
Revina langsung menegakkan kepalanya, menoleh ke muka Alan. Benar saja yang didapatinya. Sang dosen telah membuka matanya.
“Astaga. Bapak? Pak Alan beneran udah siuman? Se-sejak kapan?”
“Sejak kamu bilang sayang tadi. Kak Alan juga sayang banget sama kamu, Sayang.”
Revina kini salah tingkah, ia bahkan tak sadar masih menggenggam erat tangan Alan. Langsung saja ia melepasnya.
“Rev.”
“Em, Pak, yang tadi itu ... gak gitu maksudnya. Anggep aja Bapak salah denger.”
“Saya gak salah denger, kok. Saya tadi denger dengan jelas. Kenapa, sih, Rev? Kamu gak perlu tarik kata-kata kamu tadi. Saya seneng denger yang tadi.”
“Gak, Pak. Lupain aja.”
“Kalo gitu, buat apa saya bangun? Mending saya pergi, kan?”
“PAK! Bapak bisa bilang begitu? Pak Alan gak tau gimana cemasnya saya dari tadi mikirin Bapak?”
“Apa cemas itu hanya bagian rasa bersalah atau berutang budi? Atau karena perasaan yang lain, Rev?”
“...”
“Kenapa kamu masih gak bisa terima kalo kita masih saling mencintai?”
“Pak—
“Aku masih Kak Alan-kamu yang dulu.”
Revina memejamkan mata. Ia pun berbalik membelakangi Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomanceRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...