Pro-Kontra Pilih Mantu

71 0 0
                                    

Bagi Irsyad, pertemuan makan malam kali ini lebih menegangkan berkali-kali lipat daripada moment sidang skripsinya yang telah lalu. Dari pandangan pertamanya dengan Pak Tama, Irsyad sudah berfirasat akan lebih sulit untuk mengambil hatinya, dibandingkan dengan apa yang sudah ia lakukan pada Bu Rosela—serasa hanya perlu satu jentikan jari.

“Ya udah, yuk kita mulai makan aja. Ayo, Yah! Nak Irsyad juga, silakan,” ucap bunda Revina ingin mencairkan suasana.

“Makasih, Tante,” sahut Irsyad.

Di sela-sela kegiatan makan mereka pun, ayah Revina masih tertarik menginterogasi Irsyad. Pak Tama memberondongkan beberapa pertanyaan tentang diri Irsyad maupun tentang hubungannya dengan Revina yang belum lama ini terjalin.

“Kesibukan kamu sekarang apa? Kerja di mana?”

“Em, saya baru wisuda, Om. Tapi, udah mulai wawancara kerja di beberapa industri. Masih nunggu hasilnya, Om.”

“Lalu, orang tua kamu?”

“Mama-papa saya tinggal di Malang, Om. Saya ngekost sendiri di sini. Papa ada perusahaan multinasional di Malang. Tadinya saya diminta lanjutin bisnis papa yang di sana, tapi saya lebih minat cari kerjaan sendiri—pengin lebih mandiri aja, Om.”

Ya, obrolan dengan ayah Revina serasa sedang wawancara kerja bagi Irsyad. Sementara Revina dan bundanya hanya jadi penonton setia. Jujur saja, melihat interogasi yang sedang berlangsung membuat Revina dan bundanya ikut tegang.

“Kamu kenal anak saya di mana? Udah berapa lama?”

“Saya kenal Revina di kampus. Belum begitu lama sih, Om. Belum ada satu tahun.”

“Terus, apa yang buat kamu tertarik pacaran sama anak saya?”

“Em, jujur untuk hal itu saya agak susah jelasinnya, Om. Setelah saya kenal lebih dekat sama Revina, perasaan suka itu muncul begitu aja. Saya ngerasa nyaman kalo di dekat Revina.”

“Hm, baiklah.” Jawaban singkat ini mengakhiri sesi tanya-jawab antara Irsyad dan Pak Tama.

Benar-benar tak bisa ditebak. Irsyad masih belum bisa meraba bagaimana pendapat ayah Revina tentangnya. Bisakah semudah itu mendapatkan restu dan lampu hijau darinya?

Selang beberapa menit, makanan mereka pun tandas.

“Makasih buat undangan makan malamnya, Tante, Om,” seru Irsyad.

“Iya, Nak. Sering-sering aja main ke sini,” sahut bunda Revina.

“Ehem. Sepertinya ini udah malam. Kalo mau ngobrol sama Revina, lebih baik besok aja. Revina juga pasti butuh istirahat.” Irsyad memahami kalimat ini sebagai bentuk pengusiran secara halus.

“Eh, iya. Baik, Om. Ini memang udah malam. Kalo gitu, saya permisi dulu, pamit pulang, Om, Tante. Rev, aku pulang, ya.”

Revina mengangguk pelan.

“Hati-hati di jalan, ya, Nak Irsyad,” tukas bunda Revina.

Irsyad meninggalkan kediaman keluarga Revina. Pikirannya pun masih semrawut, antara yakin tak yakin apakah sang tuan yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya kelak saat ini menyukai dan menerimanya.

Sementara itu, belum sempat dibereskan sisa-sisa makan malam ini, obrolan keluarga Revina masih berlanjut.

“Ayah, kok tadi begitu ke Irsyad?” tanya sang bunda.

“Gitu gimana, Bun? Kan ayah cuma mau tau tentang dia.”

“Tapi tuh, cara Ayah tanya ke dia tadi, loh. Bikin Irsyad-nya jadi tegang gitu.”

“Lah, apa masalahnya? Ayah juga gak tanya yang aneh-aneh, kan?”

“Terus menurut Ayah gimana? Irsyad itu anaknya baik, Yah. Bunda setuju banget kalo dia sama Revina. Nah, kalo Ayah gimana?”

“Ya... ayah kan baru ketemu dia sekali. Gak bisa main putusin gitu aja. Apalagi ini menyangkut Revina—kesayangan ayah.”

“Ih, Ayah. Udah kelihatan juga. Dia tuh cocok banget sama Vina.”

“Oh ya, Vin, terus gimana kabar pacar kamu yang dulu itu? Ayah denger, sekarang dia jadi dosen di kampus kamu, ya.”

Revina agak heran, mengapa tiba-tiba ayahnya menanyakan soal Alan.

“Ayah nih apa-apaan, sih! Ngapain pake nanyain kabar laki-laki gak jelas itu?” sambar bunda Revina.

Bahkan Revina sama sekali belum punya kesempatan untuk buka mulut. Obrolan orang tuanya masih saja terus bergulir. Bukan sekadar obrolan, tampaknya kini lebih ke arah perdebatan.

“Memang kenapa sih, Bun? Gimanapun juga, dia juga pernah sama Vina, kan? Mereka pacaran lumayan lama.”

“Ya, bahkan dia juga lama ninggalin Vina sampe bikin Vina capek nunggu, Yah.”

“Gara-gara hubungan jarak jauh, mereka jadi putus. Harusnya kan masih bisa diperbaiki, cuma masalah miskomunikasi. Jujur, ayah masih ngerasa sayang aja hubungan mereka harus berakhir gitu aja. Ayah udah kenal baik sama Alan, dia pun baik, selalu bisa jagain Vina dulu. Masih mending dia lah, Bun, udah mapan, jadi dosen, mandiri, punya rumah sendiri, walau udah gak didampingi orang tuanya. Lah, si siapa tadi itu—Irsyad, ya, masih tahap cari kerja.”

Dari sini pun sudah jelas. Ternyata Pak Tama lebih memihak pada Alan.

“Kalo udah lolos wawancara kerjanya juga nanti Irsyad bisa mapan, Yah. Dia pun mau berusaha, mandiri, gak mau bergantung sama orang tuanya meskipun mereka punya segalanya.”

“Seenggaknya Alan itu lebih dewasa, Bun.”

“Irsyad juga lebih dewasa dari Vina, Yah.”

“Ya, tapi gak sedewasa Alan.”

“Kalo mau yang lebih tua, kenapa gak Ayah jodohin anak kita sekalian sama aki-aki aja, tuh.”

“Astaga, Bunda.”

“Habis Ayah parah, sih. Masih aja ngebela laki-laki model begitu. Dia aja gak inget sama Vina waktu pergi ke Tiongkok. Vina nungguin di sini sampe lumutan, Yah. Boro-boro inget, kasih kabar aja enggak.”

“Mungkin memang ada alasan lain kan bisa, Bun. Dia kan ke sana buat studi S-2. Buktinya akhirnya dia tetep balik ke sini, kan? Tapi, malah Vinanya udah keburu sama yang lain. Ayah pun paham gimana rasanya hubungan jarak jauh. Bahkan, kadang ayah juga suka lupa kabarin Bunda, kan.”

“Tapi, Ayah lupanya gak kebangetan kayak dia. Pokoknya bunda gak mau tau, Vina sekarang udah sama Irsyad dan Vina bahagia—itu yang penting kan, Yah.”

“Apa Vina udah yakin bener-bener bisa lupain Alan? Masalahnya hubungan mereka dulu itu bukan yang cuma hitungan sebulan-dua bulan aja, Bun. Cukup lama, bertahun-tahun.”

“Buktinya Vina juga sekarang ayem-ayem aja sama Irsyad, Yah.”

“Vin, emang Alan gak pernah bilang apa-apa ke kamu gitu? Kalian pasti masih sering ketemu di kampus, kan?”

“Gimana gak sering ketemu, Yah, orang anaknya sekarang jadi dosen pembimbing skripsinya Vina.”

“Nah, Bun, itulah. Makanya jangan buru-buru ambil keputusan dulu. Apalagi Vinanya sekarang lebih sering ketemu lagi sama Alan. Lihat aja dulu, nanti mana tau mereka bisa balikan lagi, kan malah jadi ribet urusannya kalo Bunda udah terlalu seneng sama Irsyad.”

“Sekali Irsyad, tetep Irsyad, titik!”

Revina mulai gerah melihat perdebatan ayah dan bundanya. Tanpa memberi kesempatan ocehan mereka berlanjut, Revina pun menyela dan mulai buka suara.

“Cukup, Ayah, Bunda! Kenapa kalian jadi ribut sendiri soal Irsyad sama Pak Alan, sih? Memang kalian gak mau tau pendapat aku? Harusnya aku yang lebih bingung, kan. Apalagi lihat kalian debat sampe kayak gini.”

“Vin, kalo kamu ikut bingung, itu tandanya memang hati kamu belum bisa sepenuhnya buat si Irsyad itu. Jadi, Alan masih ada harapan, dong?” balas ayah Revina.

Jlebb. Seperti di-skak-mat telak, kini Revina yang mesti mencari pembenaran.

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang