Revina baru mengecek ponselnya setibanya ia di kampus. Ia agak kaget melihat satu chat dari sang dosen pembimbing. Kira-kira sudah dari satu setengah jam yang lalu chat itu diterimanya, tetapi baru ia buka sekarang.
Begitu membaca isi chat tersebut, Revina kesal setengah mati. Bisa-bisanya, Alan mengatakan seperti itu, padahal kemarin Revina sempat mencemaskannya, takut kalau-kalau terjadi hal buruk pada sang dosen di Bandung.
“Dasar gak jelas! Bodo amat, gak bakal kurespons. Persetan lo mau spam kek, mau jungkir balik kek, bodo!” gerutu Revina.
Sementara di sana, Alan masih setia menunggu balasan chat dari Revina. Sesekali ia mengecek ponselnya, takut ada notifikasi terlewat. Namun, sudah cukup lama baginya menunggu. Ia tahu Revina sudah membaca pesannya, tetapi tak ada tanda-tanda balasan sampai sekarang.
“Kenapa, ya? Dia sibuk? Atau sengaja gak mau bales? Jangan-jangan dia ngambek, nih. Gimana, dong? Kalo dispam chat lagi, ntar dia makin kesel. Huh, cewek itu memang sulit dimengerti,” terka Alan bertanya-tanya.
Revina benar-benar memegang ucapannya. Sampai siang hari pun ia masih mendiamkan Alan. Ia lega, tak ada tanda-tanda spam lagi dari sang dosen. Revina ingin pergi ke kantin kampus lebih dulu sebelum nantinya mengikuti kelas siang.
Di perjalanan ke kantin, Revina bertemu dengan Caca.
“Hai, Rev.”
“Eh, Ca, ternyata kamu masih sering ke kampus juga, ya. Kirain aku doang yang dungu masih banyak kelas perbaikan. Kamu masih ambil perbaikan juga, kah?”
“Ada dua atau tiga matkul. Tapi, gak hari ini juga jadwalnya. Aku tadi dari basecamp UKM Teater, ada yang mesti aku urus.”
“Wih, kamu udah tingkat akhir, masih aja rajin UKM sama organisasi. Mirip Kak Irsyad, aktivis sejati.”
“Ealah, aku gak sebanyak tuh kating pacar kamu, Rev. Organisasi paling dua aja plus teater ini, udah. Kalo si cowok kamu itu mah dulu emang bener-bener gila organisasi. Namanya mejeng di mana-mana. Jadi pengurus itulah, inilah.”
“He-he. Iya, bener juga, sih. Tapi, orangnya sekarang udah tobat.”
“Ya iyalah, Rev. Orang udah lulus juga. Emang kuat gitu, kerja sambil hari-hari rapat orda?”
“Ha-ha, iya. Eh, mau ke kantin dulu, gak? Bareng, yuk!”
“Boleh deh, Rev. Pengin minum yang seger-seger. Yuk!”
Mereka pergi bersama ke kantin. Suasana kantin masih cukup ramai. Revina dan Caca mencari meja yang masih kosong. Mereka mulai memesan keinginan masing-masing. Kali ini, Revina ingin makan siang dengan lauk ayam bakar bumbu pedas manis buatan ibu kantin, serta memesan segelas es jeruk untuk pelepas dahaganya. Lain dengan Revina, Caca memesan es kuwut dan satu mi cup.
“Caca kok cuma makan mi cup? Emang bisa kenyang? Itu cup-nya kecil pula, pasti isinya dikit.”
“Gapapa, Rev. Lagi males makan banyak aja. Masih kenyang, sih. Tadi sarapan agak siang. Cuma karena kamu mau makan, daripada aku lihatin doang, ye, kan, jadi pesen ini aja. He-heh.”
“Hmm gitu. Okelah. Btw ayam bakarnya enak, loh. Caca mau coba?”
“Gak usah, Rev. Lagi gak pengin ayam. Udah, santai, makan aja.”
Mereka melanjutkan makan masing-masing. Tak berapa lama, ponsel Revina yang ditaruh di atas meja tiba-tiba bergetar. Revina sekilas meliriknya. Tampak nama Alan di layar. Karena masih kesal dan memegang teguh prinsipnya, Revina tak mengindahkan panggilan dari Alan. Dibiarkannya ponsel itu terus bergetar berkali-kali.
“Rev, siapa sih yang telepon? Kok gak diangkat? Tuh, gak berhenti-berhenti. Siapa tau penting, kan? Angkat dulu aja bentar,” seru Caca.
“Gak perlu. Abaikan aja. Udah tau, kok, itu sama sekali gak penting.”
“Emang siapa sih, Rev? Penasaran.” Caca sedikit melongok ke ponsel Revina untuk mengetahui siapa gerangan sang penelepon. “OMG! Jadi, Pak Alan,” kaget Caca.
“Hmm.”
“Kok gak diangkat? Berani-beraninya kamu cuekin telepon dari dosen. Ha-ha.”
“Lagi bete aja sama dia.”
“Aduh-aduh, udah jadi mantan tapi masih bisa ngambek-ngambekan begini, ya. Kalian tuh beneran sweet banget, deh. Pasangan langka.”
“Gak gitu juga, Ca. Dia itu emang suka rese dan gak jelas. Kamu tau, seharian kemarin dia sengaja cuek, gak berkabar sama sekali, padahal biasanya sehari gak mungkin berlalu tanpa dia telepon, chat pun juga berkali-kali. Nah, terus, tadi pagi dia chat aku, intinya dia bilang kemarin itu dia sengaja biar aku makin kangen dia. Padahal tuh ya, aku kemarin sempet mikir macem-macem, takutnya terjadi hal buruk sama dia di sana. Nyebelin, kan. Makanya, aku sengaja mau bales cuekin dia dari pagi tadi.”
“Ya ampun, Revina. Serius, deh. Kalian kayak masih pacaran, tau. Jadi, selama ini kalian masih sering chat dan telepon-teleponan? Yakin deh, pasti itu juga gak bahas skripsi doang, kan? Karena kebiasaan selalu ada dia, di saat dia pergi dan gak ada kabar sehari aja, kamu jadi cemas, uring-uringan. Fix, kayaknya kamu memang belum sepenuhnya move on dari dia, Rev. Buktinya masih kangen, masih kesel dicuekin. Mending balikan aja deh kalian!”
Revina terdiam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Caca. Benarkah itu? Ia masih rindu? Apa ia masih sayang? Lalu, Irsyad bagaimana?
“Pak Alan sengaja begitu kemarin, mungkin biar kamu sadar, Rev. Kalian itu masih saling mencintai,” lanjut Caca. “Rev? Revina! Lah, malah ngelamun.”
“Eh.” Revina tersentak. “Iya, Ca, sorry. Ya, itu gak mungkin lah, Ca. Aku udah ada Kak Irsyad.”
“Ya... Kak Irsyad di luarnya, kalo di dalem masih ada Pak Alan, siapa yang tau? Cuma kamu yang bisa tau kamu bohong atau jujur sama perasaan sendiri.”
“Udah, deh. Gak usah bahas dia lagi.”
“Hm. Eh, Rev, aku pernah baca satu novel di platform novel online. Ceritanya itu hampir mirip-mirip sama kisah kamu, loh. Jadi, ya gitu, ada satu cewek, nah dia itu punya mantan. Tiba-tiba dia kaget, si mantannya itu malah jadi dosennya di kampus. Persis kayak kamu sama Pak Alan. Terus mereka jadi sering ketemu lagi di kampus. Seru ceritanya. Banyak adegan yang bikin baper. Masih on going ceritanya. Tapi, bau-baunya sih, mereka bakal balikan, deh. Kalo gak salah, judulnya ‘Stuck in My Lecturer Memories'. Coba baca, deh. Sumpah, related banget sama hidup kamu. Bahasa penulisnya cukup enak dibaca, sayang masih dikit pembacanya. Padahal novel bagus, loh.”
“Caca kebanyakan baca novel, makanya ngomongnya suka halu.”
“Lah, itu fakta, Rev. Kamu sama Pak Alan itu—
Ponsel Revina bergetar lagi.
“Noh, angkat dulu napa, ih. Kasihan loh, Pak Alan nungguin dari tadi. Tuh, gak nyerah-nyerah dia.”
“Pokoknya gak mau.”
Karena gemas, Caca akhirnya meraih ponsel Revina. “Kalo gak mau, ya udah sini, biar aku yang angkat.”
“Eh, Ca—
“Halo, Jodohku-Sayang, kamu ke mana aja? Kok lama angkatnya?” Terdengar suara Alan dari seberang. Seketika Caca menutup mulutnya, mungkin saking tak menyangka Alan memanggil Revina seperti itu.
“Caca, ih. Siniin hapenya!” Revina langsung merebut paksa ponselnya, kemudian bicara pada Alan.
“Gak usah ribet, Pak. Nanti saya telepon balik!” Revina langsung memutus panggilan Alan.
“Ciee... Jodohku-Sayang,” ledek Caca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomanceRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...