Perdebatan Benar Salah

115 2 0
                                    

Revina mengekor di belakang Alan menuju ke ruangan Alan. Sesampainya di sana, perasaan Revina jadi tak karuan lagi, antara gugup dan takut kalau-kalau sang dosen bicara yang aneh-aneh lagi dan membuatnya emosi, ataupun kalau nanti ia kejatuhan runtuhan tugas yang berat lagi.

"Masuk, Rev! Kamu ngapain masih berdiri di situ? Duduk!"

Revina pun menurut.

"Mana tugasnya?"

"Oh iya. Ini, Pak."

Alan pun memeriksa lembar demi lembar tugas dari Revina. Sementara Revina terus merapalkan doa di dalam hati agar kali ini tak ada kesalahan.

"Rev!"

"I-iya, Pak. Gimana?"

"Hm, oke. Tugas kamu saya terima."

"Jadi, itu artinya saya bisa lanjut bab berikutnya buat skripsi saya, kan?"

"Hmm, tapi--"

"Astaga. Apa lagi, Pak? Jangan bilang Bapak mau kasih saya tugas tambahan lagi sebelum itu."

"Sebenernya udah rencana, sih. Tapi gak usah deh, saya batalin aja. Saya gak mau kamu jadi masuk rumah sakit lagi gara-gara saya."

"Lalu, tadi Bapak bilang 'tapi' itu buat apa?"

"Gak jadi, saya lupa. Makanya kalo ada orang ngomong tuh dengerin dulu! Jangan main potong-potong aja!"

"Ehh iya, maaf deh, Pak."

"Oke, buat bab dua ini kamu harus berfokus sama tinjauan teori kamu. Sebelumnya kan kamu udah review beberapa jurnal, nah kamu bisa ambil beberapa teori dari situ. Ada gunanya juga saya kasih kamu tugas tambahan, kan? Dengan itu kamu bisa lebih cepet kumpulin teori terus kamu kaji dan sesuaikan sama hipotesa atau teori yang mau kamu buat. Usahain teori yang kamu ambil dari jurnal itu bisa memperkuat teori penelitian kamu."

"Baik, Pak."

"Kalo kamu fokus, dan nge-review jurnalnya kemarin itu sungguh-sungguh, pasti cepet, kok. Gak sampe sebulan, kamu udah bisa mulai lanjut bab tiga. Setelah kamu rasa teorinya udah mantep, sebelum saya revisi, kamu bisa langsung nyicil penelitian kamu aja. Biar gak buang-buang waktu."

"Iya, Pak."

"Kamu dari tadi iya-iya aja, paham maksud saya gak?"

"Saya paham, Bapak."

"Intinya fokus. Gak usah gampang ke-distraksi sama hal-hal lain kalo mau lulus cepet. Kegiatan gak berfaedah hindarin dulu. Kadang pacar itu juga bisa bikin kamu gagal fokus loh."

"Lah kok jadi ke sana arahnya sih, Pak?"

"Saya cuma bicara realita. Waktu dan fokus kamu bisa kesita cukup banyak kalo buat berduaan aja sama pacar kamu. Lebih bagus selama kamu periode skripsi ini, jauh-jauh dulu dari dia. Anggep aja kalian lagi LDR."

"Apa, Pak? Kenapa harus gitu?"

"Kamu bisa liat sendiri buktinya. Saya sendiri waktu mau fokus S-2 di Tiongkok harus LDR sama kamu, kan? Dan kamu liat sekarang, saya udah lulus dengan predikat cumlaude, bahkan saya langsung direkrut jadi dosen di sini."

"Ya itu beda lah Pak kasusnya. Gak bisa dibandingin begitu. Lagi pula saya bukan Bapak. Saya gak akan lupain orang yang sayang sama saya meskipun saya mau fokus ke hal lain dulu."

"Jadi maksudnya kamu kira waktu kita LDR dulu saya lupain kamu gitu?"

"Menurut Pak Alan sendiri gimana? Aduh, Pak, kenapa jadi bahas masalah ini lagi, sih?"

"Kamu yang mulai, Rev."

"Bukan saya, tapi Bapak yang mulai duluan tadi. Jujur ya, Pak, bukan Irsyad yang bisa bikin saya gagal fokus tapi justru Bapak, tingkah aneh Pak Alan itu!"

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang