Lampu Hijau untuk Alan

83 1 0
                                    

Perdebatan pilih menantu di antara ayah dan bunda Revina berakhir begitu saja dengan diamnya Revina yang tak menyahut kalimat terakhir ayahnya. Revina langsung pamit ke kamar tanpa basa-basi.

Jika diminta memilih antara Irsyad atau Alan, harusnya Revina bisa dengan mudah dan lantang mengatakan kalau ia memilih Irsyad. Entah mengapa ia serasa harus berpikir dulu dan ikut terbawa pusing. Sudah jelas-jelas Irsyad lah kekasihnya saat ini. Mengapa harus bimbang? Atau benar yang dikata sang ayah, masih ada sisa-sisa rasa untuk Alan yang nyatanya sulit hilang sepenuhnya.

***

Senin ini, ayah Revina masih berada di kota kediaman keluarga kecilnya. Rencananya, beliau baru akan kembali ke luar kota untuk bekerja esok hari. Setelah dua hari, semasa weekend kemarin menghabiskan waktu dengan Revina dan Bu Rosela di rumah, siang ini Pak Tama pergi ke sebuah kedai kopi untuk bertemu teman lamanya. Ia pikir mungkin bisa nongkrong sebentar, sebelum besok harus kembali bekerja.

Pak Tama dan seorang teman lamanya yang kini jadi pengusaha real estate itu mengobrol selama lebih kurang satu jam. Begitu teman Pak Tama menerima panggilan terkait urusan bisnisnya, mereka memutuskan untuk mengakhiri pertemuan hari ini.

Baru saja Pak Tama akan keluar dari kedai kopi bernuansa kafe itu, niatnya terurungkan begitu ia menjumpai sosok yang dikenalnya.

“Loh, Nak Alan, kan?” seru Pak Tama.

Alan yang tadinya sedang duduk menatap layar laptop sambil menyeruput secangkir kopi beranjak bangun dan menjabat tangan Pak Tama.

“Eh, Om Tama, di sini juga? Apa kabar, Om?”

“Iya. Om baik, kok. Kamu sendiri gimana?”

“Baik juga, Om. Em, iya saya baru inget, waktu itu Revina pernah bilang kalo akhir minggu kemarin Om mau pulang, ternyata masih di sini, Om.”

“Iya, Lan. Om pulang Sabtu kemarin. Cuma dikasih waktu tiga hari dari kantor. Besok pun om udah harus ke luar kota lagi. Tadi om habis ketemu temen lama di sini. Kamu lagi sibuk?”

“Ah, gak kok, Om. Kebetulan saya lagi suntuk aja, jadi ke sini. Nyicil kerjaan sambil ngopi.”

“Udah lama banget loh, om gak ketemu kamu. Kalo kamu gak keberatan, mungkin kita bisa ngobrol sebentar?”

“Tentu, Om. Boleh banget. Silakan-silakan.”

Alan mengajak ayah Revina bergabung di mejanya. Mereka pun mulai berbincang.

“Kamu masih sering ngobrol sama Revina?”

“Em, bisa dibilang begitu, Om. Gimanapun harus ngobrol juga, seenggaknya terkait skripsinya Revina. Soalnya, dia mahasiswi bimbingan saya juga, Om.”

“Hmm, iya juga, ya. Pasti agak berat buat kalian, ya. Harus disatuin lagi dalam situasi begini. Harus ngebimbing dan dibimbing mantan pacar sendiri.”

“Begitulah, Om. Tapi, ya, mau gimana? Terima aja. Kami masih bisa profesional kok, Om.”

“Alan, kalo boleh jujur, sebenernya tuh om masih amat menyayangkan, hubungan kalian dulu itu udah cukup lama, tapi tiba-tiba harus berakhir begini.”

“Jujur saya juga nyesel, Om. Ini kesalahan saya. Andai dulu saya gak pergi terlalu lama, mungkin sekarang saya masih bisa sama Revina.”

“Itu artinya, kamu masih berharap bisa kembali sama anak om?”

“Em, mungkin gapapa kali, ya, saya terang-terangan aja sama, Om. Jujur, saya memang masih sayang sama Revina, Om. Revina itu cinta pertama saya. Dan hubungan kami berakhir begitu tiba-tiba. Rasanya, saya masih sulit lupain dia, Om.”

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang