Revina banjir ucapan selamat, buket bunga, hingga bingkisan sebagai hadiah untuk kelulusannya hari ini. Tawa riang terpancar bersahutan, teman-temannya ikut bahagia menyambut kebahagiaan Revina. Mereka lantas mengabadikan moment tersebut dengan mengambil beberapa potret foto.
Revina melihat Alan masih menyaksikan kegembiraannya dari jauh. Pria itu melempar senyum padanya seakan ikut merasa gembira dan larut dalam selebrasi. Melihat senyum dosen pembimbingnya, Revina membalas dengan senyum yang lebih lebar. Gadis itu melanjutkan selebrasi bersama teman-temannya sambil sesekali memandang ke tempat Alan berdiri.
Hari hampir sore. Perayaan berlangsung cukup lama tadi sebab ada beberapa teman Revina yang lulus sidang hari itu juga. Sama sekali tak melelahkan, justru sangat menyenangkan. Sepertinya, saat-saat ini memang yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa itu.
Satu per satu kawan Revina pulang, merasa selebrasi hari ini sudah cukup. Mereka juga tak mungkin mau berada di kampus sampai malam hari. Revina pun ingin segera pulang, tak sabar ingin segera bertemu bundanya walau tadi sudah sempat berkabar lewat ponsel kalau dirinya lulus sidang.
Revina masih menimbang-nimbang ingin pulang naik apa sampai ketika sang mantan dosbing datang.
“Rev, temen-temen kamu dah pada pulang? Kamu mau pulang juga, kan? Yuk, bareng saya aja! Biar saya anter,” tawar Alan.
“Em, apa gak ngerepotin, Pak?” Seperti baru pertama kali saja Alan menawarinya pulang bersama. Namun, kali ini rasanya seperti berbeda. Biasanya, gadis itu justru akan langsung menolak mentah-mentah kalau diajak pulang bersama oleh sang dosen.
“Kamu ini, kayak baru pertama saya mau anter kamu pulang aja. Sejak kapan saya ngerasa repot kalo mau pulang bareng sama kamu? Yuk, saya juga mau pulang, kok.”
“Baik, Pak.”
“Eh, iya, astaga. Saya baru inget. Ada barang saya yang tertinggal di ruangan. Saya masuk dulu mau ambil tas saya, kamu tunggu di sini dulu, ya. Gak lama, kok.”
Revina mengangguk.
Akhir-akhir ini, entah mengapa kecanggungan lebih menyelimuti dirinya. Revina makin merasakan perbedaan dalam dirinya. Rasa yang begitu kentara. Sesak, makin sesak bila ia terus bersikeras menyimpannya tanpa mengakuinya. Hari ini, pertahanan seorang Revina Shania Rosaline telah goyah. Ia menyadari bahwa hubungannya dengan Irsyad tak bisa sekuat rasanya pada Alan Raskal Affandra. Tak hanya urusan skripsinya yang tuntas, Revina juga ingin masalah hatinya tuntas sekarang juga.
Belum sampai Alan berlalu jauh, Revina dengan lantang memanggilnya hingga langkah Alan harus terhenti.
“Kak Alan.”
Alan bisa mendengar jelas panggilan itu. Namun, ia sempat bertanya-tanya, mengapa kali ini Revina memanggilnya dengan sebutan itu. Apa Revina sedang lelah akibat terlalu terbawa suasana euforianya?
Alan menoleh.
“Ya, Rev. Kamu panggil saya? Ada apa?”
Mereka berpandangan beberapa detik. Hingga akhirnya Revina melangkah maju mendekat ke arah Alan. Sesampai di hadapannya, gadis itu langsung memeluk erat sang dosen. Bahkan, kali ini lebih erat dari pelukan di luar ruang sidang tadi.
“Rev—
Alan tak bisa berkata-kata, masih tak mengerti maksud Revina.
“Aku masih sayang sama Kakak. Maaf.”
Setelah ratusan purnama menunggu, Alan akhirnya mendengar pengakuan nyata dari Revina. Gadis itu tak tahan untuk tak mengatakannya. Ia tak mampu menyimpan dan menampik rasanya lebih lama lagi. Terlebih, Alan selalu ada di setiap langkahnya. Selalu menampakkan diri bersama jutaan perhatiannya. Bagaimana mungkin Revina tak bisa goyah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
RomansaRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...