Bimbingan VVIP

106 3 0
                                    

Revina berhasil meyakinkan Alan kalau ia akan baik-baik saja walau pergi sendiri ke kampus. Alan pun meminta Revina cepat kembali ke rumah sakit seusai dari kampus, tak perlu mampir-mampir ke tempat lain lagi. Benar-benar selayaknya pasangan kekasih yang tak ingin jauh-jauh barang sejam saja.

Si gadis hanya mengiyakan apa pun mau sang dosen. Mau ia manja, ia bucin, ia merepotkan, persetan saja. Yang terpenting, ia menjalankan tanggung jawabnya dan sang dosen bisa segera pulih seperti sedia kala.

***

Sudah berjalan tiga hari Alan dirawat di rumah sakit. Dokter menyarankan, untuk masa pemulihan, setidaknya ia harus dirawat di sana selama seminggu. Revina masih setia menemani dan mengurus sang dosen pembimbing. Setiap hari, waktunya lebih banyak ia habiskan di rumah sakit. Pulang ke rumah hanya beberapa jam. Bunda Revina pun sudah memberi izin asalkan putrinya di sana juga bisa menjaga diri dengan baik. Lagi pula, Rosela mengerti, Revina hanya ingin setidaknya bisa sedikit membalas kebaikan Alan.

Mahasiswi tingkat akhir itu bahkan sampai membawa laptopnya ke rumah sakit, menyicil penyelesaian skripsinya.

“Rev, kamu lagi apa?” tanya sang dosen yang memandang Revina sembari masih berbaring di ranjang rumah sakit.

“Lagi masak mi instan, Pak.”

“Kamu tuh, malah ngajak bercanda, Rev. Padahal saya nanya serius, loh.”

“Yah si Bapak, udah tau orang lagi lihat laptop. Masa' iya lagi masak? Saya lagi ngerjain skripsi, Pak.”

“Oh. Ya bilang kek. Kan, bisa aja orang lihat laptop lagi nonton drakor atau apa.”

“Bapak bukannya udah tau kalo saya gak suka drakor, ya?”

“Tau, sih. Ya, siapa tau bisa aja kesukaan kamu berubah, kan? Kayak misalnya, dulu kamu suka saya, terus suka Irsyad, habis itu ... suka saya lagi. Gitu, kan?”

“Serah, Pak. Udah, jangan gangguin saya dulu. Saya lagi mau fokus. Bapak kenapa gak tidur? Kan, habis minum obat tadi. Gak ngantuk?”

“Saya belum bisa tidur, Rev. Em, kalo kamu butuh bimbingan, boleh banget, kok, Rev. Mumpung saya masih melek, nih.”

“Bapak masih sakit. Mending Pak Alan tidur aja sekarang. Saya bisa nunggu sampe Bapak sembuh dulu, baru minta bimbingan lagi.”

“Revina Shania Affandra, saya ini terluka di perut, bukan otak saya yang kena. Saya masih bisa berpikir. Otak saya masih bisa berjalan dengan baik. Saya gak mau, karena saya sakit, skripsi kamu jadi terbengkalai. Kan, punya kamu udah hampir kelar. Kan, enak, Rev, semisal waktu saya pulih nanti siapa tau kamu udah bisa daftar sidang.”

“Omong-omong, Bapak sembarangan aja ganti-ganti nama orang!”

“Hitung-hitung persiapan, Rev. Sebelum kita nantinya jadi satu keluarga, Sayang.”

“Bodo, deh, Pak.”

“Ya udah, sini. Kerjain sama saya. Biar saya bimbing kamu dalam pengerjaannya. Biar saya tau, kesulitan kamu itu di bagian mana.”

Karena Alan terus memaksa, Revina tak menolak lagi. Dosennya sendiri yang mau berbaik hati memberi bimbingan di malam hari dalam kondisinya yang belum pulih benar. Bukan Revina yang meminta.

Gadis itu membawa laptopnya ke dekat Alan. Alan duduk bersandar di ranjangnya, sedangkan Revina duduk di bangku di samping ranjang. Revina mulai menunjukkan pengerjaan skripsinya yang hampir selesai.

“Udah mau finish bab empat, ya?” tanya Alan.

“Yap, tinggal satu poin lagi. Saya rajin, kan, Pak?”

“Hm, ya. Saya akuin itu. Kamu salah satu yang bikin bab empatnya lumayan cepet, Rev.”

“Lumayan?”

“Ya. Saya gak salah bicara. Kenyataannya ada yang lebih cepet dibanding kamu.”

“Hmm, ya, deh.”

“Ntar, bikin bab lima paling sehari jadi, Rev.”

“Ya kalo gak Bapak suruh revisi.”

“Makanya, kalo bikin yang niat, Sayang. Kalo udah bener, gak mungkin saya minta revisi juga, dong.”

“Pak, kata mau bantuin, kan? Ini, bantu saya bikin poin yang ini. Saya pusing, Pak. Udah jelajah lebih dari lima paper, gak nemu juga alasan yang pas.”

“Mana? Sini-sini, saya lihat dulu.”

Begitu Alan melihat sekilas poin yang Revina maksud, pria itu beralih membuka ponselnya. Alan mengirim satu file ke email Revina.

“Coba cek email kamu sekarang, Cantik,” pinta Alan.

“Email? Oke, wait, Pak.”

Revina membuka email-nya dari laptopnya. Begitu menemukan inbox dari Alan langsung saja ia membuka file pemberian sang dosen. Sekilas dibacanya. Saat ia scroll tampilan filenya ke bawah, tampak bagian yang ditandai Alan dengan highlighter berwarna hijau muda. Revina mencermatinya dengan saksama, lalu langsung semringah sembari bergumam.

“Nah, ternyata ini ada. Buset, Bapak punya kekuatan atau ilmu apa? Baru juga baca, gak sampe tiga puluh detik, Bapak bisa langsung dapet jurnalnya yang pas begini. Sementara saya yang udah coba cari berjam-jam tetep gak nemu-nemu. Gila, sih. Hebat banget, Bapak!”

Mendengar pujian Revina, Alan pun jemawa.

“Itu gunanya ada otak, Rev.”

“Jadi, maksud Bapak, saya gak ada otak gitu?” gumam Revina dengan bersungut.

“Hey, gak gitu. Saya hanya bercanda, Rev. Sayangku ngambekan mulu, deh. Itu cuma karena jam terbang, Rev. Pengalaman. Saya hanya lebih berpengalaman daripada kamu dalam hal ini. Kalo kamu juga bisa, ngapain sekarang masih bikin skripsi? Harusnya udah bisa jadi dosen, dong.”

“Hmm. Iya juga, ya, Pak. Okelah. Apa pun itu, makasih banyak, Pak. Bapak Alan Raskal Affandra kali ini udah bener-bener bantu saya.”

“Sama-sama, Cantik. Udah sana, langsung parafrase, disesuaikan kalimatnya. Jangan lupa cantumkan sumbernya.”

“Siap, Pak. Kalo tinggal dikit gini mah, saya jadi lebih semangat. He-he.”

“Hmm, dasar.”

Alan terus menemani Revina mengerjakan skripsinya. Sesekali ia mengingatkan bila Revina salah tulis atau kalimatnya mendadak melenceng dari maksud awal.

“Bapak yakin gak mau bobok duluan? Saya udah gak mau tanya lagi, kok, Pak.”

“Gak. Ntar aja. Saya belum bisa tidur. Masih pengin lihatin kamu.”

“Saya gak akan kabur, Pak. Gak perlu dilihatin.”

“Hmm.”

“Pak, anak bimbingan Bapak yang lain kalo mau minta bimbingan di sini, Bapak juga ladenin?”

“Gak, lah. Mereka biar nunggu sampe saya pulih dan bisa ke kampus lagi.”

“Lah, kok, saya boleh?”

“Kenapa pake ditanya, sih, Jodoh? Udah jelas karena kamu itu spesial buat saya. Ada untungnya, kan, jadi jodoh saya?”

“Wah, Bapak ini pilih kasih. Dasar! Kalo mereka-mereka pada tau, pasti Pak Alan jadi bahan gunjingan mahasiswa Bapak, deh.”

“Bodo, sih. Saya mah gak peduli, Rev. Mereka yang butuh saya, bukan sebaliknya. So what?”

“Hih, sadis bener si Bapak.”

“Sebagai dosen, saya sadis dikit boleh, dong. Saya gak butuh dipandang baik sama yang lain, kok. Cuma butuh pandangan kamu aja.”

Ya, beginilah obrolan dosen dan mahasiswi bimbingannya. Mungkinkah ada terjadi sesi bimbingan yang seperti ini pada mahasiswi lainnya di dunia ini? Hanya Revina yang beruntung bisa merasakannya.

Sedang asyik berbincang, getar ponsel Revina menginterupsi. Ada seseorang yang menelepon.

“Siapa yang telepon malem-malem gini, Rev? Bunda kamu?” tanya Alan penasaran.

“Em, bukan, Pak. Ini dari ... pacar saya.”

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang