“Kak Irsyad.”
“Bisa gak, gak usah sok akrab! Udah untung gue mau anterin lo. Mending lo diem, deh.”
“Kurang-kurangin sensinya, Kak. Bahaya. Ntar cepet tua, loh.”
“Gue yang tua, ngapain lo ikutan ribet?”
“Ih, makin gemes deh sama Kakak. Aku tuh pengin ngajak Kakak ngobrol biar gak sepi.”
“Gue lebih suka sepi tuh.”
“Sumpah, ya. Kok, Kak Revi tahan, ya, punya pacar macem Kakak gini?”
“Heh! Ngapain lo bawa-bawa Revina? Bisa pake nalar, dong. Gue ke lo sama gue ke Revina jelas beda, lah.”
“Hm. Oke. Udah ih, Kak. Aku tuh gak ada niatan ngajak Kakak ribut atau berdebat mulu. Sekali-kali, bisa kan kita ngobrol santai aja?”
Irsyad tak merespons pertanyaan Prita. Pandangannya masih fokus ke depan.
“Diem? Aku anggep setuju. Em, oke. Aku mulai duluan. Sebenernya, aku tertarik sama ... maksud aku, aku denger-denger dulu waktu kuliah, Kakak ini aktivis sejati, kan? Rajin ikut organisasi sana-sini. Nah, aku tuh juga pengin, Kak, nantinya bisa punya banyak pengalaman organisasi kayak Kakak.”
“Orang macem lo gini, mau jadi aktivis? Cewek manja modelan kayak lo begini? Yang ada nyusahin orang mulu lo.”
“Hih, pedesnya tuh mulut! Kakak cuma belum tau aku aja. Kalo Kak Irsyad udah kenal lebih dalem sama aku, gak mungkin Kakak bisa bilang begitu. Lagian aku mau belajar, kok, Kak.”
“Hmm. Suka-suka lo dah.”
“Mumpung aku kenal Kakak, nih, kan. Bisa dong bagi tips-tipsnya biar bisa aktif organisasi dan punya banyak pengalaman kayak Kakak gini.”
“Gak ada tips khusus, sih. Kuncinya, sih, niat aja. Gimana pinter-pinternya kita manajemen waktu, dua puluh empat jam itu mau gak mau mesti cukup. Terlebih, urusan kita bukan organisasi doang. Tetep mikir yang lain, prioritas utama, ya, tetep kegiatan akademik kampus.”
“Kalo gitu, aku mau banyak belajar dari Kakak, deh. Biar bisa jadi aktivis sejati juga. Kakak kalo ketemu aku jangan kesel-kesel gitu terus, lah. Aku orangnya juga gak suka cari masalah, kok.”
“Entah. Lihat wajah lo aja bawaannya udah kesel aja gue. Wajah lo ngeselin, sih.”
Tahap pendekatan Prita sejauh ini berjalan step by step. Meski belum tampak perkembangan yang amat signifikan. Irsyad bahkan masih kesal saja tiap kali bertemu Prita. Prita sebenarnya lebih suka kalau pendekatannya bisa berhasil walau secara halus, yang normal-normal saja. Bukan mengarah pada teori benci jadi cinta seperti di alur novel-novel.
Sudah kesekian kali Irsyad mengantar Prita pulang. Gemas juga rasanya. Menaklukkan hati Irsyad selayaknya tantangan menyenangkan baginya. Ia bertekad, kalau bisa, pertemuan selanjutnya lebih greget. Syukur-syukur bisa langsung jadi pacar. Biar misinya segera komplet dan tak ada lagi penghalang bagi asmara Alan dan Revina.
***
Di lain kesempatan, Irsyad terus berusaha keras meluluhkan hati calon mertua. Berusaha mendapatkan maaf yang amat mahal dari Rosela. Kalau sudah cinta, apa pun akan Irsyad lakukan.
Menyiapkan segala strategi. Berkali-kali, Irsyad mengunjungi rumah Revina demi bertemu sang bunda. Kadang berakhir diusir, diceramahi, sia-sia tanpa maaf yang diingini. Dalam usahanya yang mungkin hampir ketujuh kali, barulah Rosela mau kembali membuka hati. Entah karena sudah terlalu lelah jual mahal atau efek martabak manis yang dibawa Irsyad sebagai buah tangan.
Kini, bunda Revina memilih bersikap netral. Tak lebih berat memihak pada salah satu di antara Alan dan Irsyad. Ia membiarkan kedua pria itu sama-sama menunjukkan kesungguhannya untuk mendampingi sang putri. Selebihnya, Rosela tinggal menunggu, siapa yang berhasil mengambil hati Revina seutuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Kenangan Mas Dosen
Roman d'amourRevina Shania Rosaline mendapat kejutan besar di masa-masa akhir semester perkuliahannya. Setelah merana menghadapi LDR tanpa kepastian, sang kekasih--Alan Raskal Affandra yang dulu juga seniornya di kampus tiba-tiba kembali dari studinya di Tiongko...