Tak Terencana

99 3 0
                                    

"Ir, setelah lulus ini rencana kamu apa?" tanya Revina.

"Hmm. Mungkin aku akan coba mulai cari kerja."

"Gak ada niat mau lanjut S-2 nih?"

"Aduh, gak deh, Sayang. Aku udah bosen kuliah. Hehe. Mending cepet cari kerja aja, sekalian persiapan buat nikahin dan nafkahin kamu nanti."

"Astaga, Irsyad!"

"Loh kenapa? Bener, kan? Ehm, tapi kamu tenang aja, aku gak akan jauh-jauh kok cari kerjanya. Aku usahain yang di deket-deket sini aja. Aku gak mau kita LDR-an."

Mendengar pernyataan Irsyad, seketika Revina teringat dengan hubungan di masa lalunya yang harus kandas karena kata LDR.

"Revina? Sayang, kamu gapapa, kan?" tanya Irsyad yang mendapati Revina tiba-tiba terdiam seperti melamunkan sesuatu.

"Eh iya, Ir. Aku gapapa, kok. Aku--aku juga gak mau kalo harus LDR lagi. Eh... Maksud aku--"

"Oke-oke. Iya, aku ngerti, kok. Sayang, aku gak akan bikin kesalahan yang sama kayak mantan kamu itu. Aku janji."

Revina hanya menanggapi dengan senyuman.

"Oh ya, nanti kalo aku wisuda, kamu harus dateng, ya. Ajakin bunda kamu juga kalo bisa. Nanti orang tua aku juga bakal ke sini. Kan bagus tuh kalo orang tua aku bisa ketemu calon besan. Ya, kan?"

"Ah, Irsyad udah deh. Kamu tuh baru aja lulus sidang, bawaannya udah mau bahas nikah-nikah aja dari tadi."

"Ya kan gak ada salahnya, mempersiapkan masa depan. Hehehe."

---

Seperti janji Alan pada Clara waktu itu, weekend ini mereka pergi jalan-jalan bersama. Di hari Sabtu malam ini, Alan mengajak Clara makan malam di sebuah restoran, yang pasti bukan restoran yang waktu itu.

"Makasih ya, Lan, kamu udah luangin waktu buat jalan sama aku malem ini."

"Iya, Clara. Lagi pula kan aku udah janji sama kamu waktu itu."

Mereka pun mulai memesan makanan.

"Alan, kamu aja yang pilihin buat aku, ya."

"Hah? Oh oke."

Alan memberitahu pesanannya agar dicatat oleh pelayan restoran. Tak lama terdengar protes dari Clara.

"Lan? Kok jus alpukat, sih?"

"Ke-kenapa, Clar? Kamu gak suka?"

"Kamu gimana, sih? Kan aku udah pernah kasih tau kamu kalo aku gak suka alpukat. Masa' kamu lupa, Lan?"

"Oh astaga maaf, Clara. Aku lupa. Ehm jadi kamu mau pesen apa?"

"Kamu juga lupa apa yang aku suka?"

"E-ehh apa yang kamu suka--ehm strawberry eh atau jeruk. Maaf Clara, aku--"

"Terserah deh, Lan, pesen apa aja selain alpukat aku masih bisa minum, kok," sahut Clara dengan raut kesal.

Alan benar-benar tak ingat apa yang Clara suka dan tak suka walau Clara sudah sempat memberitahunya. Melihat raut wajah Clara sekarang, Alan makin gugup dan merasa bersalah.

"Clara... Aku minta maaf."

"Alan, mungkin kamu lupa karena memang itu gak penting menurut kamu, kan? Kamu lupa karena kamu memang gak mau inget itu, kamu gak mau tau soal aku."

"Maksud kamu apa, sih? Aku beneran lupa, Clar. Maaf."

"Ya. Padahal semudah itu kamu inget segalanya soal mahasiswi bimbingan kamu itu. Bahkan setelah kalian putus sekalipun."

"Ini--hah! Apa sih, Clar? Tiap kali ada masalah, tiap kali kita berdebat, kamu selalu bawa-bawa Revina."

"Karena memang dia alasannya, Lan. Dan masalahnya, kamu belum bisa move on dari dia!"

"Cukup, Clara! Udah berkali-kali aku bilang sama kamu kan, Revina cuma masa lalu aku. Aku gak ada apa-apa lagi sama dia. Masalah aku inget atau gak, mungkin cuma masalah waktu, Clar. Hubungan aku sama Revina dulu cukup lama, sedangkan kita--baru aja, kan? Udah deh, Clar, tolong. Kenapa kita jadi ribut lagi begini, sih? Oke aku salah. Aku minta maaf, ya."

"Aku cuma pengin kamu juga anggep hubungan kita itu penting, Lan. Aku sayang sama kamu."

"Clara... Iya, maafin aku, ya. Aku--aku juga sayang kamu, kok."

Setidaknya perdebatan di antara mereka tidak jadi lebih panjang lagi. Mereka menyelesaikan makan malamnya. Setelah menemani Clara jalan-jalan dan berbelanja sebentar, Alan mengantar Clara pulang.

"Makasih Alan, mau mampir dulu gak?"

"Ehm lain kali aja deh, ya. Udah terlalu malem, aku juga capek banget pengin langsung pulang dan istirahat."

"Oh oke deh, tapi janji lain kali mampir, ya!"

Alan mengangguk, "Sorry juga ya, Clar, tadi sempet bikin kamu bete."

"Gapapa kok, Lan. Aku udah maafin kamu. Kamu hati-hati ya pulangnya."

Sebelum Alan kembali ke mobilnya, Clara sempat memeluk erat Alan.

•••

Entah mengapa Alan tergerak untuk menghentikan mobilnya ketika ia melewati taman. Sebuah taman yang masih cukup ramai pengunjung di jam itu, mungkin karena malam minggu, banyak pasangan dan beberapa orang yang datang untuk sekadar berjalan-jalan atau mencari ketenangan.

Setelah membeli sebotol air mineral di penjual minuman yang ada di sekitaran taman, Alan memilih duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong. Ia memikirkan beberapa hal, salah satunya urusan hatinya yang begitu rumit.

Taman itu pun memberinya kesempatan untuk bernostalgia. Dulu, ia dan Revina sering menghabiskan waktu berdua di sana. Entah hanya untuk sekadar berbincang hingga berlama-lama menatap bintang ketika langit mendukung.

"Hahh... Kenapa capek banget rasanya? Padahal barusan cuma makan dan jalan-jalan bentar sama Clara. Apa itu karena lo memang agak terpaksa? Sedangkan dulu, lima menit ngobrol sama Revina aja rasanya seneng banget, saking nyamannya sampe mau lama-lama pun jalan sama dia tetep gak berasa capek. Astaga! Mulai lagi kan lo, Lan? Alan-Alan... Semua udah beda sekarang. Kalo lo ketemu Revina sekarang paling bawaannya juga ribut aja," oceh Alan sendiri.

Alan menandaskan air minumnya dan melemparkan botol kosongnya begitu saja untuk melampiaskan kekesalannya. Entah ke mana arah botol itu terlempar, Alan tadinya tak mau peduli. Hingga terdengar suara seseorang mengaduh.

"Aduh, ih siapa sih iseng banget lempar-lempar botol? Gak tau di sini ada orang apa, ya?" gerutu gadis yang terkena lemparan botol Alan.

Alan yang mendengar suara gadis itu langsung menghampirinya bermaksud untuk minta maaf.

Namun, begitu Alan berhadapan dengan gadis yang tengah duduk santai di atas rerumputan itu, ia terkejut, keduanya terkejut.

"Maaf saya gak--kamu??" tukas Alan.

"Astaga! Jadi Bapak yang lempar-lempar tadi?"

"Maaf, Rev, saya gak sengaja."

Ya... Gadis itu adalah Revina.

"Haduh, malam minggu saya jadi kelabu gara-gara ketemu Bapak lagi nih. Kok Pak Alan bisa ada di mana-mana, sih? Bosen ketemu Bapak mulu. Atau jangan-jangan--"

"Apa? Kamu pikir saya ngikutin kamu gitu? Saya juga gak seseneng itu ketemu kamu kali, Rev. Kalo tau ada kamu di sini, mungkin saya juga mikir dua kali buat dateng ke sini."

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang