Revina Mengundang, Irsyad Tegang

88 0 0
                                    

Beberapa detik kemudian, Revina baru tersadar, merasa pelukan ini tak semestinya terjadi. Seketika muncul bayang-bayang Irsyad di benaknya. Dengan sekuat tenaga, Revina menjauhkan dirinya—memaksa melepas pelukan Alan. Alan pun tersentak.

“Maaf, Rev. Saya—

“Ini udah malem. Lebih baik Bapak pulang. Permisi.”

Revina langsung berbalik, kembali ke tujuan awal—masuk ke rumahnya. Tanpa memandang Alan lagi, Revina menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Sementara sang dosen masih terpaku menyaksikan pintu rumah Revina yang tertutup. Tak hanya pintu rumah, mungkin juga pintu hatinya.

Alan meratapi nasib sembari berkendara kembali ke rumah. Masih terbayang-bayang di benaknya, pelukan hangat yang baru saja terjadi. Juga kejadian sore di pesta, di mana ia menggendong sang mantan—amat mengkhawatirkannya, dan yang paling tak bisa ia lupa ... napas buatan untuk Revina.

“Rev, andai dulu kita gak pernah berpisah,” monolog Alan dengan kegalauan yang tak karuan.

Di rumahnya, Revina yang sedang sendirian pun dibuat frustrasi, sama-sama memikirkan kebersamaannya dengan sang mantan kekasih—yang baru saja terjadi. Kalimat Alan dalam pelukan tadi, masih terus terngiang.

“Berhenti, Pak. Harusnya Pak Alan berhenti. Kita cuma masa lalu. Aku gak mau mundur ke belakang lagi. Jangan buat aku nyakitin Irsyad dengan sikap Bapak yang begitu,” gumam Revina.

***

Sehari sebelum weekend, Revina hanya bersantai di rumah. Kali ini, ia tengah asyik menonton drama televisi sambil menikmati sebungkus keripik kentang. Waktu menunjukkan pukul dua siang.

“Vin, duh, enaknya anak bunda. Lagi santai-santai, nonton tv sambil nyemil. Gak ada kerjaan, ya? Terus skripsinya gimana, tuh?” sindir sang bunda.

“Ya elah, Bun. Aku juga butuh refreshing kali. Otak itu juga butuh istirahat. Kalo dipaksa buat berpikir terus, bisa-bisa nanti anak Bunda ini stres, loh.”

“Haduh. Iya-iya. Suka-suka kamu deh, Vin.”

“Kupikir Bunda lagi tidur siang, loh.”

“Bunda tuh tadi di kamar lagi beberes lemari baju aja. Jangan lupa, besok pagi bantuin bersih-bersih rumah sama masak-masak, ya. Ayah kamu besok sore sampe katanya.”

“Beneran jadi besok, Bun? Yey. Aku tuh dah kangen banget sama ayah, Bun.”

“Ayah juga pasti kangen banget sama anak perawannya satu-satunya. Besok bunda mau masak banyak, yang enak-enak.”

“Oke, siap Bunda. Pasti aku bantuin.”

“Eh, Vin, mumpung ayah kamu pulang, kenapa gak kamu ajak Irsyad sekalian main ke sini? Undang dia buat makan malem bareng besok. Kan biar Irsyad juga bisa kamu kenalin ke ayah. Selama ini, ayah kamu cuma bisa denger cerita tentang Irsyad dari bunda lewat telepon.”

“Em, boleh deh, Bun. Ntar aku coba undang dia, ya. Siapa tau dia bisa dateng.”

Malam harinya, Revina sengaja menghubungi Irsyad lebih dulu. Biasanya, tiap malam Irsyad memang tak pernah lupa menelepon Revina walau sekadar untuk mengucapkan selamat malam. Revina pikir tak mengapa bila kali ini ia yang memulai duluan.

“Eh, halo, Sayangku. Padahal aku rencananya juga nanti mau telepon kamu, malah kamunya udah telepon duluan. Udah kangen banget, yah?” seru Irsyad dari seberang.

“Hm, gak juga, sih.”

“Lah, kok enggak? Beneran gak kangen, nih?”

“Sedikit. He-he. Aku gak ganggu, kan?”

Terjebak Kenangan Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang