62. Weakness

229 25 7
                                    

Hingga tengah malam isakan itu tak berhenti juga membuat Sean sedikit iba. Sean mencari sumber suara itu yang ternyata ada didapur. Jake tidur dengan memeluk kedua kakinya membuat Sean langsung berjongkok untuk menyamakan posisinya.

Ia kalungkan kedua tangan itu dilehernya lalu membawanya ke dalam dekapan. Badannya yang dingin dan basah itu membuat Sean khawatir.
Jake yang menyadari itu pun langsung mendongak untuk menatap wajah lelakinya lalu memeluk dengan sangat erat.

"Sayang" seperti aduan yang tertahan.

Jake menangis sejadi jadinya mengingat ingat kejadian tadi. Ia luapkan segala rasa takutnya, memeluk dengan sangat erat seperti tak ingin ditinggalkan.

"Takut"

Tangannya kembali bergetar, segera Sean mengusap usap surai itu juga punggung si kecil.

"Iya Sean disini" tenangnya sambil mencium puncak kepalanya.

Matanya yang sembab juga basah itu membuat Sean melupakan semua amarahnya. Ia kecupi seluruh wajah itu lalu mengangkatnya. Sean membawa Jake masuk ke dalam kamar.

"Daripada aku kepikiran terus, aku pengen kamu jelasin soal Jonathan tadi" setelah menyenderkan pada kepala ranjang dan memberikan minum.

Jake mengangguk lemas, ia takut setelah Sean mengetahui fakta bahwa ucapan Jonathan itu sebagian besar benar. Ia takut Sean meninggalkannya.

"Jo bener, orang tua kita saling kenal dan kita udah kenal dari kecil" Jake tidak berani menatap lelakinya.

Sean menelan ludah kasar, sedikit mengeraskan rahangnya.

"Papa satu kantor sama orang tua Jo jadi wajar kalo kita sering keluar bareng"

"Soal makan malam?" Tanya Sean seakan sedang mengintimidasi.

"I-itu ..." Jake memainkan ujung kaosnya.

Sean semakin penasaran, ia terus menatap kesayangannya sampai ingin membuka suara.

"Iya kita keluar bahkan sering, Sabian juga ikut"

Sean menghela nafas panjang, mengusak surainya sendiri. Jake ingin menangis, kenapa suasana menjadi serius dan dingin. Seakan ia tidak diberi tempat untuk tenang.

"Orang tua kalian tau kalian pacaran?" Sean masih penasaran.

Jake mengangguk ragu.

Satu detik kemudian suara tawa nan puas itu memecah hawa dingin seluruh ruangan. Puas menertawakan nasib malangnya yang bahkan ia baru kemarin akrab dengan bundanya, belum papanya. Jake kembali menangis.

"Sean jangan gitu, aku takut"

Sean menggeleng geli, mengusap wajahnya kasar sebelum kembali melayangkan tatapan licik dan rendah itu.

"Maaf, kalo akhirnya aku ketemu kamu"

"Kalo aku gimana? Aku bahkan baru dikasih restu sama bunda gak lama ini. Kamu juga gak pernah ngenalin aku ke papa kamu" suaranya bergetar, ada sakit yang dipendamnya.

"Aku pengen, tapi aku gak mau" bantahnya.

"Kenapa? Kamu malu ngenalin pacar cacat kayak aku ini?" Sean kembali tersulut emosi.

"Sean stop! Jangan nyangkutin apapun itu soal fisik"

"Terus apa?!" Suara tinggi dan membentak itu membuat Jake kembali menciut.

"Sean aku gak suka kamu jadi pemarah kayak gini. Aku takut" puppy eyes itu berkaca kaca.

"Wajar kalo aku marah, aku malu karena udah bilang soal keluarga kamu dan bahkan lebih deketan Jo dibanding aku. Dan dia bahkan udah kenal lama sama papa kamu. Sedangkan kamu aja malu buat ngenalin aku ke papa kamu. Aku sadar kalo seharusnya lelaki cacat gak bisa bersa–"

Listen To Me || SUNGJAKE [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang