5

369 73 9
                                    

***

Saat Jiyong kembali ke kantor polisi, Lisa sudah tidak ada di sana. "Dia sudah pergi, dia hanya bercanda untuk konten YouTube-nya," begitu kata polisi yang bertugas. Sekarang Jiyong menghela nafasnya. Ternyata, gadis itu memang membohonginya. Gadis itu hanya berpura-pura datang dari masa depan.

Jiyong sudah menghela nafas leganya sekarang. Meski ia tetap merasa bodoh karena hampir mempercayai ucapan Lisa. Dilajukan lagi mobilnya sekarang, berencana untuk pulang setelah sore yang berat ini. Ia berniat keluar untuk menghibur kesepiannya, tapi justru bertemu gadis aneh yang mengaku datang dari masa depan.

Namun, baru beberapa meter Jiyong melaju, kembali dilihatnya gadis itu. Duduk di halte sendirian, sembari terus menghela nafasnya. Ia bersandar ke papan iklan di belakangnya, terlihat begitu lelah, begitu menyedihkan. Karena iba, akhirnya Jiyong melambat. Sekali lagi ia berhenti di depan gadis itu, kemudian membuka jendelanya.

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Jiyong, setelah mereka bertukar tatap. "Dimana rumahmu?" tanyanya sekali lagi.

"Kenapa kau terus bertanya dimana rumahku?" heran Lisa. "Aku tidak punya rumah, aku gelandangan," susulnya, lantas menggerakkan tangannya menyuruh Jiyong untuk pergi dari sana, meninggalkannya.

"Naiklah," ajak Jiyong, untuk yang kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya juga, Lisa menolak tawaran itu.

Gadis itu keheranan sekarang, kenapa Jiyong terus menyuruhnya naik. Pria itu bisa pergi, meninggalkannya, toh mereka tidak akan bertemu lagi. Mereka tidak saling kenal, tidak juga ada alasan bagi pria itu untuk membantunya. Ia tidak berkewajiban untuk membantunya. Ditambah, di mata Lisa, Jiyong bukan seorang yang bisa dengan mudah membantu orang lain. Ia tidak terlihat seperti seorang pria baik— nilai Lisa.

"Aku hanya takut kau akan bilang pada orang-orang kalau aku menabrakmu lalu melarikan diri, aku tidak ingin jadi pelaku tabrak lari, karena itu naiklah dulu, akan aku beri kompensasi tapi tanda tangani sebuah perjanjian denganku," kata Jiyong kemudian. Hanya ingin mengetes, apa gadis di depannya itu benar-benar orang dewasa atau hanya anak-anak yang berlaga dewasa.

Sebentar Lisa diam. Kali ini ia bisa memahami alasan Jiyong menyuruhnya naik. Lantas, dengan harapan ia akan punya uang— setidaknya sampai ia tahu caranya kembali pulang— gadis itu bangkit. Ia melangkah menghampiri Rolls Royce yang Jiyong bawa kemudian duduk di sebelah pria itu.

Mereka berkendara cukup jauh malam ini. Mobil itu baru berhenti setelah mereka sampai di sebuah gedung dengan tulisan YG di dinding depannya. Lisa memperhatikan jalanan di sekitarnya, melihat gedung-gedung yang sebelumnya hanya ada di gambar, tanpa mengatakan apapun.

Gadis ini pendiam, atau dia hanya tidak ingin bicara pada orang asing sepertiku— nilai Jiyong, sesekali melirik melihat gadis di sebelahnya. "Kau pergi ke salon setiap hari?" tanya Jiyong, ingin mengecek teorinya.

Lisa terlalu cantik untuk ukuran seorang yang tidak di gedung kumuh. Sepintas dilihat saja, kulitnya halus seperti bayi. Seperti seorang yang menerima perawatan wajah mahal setiap harinya. Orang dengan penampilan seperti ini, tidak mungkin datang dari keluarga yang biasa-biasa saja. Bisa jadi ia putri seorang konglomerat yang kabur dari rumah, ia harus bertanya pada beberapa kenalannya.

"Tidak, aku lahir di keluarga miskin," jawab Lisa. Membuat Jiyong hanya menganggapnya sebagai seorang pembohong— teorinya lebih masuk akal daripada mempercayai kalau Lisa datang dari masa depan.

Tiba di tempat parkir, Jiyong menyuruhnya turun. "Aku pernah ke gedung ini," kata gadis itu setelah ia mengekori Jiyong sampai ke dalam lift. Dengan beberapa orang yang menoleh untuk memastikan sekali lagi mereka tidak salah lihat. G Dragon berjalan dengan seorang gadis kecil, siapa dia?— orang-orang tentu penasaran.

"Kapan?" tanya Jiyong.

"Minggu lalu," jawab Lisa. "Ibuku mengatur kencan buta untukku, di gedung ini," susulnya. Jelas membuat Jiyong mengerutkan dahinya. Tidak seorang pun tanpa kepentingan bisa masuk untuk kencan buta di agensinya. Terlebih, siapa yang akan membuat janji kencan buta di kantor agensi hiburan?

"Di tahun 2045, gedung ini jadi museum. Ada cafe dan restorannya juga," kata Lisa. "Aku bekerja di restorannya saat grand openingnya," susulnya. Lagi-lagi cerita tentang masa depan yang tidak bisa Jiyong percayai.

Mereka masuk ke sebuah ruang meeting kosong sekarang. Tidak ada apapun selain meja dan kursi, juga papan tulis dan proyektor. Begitu masuk, Lisa di persilahkan untuk duduk, sedang Jiyong pergi ke ruangan lain, mecari kertas dan pena.

Setelah siap, Jiyong akan membuat surat perjanjian mereka. Tapi sebelum pria itu menulis berapa kompensasi yang akan diberikannya, Lisa menahannya. "Apa ada kamera black box di mobilmu?" tanyanya, tiba-tiba.

"Ada, kenapa?"

"Aku ingin melihatnya dulu, bagaimana aku bisa sampai ke sini. Aku harus kembali ke rumahku," susulnya, mengingatkan Jiyong kalau ia juga bisa memastikan kecelakaan tadi lewat kameranya.

Keduanya kembali ke mobil sekarang. Tapi Lisa bawa kertas serta pena yang sudah Jiyong siapkan tadi. Di pintu menuju tempat parkir, seorang berpapasan dengan mereka. "Oh? Kau sudah datang?" tanya Jiyong, menyapa pria itu.

"Hm... Kenapa kau memintaku datang? Apa maksudnya kau akan menulis surat perjanjian?" tanyanya— Dong Yongbae.

"Oh? Ayahnya Dong Katsu?" gumam Lisa, melihat pria yang berpapasan di lift tadi.

"Apa maksudmu? Dia belum punya anak," komentar Jiyong, sedang Yongbae hanya menatap heran pada mereka berdua.

Meski sama-sama bingung, sama-sama ragu, ketiganya sekarang masuk ke mobil Jiyong. Kwon Jiyong duduk di mobilnya, Lisa di sebelahnya dan Yongbae ada di kursi belakang. Mereka menonton rekaman black boxnya sekarang, lalu di bagian paling pentingnya, Yongbae berseru. "Oh! Bagaimana bisa begitu?!" herannya, melihat Lisa yang tiba-tiba muncul di depan mobil Jiyong, lalu jatuh. Gadis itu tidak melompat, tidak berlari, bahkan tidak berjalan. Ia muncul begitu saja, kemudian jatuh sebelum tubuhnya membentur kap mobil.

"Kau percaya sekarang? Aku tidak datang dari sini?" tanya Lisa, setelah ia lihat Jiyong berkali-kali memutar rekaman black boxnya. Dua pria itu terus melihatnya, tidak percaya atas apa yang mata mereka tangkap.

"Baik, anggap saja kau benar-benar datang dari 2051, tapi bagaimana kau bisa ke sini?" tanya Jiyong, sekali lagi mengejutkan Yongbae.

"2051? Mana mungkin, mustahil," komentar Yongbae, lantas mengatakan kalau time travel hanya ada di film. Tidak benar-benar ada di dunia nyata.

"Aku pun tidak tahu," kata Lisa. "Aku hanya bertengkar- tidak, aku hanya menyebrang jalan, lalu tertabrak mobil dan saat bangun aku ada di mobilmu, selebihnya aku juga tidak tahu," susulnya, yang harus berkali-kali menjelaskan situasinya.

"Tapi kalau posisinya begini, kau tidak menabrak siapapun, tidak perlu memberi kompensasi, iya kan?" komentar Yongbae, setelah dua kali lagi, ia putar rekaman black boxnya.

Lisa menganggukan kepalanya. Ia kembalikan juga kertas dan pena yang sedari tadi di pegangnya.  "Hm... Tidak perlu memberiku kompensasi," katanya, seolah ia benar-benar tidak membutuhkan uang itu. "Tapi apa kau bisa mengantarku ke tempat gelandangan biasanya tidur? Shelter atau rumah singgah?" susulnya, bermaksud membuat dua pria itu iba.

Jiyong menoleh ke belakang, menatap pada Yongbae yang juga melihat ke arahnya. Keduanya bertukar pandangan, memikirkan satu hal yang sama— bagaimana bisa mereka mengirim perempuan seperti Lisa ke sana?

"Oh? Eomma?" Lisa bersuara, bersamaan dengan seorang perempuan yang baru saja lewat di depan mobil mereka. Seorang gadis muda, yang berlari kecil dengan celana olahraga dan kausnya. "Eomma!" Lisa berseru, buru-buru keluar dari mobil, akan mengejar gadis muda yang baru saja masuk itu.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang