27

315 63 7
                                    

***

Tiga hari Jiyong merajuk. Selain karena foto tato yang ada di sisi tubuh Lisa— dekat punggungnya— juga karena Lisa tidak mau menunjukan foto-foto lainnya. Jiyong ingin melihat lebih banyak, ingin tahu lebih banyak apa saja yang Lisa lakukan bersama keponakannya— yang belum lahir— tapi gadis itu tidak mau memberitahunya.

Awalnya Jiyong benar-benar cemburu. Ia benar-benar merajuk. Tapi sekarang, Lisa tidak punya tato itu lagi. Tato yang dibuatnya bersama eden bukan tato permanen. Tidak sampai sebulan tato itu sudah hilang— aku Lisa. Kecemburuannya perlahan pudar, sama seperti mantan-mantan kekasihnya yang pelan-pelan ia lupakan, bagi Lisa, Eden pun begitu.

Tapi merajuk ternyata menyenangkan. Lisa jadi luar biasa perhatian, luar biasa memanjakannya ketika ia merajuk. Gadis itu mendekatinya, bersikap manis padanya, memujanya. Jiyong menyukainya, ketika ia merajuk dan Lisa bersikap manis untuk membujuknya berhenti marah. Karena itu ia melanjutkannya— akting marahnya.

Jiyong tidak ingin melanjutkan kontraknya dengan agensi lama. Mungkin karena itu ia memperkerjakan Lisa secara terpisah. Agar gadis itu tidak perlu bekerja di agensi, bahkan setelah kontraknya habis— anggap Lisa. Jiyong ingin membawa asistennya pergi bersamanya, meski ia meninggalkan agensi.

Ia memberitahu managernya tentang rencana itu— tidak memperpanjang kontraknya. Tapi ia tidak mengatakan apapun pada Lisa. Justru sang manager lah yang menghubungi Lisa, meminta gadis itu untuk membantunya membujuk Jiyong. Manager Jiyong mengajak Lisa untuk bertemu. Berhubung Jiyong masih merajuk dan sekarang ada di rumahnya sendiri, Lisa pergi menemui pria itu.

"Tolong bujuk Jiyong untuk melanjutkan kontraknya," kata sang manager. Diam-diam tanpa sepengetahuan Jiyong. Mereka bertemu di agensi hari ini, di kafetarianya.

"Aku akan mencobanya, tapi sekarang dia sedang marah padaku," kata Lisa, karena seharian ini Jiyong masih berlaga merajuk. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun," susulnya. "Tapi kapan kontraknya berakhir?" tanya Lisa, sebab ia tidak tahu detail kontrak Jiyong selama ini. Gadis itu hanya mengurusi pekerjaan yang diberikan padanya.

"Uhm... Sekarang April, kira-kira Januari awal tahun depan kontraknya berakhir," katanya, lantas sekali lagi ia minta Lisa untuk membantunya. Memintanya meyakinkan Jiyong agar memperpanjang lagi kontraknya.

"Aku akan mencobanya, sungguh," tenang Lisa, yang sebenarnya tidak seberapa peduli. Ia menyukai Jiyong tapi bisnis entertainment bukan bidangnya. Ia tidak tahu mana yang akan lebih menguntungkan bagi Jiyong. Ia tidak tahu mana yang lebih baik untuk pria itu. Akan ia serahkan semua keputusannya pada Jiyong, yang menjalani sendiri hidupnya— begitu rencananya.

Selesai dengan pertemuannya, lagi-lagi ia bertemu dengan ibunya. Sama seperti tempo hari, kali ini Jennie tengah bertengkar lagi, dengan Mino. Lisa tidak tahu apa yang keduanya ributkan, tapi di sudut lorong itu, Jennie langsung meninggalkan Mino sesaat setelah ia lihat Lisa menatap kearahnya.

"Kita bertemu lagi," kata Mino, menyapa Lisa yang masih menunggu lift. Sedang Jennie sudah lebih dulu pergi dengan tangga daruratnya.

"Oh, hai," sapa Lisa, berlaga tidak peduli. Berlaga tidak penasaran. "Aku kira kalian sudah putus, setelah lagunya dirilis dan kau tetap memilih Hoyeon," susulnya, tepat setelah Mino berdiri di sebelahnya.

"Memang sempat putus," jawabnya, tidak kalah santai. "Tapi kami berkencan lagi, setelah aku menjanjikannya muncul di album selanjutnya," susulnya.

Kali ini Lisa menoleh, menatap heran pada Mino, sembari mengerutkan dahinya. "Dia hanya akan memanfaatkanmu lagi, lalu meninggalkanmu lagi setelah album barumu rilis lagi, kau tahu kan?" tanya Lisa, sangat penasaran dengan hubungan dua orang itu. Mungkin kah pria ini ayahnya? Lisa tidak merasakan apapun ketika bertemu dengannya. Orang bilang, ia akan mengenali ayahnya begitu mereka bertemu. Orang bilang akan ada semacam ikatan yang akhirnya mempertemukannya dengan sang ayah, tapi Lisa tidak pernah merasakan ikatan itu.

"Tentu saja aku tahu," kata Mino, sekali lagi bersikap santai di depan Lisa.

"Dan kau tidak keberatan?"

"Kenapa aku harus keberatan?" tanyanya, seolah tidak tahu jawabannya.

"Tidak masalah kalau kau tidak keberatan," balas Lisa sama tenangnya. "Tapi sampai kapan kau tidak akan keberatan? Bagaimana kalau dia menemukan pria lain yang lebih menguntungkan darimu?" kata Lisa seolah ingin menakut-nakuti Song Mino yang sekarang berdiri di dalam lift bersamanya.

"Kalau dia bertemu pria lain, aku akan melepaskannya," sekali lagi, Mino tetap terdengar tenang. Seakan semua ucapan Lisa hanyalah bualan tidak masuk akal yang tidak akan pernah terjadi.

"Mau aku beri saran?" tanya Lisa, sekarang menoleh untuk menatap pria di sebelahnya. "Kau tidak akan bisa jadi rumah hanya dengan selalu berada ditempat yang sama. Apapun yang terjadi, dia akan selalu kembali padaku, karena aku rumahnya— rumah yang hanya menunggu penghuninya pulang, biasanya cepat rusak, sepertiku, aku duluan, bye," katanya, tersenyum lalu keluar dari lift di lantai dasar. Mobilnya ia parkir di depan agensi, tidak ia bawa masuk ke basement.

Lisa mengemudikan mobilnya. Lalu di jalannya meninggalkan agensi, dilihatnya Jennie berdiri di trotoar. Diam memunggungi gedung agensi, sesekali mendongakan kepalanya ke atas, seakan ingin menatap langit, tapi gadis itu menutup matanya. Jennie menangis sekarang, Lisa hafal gerakan itu. Ketika Jennie tidak ingin air matanya jatuh.

Ia menepikan mobilnya sekarang, beberapa meter di belakang Jennie. Memperhatikannya dari jauh, kemudian melihat gadis itu menghentikan taksi di tepi jalannya. Awalnya Lisa tidak ingin mengetahui apapun. Tapi ia ikuti ibunya, mengemudikan mobilnya mengekori taksi yang Jennie naiki.

Kira-kira setelah dua jam perjalanan mereka tiba di sebuah kompleks perumahan. Melihat alamat yang muncul di navigasinya, Lisa tahu ini tempat tinggal ayah tirinya. "Apa kakek nenekku jadi pembantu di sini?" tebak Lisa, lalu diperhatikannya Jennie turun dari taksi. Ia berjalan ke gerbang kompleks perumahan itu, tapi tanpa mengatakan apapun ia melangkah masuk ke dalamnya. Seolah sudah biasa masuk ke sana.

Lisa ingin masuk ke sana, tapi ia tidak bisa melewati gerbang depan kompleks perumahannya tanpa mengenal siapapun di sana. Selain harus meninggalkan tanda pengenalnya di sana, Lisa juga perlu izin seseorang yang tinggal di sana untuk bisa masuk.

Gadis itu akhirnya menelepon Jiyong. Bertanya apa pria itu punya seorang kenalan yang tinggal di sana. "Kenapa kau kesana?" tanya Jiyong, setelah Lisa katakan alasannya menelepon.

"Aku melihat ibuku masuk ke sini, tapi aku tidak boleh masuk kecuali kenal seseorang yang tinggal di sana," jawab Lisa, tanpa menutup-nutupi alasannya ke sana.

"Choi Seunghyun, rumah nomor sepuluh," jawab Jiyong.

"Kau punya kenalan disini?!" seru Lisa, setelah ia nyalakan kembali mobilnya. Mencari jalan memutar agar bisa kembali ke gerbang kompleks perumahan tadi.

"Orangtuanya Seunghyun hyung tinggal di sana," jawab Jiyong. "Kau tahu Choi Seunghyun kan? TOP?"

"Ah... Yang pergi ke bulan itu? Aku tahu dia," kata Lisa, sekarang mencoba lagi untuk masuk ke sana. Beralasan pada penjaga keamanannya kalau Kwon Jiyong memintanya untuk mengirim hadiah ke rumah keluarga Choi.

"Ternyata kau pintar berbohong," komentar Jiyong, mendengar dengan jelas bagaimana Lisa bicara dengan petugas keamanannya. "Tapi apa yang akan kau kirim ke sana? Kau punya sesuatu?" tanyanya kemudian.

"Berhasil," kata Lisa, mengatakan kalau ia sudah bisa menyetir masuk sekarang. "Apa yang akan aku kirim ke sana? Uhm... Entahlah... Tidak ada apapun di mobil. Informasi? Drama?"

"Ya! Aku masih marah, jangan  membuat masalah, aku tidak akan menyelesaikan masalahmu, kau harus tahu, aku tidak mau terlibat," kata Jiyong, tapi Lisa tidak menanggapinya.

Dengan suara yang sangat pelan, seolah terkejut, Lisa justru berkata, "aku melihat ayah tiriku, di sini, bersama ibuku," katanya. Pelan, penuh ketidak percayaan.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang