7

316 63 5
                                    

***

Mereka sama-sama diam setelah Jiyong mengembalikan handphone Lisa, yang masih dalam keadaan mati. Jiyong menunggu Lisa berterimakasih, tapi gadis itu tidak kunjung mengatakannya. Mungkin suasana hatinya masih buruk, mungkin ia juga masih sakit, bisa jadi gadis itu masih marah.

"Dokter bilang usiamu sekitar 25 sampai 30 tahun," kata Jiyong kemudian, sembari menundukan kepalanya. Sedikit malu karena ketahuan menanyakan pertanyaan itu ke dokternya. "Dari profil tulang dan gigimu," susulnya, seolah ingin memvalidasi kalau ucapannya bisa dipercaya. "Handphonemu juga... Tidak ada yang menjual handphone merk itu, charger untuk handphonemu juga tidak ada. Versi bluetooth, prosesor, kamera sampai memorinya, jauh lebih baru dari yang sudah ada sekarang. Jadi charger wireless juga tidak berhasil. Karena itu..."

"Karena itu?" tanya Lisa, sebab Jiyong tidak menyelesaikan ucapannya.

"Sepertinya kau tidak berbohong," cepat Jiyong. Sangat cepat hingga Lisa tidak bisa memahami ucapannya dengan jelas.

"Apa? Apa katamu?"

"Ya! Kau mendengarku!" protes Jiyong, sempat malu karena mengira Lisa hanya seorang gadis 17 tahun dengan gangguan halusinasi parah. "Ini masih sulit dipercaya, kau tiba-tiba muncul di depan mobilku, lalu datang dari masa depan bla bla bla, semua sulit dipercaya. Semua itu tetap mustahil kecuali kau yang mengalaminya sendiri," susulnya, masih sedikit ketus, untuk menutupi rasa malunya.

"Hm... Benar," angguk Lisa. "Aku juga masih tidak percaya karena berada di sini," susulnya. "Maaf, karena mengejutkanmu. Terimakasih juga, sudah menolongku," katanya kemudian, tenang seolah ia tidak merasa malu. Gadis itu tidak secanggung Jiyong sekarang.

"Dokter sudah memberimu izin untuk pulang, kau tahu mau pergi kemana?"

"Biaya rumah sakitnya?"

"Aku sudah membayarnya," tenang Jiyong.

"Kalau begitu berapa hutangku?" tanya Lisa tapi Jiyong tidak cukup tega untuk menagih semua uang yang sudah ia keluarkan untuk biaya rumah sakit serta kamar rawat VIP itu.

"Bagaimana rencanamu sekarang? Kau punya tempat tujuan?" tanya Jiyong, alih-alih memberitahu Lisa berapa uang yang sudah ia keluarkan.

Lisa tidak bisa menjawabnya. Tidak ada siapapun yang ia kenali kecuali Jennie Kim, ibunya. Bahkan neneknya, gadis itu tidak mengenal nenek dan kakeknya, juga ayahnya. Hanya Jennie Kim, satu-satunya yang ia tahu akan jadi ibunya nanti. Tapi meskipun Lisa mengenali Jennie, gadis itu belum tentu mengenalinya.

Bahkan Jiyong hampir tidak mempercayainya. Bagaimana dengan Jennie yang sekarang hanya seorang gadis remaja 18 tahun? Bagaimana Jennie akan bereaksi kalau ia memberitahu identitasnya? Ah kau putriku? Berapa usiamu? Wah! Aku punya anak 27 tahun? Hebat!— Jennie tidak akan bereaksi begitu.

"Kalau kau tidak punya tujuan, kau mau ikut bersamaku?" tawar Jiyong, berusaha tidak terdengar seperti bajingan hidung belang. "Tapi jangan salah paham... Bagaimana mengatakannya?" canggungnya, sembari sesekali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku baru kembali dari wajib militerku, kau tahu apa itu wajib militer kan?"

"Hm... Aku belajar soal wajib militer di sekolah, pelajaran sejarah," angguk Lisa, membuat Jiyong membulatkan matanya— dimasa depan tidak ada lagi wajib militer?— ia sempat terkejut. "Tidak ada, sekitar 2030? Atau 31? Wajib militer dihapus, deklarasi KTT antar Korea berhasil tercapai. Tidak bersatu tapi berhasil berdamai," susulnya.

"Wahh... Luar biasa," komentar Jiyong. "Lalu apa lagi yang terjadi di sana?" susulnya penasaran, sekarang justru bergerak duduk di tepian ranjang, berhadapan dengan Lisa yang juga duduk di ranjangnya, bersandar ke dinding.

"Apa yang ingin kau tahu?"

"Kau tidak mungkin hafal nomor lotre minggu depan kan?"

"Orang sinting mana yang menghafalkan nomor lotre yang sudah keluar?" balas Lisa.

"Kalau saham?"

"Tidak tahu," geleng Lisa. "Aku belum lahir tahun ini, sejarah saham mana yang pernah untung besar juga tidak ada di pelajaran sekolah," katanya.

Jiyong mengangguk, sembari menekuk bibirnya, berlaga kalau ia tidak puas dengan jawaban itu. Raut wajahnya, kini menunjukan sesuatu yang lain, seolah pria itu ingin tahu hal lainnya.

"Apa aku masih hidup di sana?" tanya Jiyong kemudian, akhirnya mengutarakan rasa penasarannya.

Lisa mengangguk sekarang. "Sepertinya masih hidup," susulnya. "Aku tidak tahu. Aku mengenal Dong Katsu dan Kim Eden, tapi aku mengenalmu. Tidak ada berita tentangmu juga," cerita Lisa.

"Siapa itu Dong Katsu dan Kim Eden?"

"Dong Katsu anaknya Dong Yongbae, kalau Kim Eden anaknya Kim Minjoon, berarti dia keponakanmu?"

"Aku punya keponakan? Kapan?"

"Dong Katsu November 2021, Eden awal 2022, aku tidak ingat," jawab Lisa.

"Bagaimana kau tahu? Mereka terkenal?"

"Aku mengenal mereka di kampus," kata gadis itu. "Di kampus mereka terkenal, anaknya Taeyang Big Bang dan keponakannya G Dragon."

"Tapi kau tidak mengenali kemarin?"

"Bagaimana aku tahu wajahmu di 2020 kalau aku baru lahir di 2024?"

"Tidak ada fotoku di sana?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng. Mengatakan kalau ia pernah menemukan majalah Vogue dengan cover wajah G Dragon di kamar ibunya, tapi ia mencuri dan menjual majalah itu. Seorang teman kuliahnya, yang sangat menyukai barang-barang lama, membeli majalah itu dengan harga mahal. Lisa bisa membayar uang semesternya dari hasil menjual majalah curian itu. "Tsk... Jadi itu maksud ucapanmu kemarin? Kerjasama dengan Vogue?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk. Ia hampir mengambil cuti kuliah karena uang semesternya, tapi batal, terselamatkan oleh majalah dengan wajah Jiyong di covernya.

"Aku bisa memberitahumu sedikit demi sedikit tentang masa depan," tawar Lisa. "Seperti kisah 1001 malam? Kau tahu kisah 1001 malam, kan? Tapi... Beri aku pekerjaan," susulnya kemudian. "Meski tidak bisa menunjukkan ijazahku, aku sudah lulus kuliah. Aku kuliah di KAIST, jurusan bisnis. Pekerjaan terakhirku sekretaris direktur, di perusahaan elektronik," katanya, sembari menunjukan handphonenya, mengatakan kalau ia bekerja di perusahaan produsen handphone itu.

"Kalau begitu, kau mau jadi managerku?"

"Manager?"

"Bukan, bukan manager, lebih seperti asisten pribadi? Sepertinya aku butuh seorang asisten pribadi, bagaimana?" tawar Jiyong. "Bukan bekerja untuk agensiku, untukku, aku akan membayarmu dengan uangku sendiri. Bukan uang perusahaan. Jadi kau sepenuhnya bekerja untukku, kesepakatan hanya diantara kita," katanya kemudian.

"Berarti pekerjaanku tidak dilindungi pemerintah?" tanya Lisa. "Kalau kau bosan, kau bisa langsung memecatku? Tidak ada uang pensiun, jaminan, asuransi, tunjangan bla bla bla? Hanya gaji dan bonus kalau kau ingin memberiku bonus?"

Jiyong menganggukan kepalanya. Lantas mengatakan kalau prosedurnya akan rumit kalau mereka melibatkan perusahaan. Kalau mereka melibatkan agensi. Alasannya sederhana— Lisa tidak punya kartu identitas. Ia juga tidak bisa menjelaskan bagaimana asal usul gadis itu.

"Daripada jadi gelandangan, tidak apa-apa, akan aku lakukan, jadi asisten pribadimu," kata Lisa setuju.

"Kau setuju? Kita bahkan belum membicarakan gajimu?"

"Beri saja aku cukup uang untuk hidup setiap harinya," santai Lisa. "Aku mungkin tidak akan lama berada di sini. Untuk apa repot-repot menabung?" katanya malas, tidak seberapa tertarik.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang